Mimpi Ibrahim

nabi-ibrahim21

Cerpen Jusuf AN

Dimuat pertama kali di Koran Sindo, Minggu, 31 Desember 2006

Duduk di teras rumahnya sepasang mata Hajar memandang kosong. Mengacuhkan dedaun kering yang berserak di halaman. Bukankah ia mesti segera menyapu? Ya, seharusnya begitu. Setelah menyapu biasanya ia akan meracik bumbu, menanak nasi, menatanya di rantang lalu membawanya ke ladang menjelang siang.

Sesekali Hajar menggelengkan kepala, sembari memejamkan mata saat mengingat percakapan dengan suaminya setengah jam lalu.

“Hajar, aku bermimpi lagi.”

“Bermimpi naik haji lagi? Sudahlah Pak, keinginan Bapak tak sepatutnya diteruskan. Bukankah Bapak masih ingat apa yang dikatakan Haji Qadir saat pengajian seminggu lalu. Orang miskin bisa haji setiap Jumat.”

“Aku sudah melupakan keinginan itu, Hajar.”

“Terus Bapak bermimpi apa lagi? Mimpi punya anak lagi?” Hajar memandang tajam wajah suaminya. “Apa Bapak sanggup menghidupinya?”

“Bukan itu, Hajar. Satu anak cukup bagi kita.”

“Lantas?”

“Aku bermimpi menyembelih Ismail.”

Bibir Hajar seketika bergetar. Jantungnya berdetak lebih kencang.

“Tadinya aku tak ingin menceritakan mimpi itu padamu. Tapi karena mimpi itu sudah jutuh kali hadir bertutur-turut, maka aku menyimpulkan bahwa ini bukan mimpi biasa,” lanjut lelaki dengan jambang dan rambut tak terawat itu.

Mengingat percakapan itu dada Hajar bergemuruh. Ia teringat senyum Ismail, anak lelaki satu-satunya yang kini masih berada di sekolah. Terkenang pula bagaimana repotnya mengasuh Ismail saat masih bayi. Mendadak Hajar menggelengkan kepala. Tidak, mimpi Bapak pastilah bisikan setan, gumamnya.

Mentari merangkak. Angin menggelembung merontokkan beberapa helai daun rambutan yang masih kuning. Hajar berjingkat mengambil sapu lidi yang telah menanti. Saat ia mulai menyapu, keterangan suaminya kembali menguasai pikirannya. Begitu pun saat Hajar mulai meracik bumbu, menanak nasi, menatanya di rantang dan sepanjang perjalanan menuju ladang.

***

Di gubug beratap daun padi kering Ibrahim duduk menyandarkan tubuhnya di salah satu tiang. Matanya nyalang memandang pematang dan hamparan sawah yang mulai menguning. Ia bukan sedang memikirkan apakah harga padi akan kembali anjlog seperti musim panen kemarin. Ia memang sering mengeluhkan hal itu tiap kali mejelang panen. Tapi tidak kali ini. Kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan seputar mimpi yang sudah tujuh kali berturu-turut hadir dalam tidurnya.

Mendapat mimpi yang serupa selama tujuh kali berturut-turut, betapa aneh? Menyembelih Ismail, anak lelaki satu-satunya, adakah ia akan tega? Ah, mimpi! Bukankah sebelum Ismail lahir, Ibrahim juga mendapat mimpi.

“Dia laki-laki? Mimpiku benar-benar terbukti,” tutur Ibrahim dengan bangga sesaat setelah bayi laki-laki lahir dari rahim Hajar.

“Ismail, anak ini akan kita kasih nama Ismail,” timpal Hajar sembari tersenyum lebar di pembaringan.

“Ya, seperti yang sudah aku rancang sebulan silam. Kamu masih ingat, bukan?”

Hajar mengangguk. Keheningan mendadak merayap di wajahnya yang masih pasi. “Pak, adakah Tuhan telah merencanakan semua ini?” mendadak saja pertanyaan itu meloncat dari mulut Hajar.

“Maksudmu?”

“Kenapa anak ini tidak perempuan saja?”

Ibrahim tertawa kecil. “Entahlah, Hajar. Barangkali semua ini hanya kebetulan saja dan semoga memang benar-benar kebetulan.”

“Kebetulan? Namamu Ibrahim dan namaku Siti Hajar dan anak kita Ismail, adakah ini semua benar-benar kebetulan?”

“Tak usah terlalu terusik dengan perkara ini, Hajar. Jalani saja….”

Ibrahim tersintak saat sang istri datang menepuk bahunya dari belakang. Ia tersenyum pada Hajar, menyembunyikan kegelisahannya. Angin memainkan ujung kerudung yang menutupi kepala Hajar, juga pucuk daun-daun padi di pesawahan. Sementara awan tebal menggulung-gulung menjelma mendung.

Hajar segera menyilir air bening ke dalam gelas bening. Di tatapnya wajah sang suami lekat-lekat. Dan manakala mata Hajar tiba di mata Ibrahim, ia bisa menerka apa yang sedang berkecamuk di kepala suaminya.

“Bapak masih memikirkan mimpi itu?”

Ibrahim masih meneguk air bening ketika hajar bertanya begitu. “Uhuk-uhuk!

“Aku tidak juga mengerti mengapa Bapak sering sekali mendapat mimpi yang aneh-aneh.”

“Hajar, andai saja aku bisa memilih mimpi, aku lebih memilih mimpi bertemu nabi Muhammad, bukan bermimpi menyembelih anak. Mimpi itu datang begitu saja. Aku tak pernah meminta.”

“Makanya Bapak jangan pedulikan lagi mimpi itu. Iblis berusaha membujuk kita lewat mimpi. Aku yakin sekali.”

“Iblis?”

“Iya, Pak. Bapak tak pernah berwudhu sebelum tidur, bukan? Nah, karenanya Iblis mudah masuk ke dalam mimpi Bapak.”

“Tapi wajah Ismail yang pasrah begitu jelas tergambar dalam mimpiku, Hajar. Aku memegang golok sementara kamu tak berani melihat. Kamu menangis keras-keras di kamar. Semuanya tergambar begitu jelas. Tetapi ketika mata golok telah menyentuh leher Ismail, aku selalu terjaga. Sudah tujuh kali aku mimpi seperti itu.”

“Bapak harus tabah,” potong Hajar. “Setan begitu kaya dengan tipu daya. Aku yakin ini perangkap setan, Pak.”

“Barangkali kamu benar. Tapi bisa jadi mimpi itu memang benar-benar perintah.”

“Huss! Bapak jangan berpikir yang tidak-tidak.”

Keheningan merayap beberapa jenak. Dan mendadak mata Ibrahim berkaca. “Sepertinya anak kita mesti segera diberi tahu.” Lirih suara itu senada dengan desir angin membelai dedaun padi. “Kamu mesti sanggup merelakan Ismail, Hajar. Ia akan berubah menjadi domba saat aku menyembelihnya nanti. Sama seperti nabi Ismail.”

“Mengapa Bapak begitu yakin mengartikan mimpi itu sebagai perintah?”

“Bagaimana caranya membedakan wangsit atau bukan? Mulanya aku mengira mimpi itu sekedar bunga tidur, tapi sangat aneh bunga tidur terulang jutuh kali berturut-turut. Ini menandakan bahwa…”

Belum selesai Ibrahim menuntaskan kalimatnya Hajar telah berjingkat. Setengah berlari menyusuri pematang menuju pulang. Hajar tak kuat mendengarnya. Ia tak rela jika Ismail disembelih.

Tapi jika benar mimpi yang diterima suaminya merupakan perintah dari Tuhan, adakah ia juga tak akan merelakan? Entahlah.

***

Matahari tak terlihat lagi. Mendung membusung di langit siang. Tidak seperti biasanya, sebelum dzuhur Ibrahim sudah tiba di rumah. Hajar cukup terusik dengan ketidakbiasaan itu. Lebih terusik lagi saat Hajar menatap bola mata suaminya. Bola mata yang memancarkan kepercayaan tentang mimpi yang hadir dalam tidurnya.

Hajar duduk dikursi teras menunggu Ismail pulang dari sekolah. Raut mukanya di selimuti kecemasan luar biasa. Tetapi ia bertekad akan menjaga Ismail dan akan berteriak minta tolong jika nanti suaminya benar-benar berniat menyembelihnya.

Selang beberapa saat Ibrahim muncul dari pintu dengan pakaian bersih dan wangi sabun mandi. Rambutnya masih basah. Dan di balik sarungnya yang kucel, tanpa Hajar ketahui, terselip sebilah golok yang baru diasah.

“Kau mesti merelakan Ismail, Hajar,” kata Ibrahim dengan suara pasti, ketika matanya melihat bocah usia belasan mengenakan seragam sekolah berlari-lari kecil mendekatinya.

Hajar tak menjawab.

Sementara Islamil, bocah belasan yang berlari mendekat itu kian jelas terlihat. Ketika tinggal beberapa meter lagi Ismail tiba di depan mereka, mata Ibrahim dan Hajar membelalak. Betapa tidak? Sesekali Ibrahim dan Hajar memang melihat bentuk tubuh Ismail yang asli: mengenakan topi dan sepasang kaus kaki yang berbeda tingginya. Tapi sesekali, entah karena apa, Hajar dan Ibrahim melihat Ismail menjelma seekor domba putih bersih.

Saat Ismail berada persis di depan mereka petir menggelegar di susul hujan besar.