GADIS PAYUNG

80ilustrasi-balapan-liar

Cerpen Jusuf AN
Pernah Dimuat di Koran Sindo, Minggu, 31 Desember 2006

MALAM merangkak mendekati pagi. Bebintang bagai bijih-bijih perak. Berserakkan di angkasa. Hujan baru saja reda. Gubuk-gubuk di pinggir kali, bawah sebelah jembatan seperti mati. Lalat-lalat lelap. Gelap mengakap. Aning membuka daun pintu triplek tipis, lalu menutup kembali dengan hati-hati. Payung ia kembangkan. Tak sempurna, karena dua rujinya telah patah. Langkahnya terseret, menyapu sampah-sampah plastik sisa luapan kali. Ketika menyeberang di atas dua potongan bambu pandangannya lurus ke depan, acuh pada kecipak ombak kali keruh.

Satu dua kendaraan melesat bagai kilat. Gadis itu hinggap di atas pagar besi berkarat, menghadap jalan. Jika ia membalikkan kepala, lalu mengahadap ke bawah, bisa dilihat rumahnya tak kesepian: terhimpun dalam rumpun gubuk, beratap seng tua berkarat. Ia juga akan menangkap arus sungai yang letih menimang limbah. Tapi kini kepala gadis itu menunduk. Bola matanya jatuh pada sepasang kaki mulus beralas sendal jepit.

Entah apa yang mengucur dalam pikirkannya. Tanyakanlah pada Mak Dar, Emaknya yang buta, mengapa gadis itu selalu keluar membawa payung saat malam menjelang pagi dan hinggap di pagar jembatan yang sepi.

GENAP tigapuluh satu hari jembatan itu tak lagi ramai. Pastilah anak-anak muda yang biasa berkumpul, hampir tiap malam, masih trauma dengan kepala Tolep yang pecah karena menghantam tiang listrik di sirkuit balap liar itu.

Betapa Aning tak menyangka jika nyawa kekasihnya akan melayang demi mendapatkan uang taruhan yang rencananya akan digunakan untuk biaya perkawinan. Tiga menit menjelang kematian Tolep, sebelum peluit star ditiupkan, Aning masih mendampinginya, berlagak bak unbrella girl di kejuaraan-kejuaraan internasional. Meski sebenarnya ia tak menggenggam payung, sebab bulan tak pernah menyengat. Diciumnya kening Tolep. Hatinya merapat doa paling khusuk dari doa-doa yang pernah ia baca. Namun, ternyata Tuhan tak mau mendengar. Bukankah Ia Maha Mendengar? Mungkin saja Tuhan tak mau mengabulkan karena Ia Maha Tahu. Ah, Aning tak pernah tahu tentang itu. Ia hanya tahu rencana perkawinannya dengan Tolep gagal total setelah melihat darah kental menggenang di aspal, mengucur dari batok kepala Tolep yang pecah. Itu resiko seorang pembalap liar. Sebab mereka tak mengenal helm ketika adu cepat berlangsung.

Apa yang harus Aning katakan pada Mak Dar?

Aning akan selalu ingat, betapa Emak sangat mengharap ia menikah dengan orang yang benar-benar orang. Bukan dengan orang seperti, Mijan, Buis, atau Sabrig, tetangganya, anak pemulung sampah, yang pernah melamarnya, tapi ditolak mentah-mentah emaknya. Menikah dengan mereka tak akan mengundang bahagia, kata Emak.

Derita? Ya, karena derita pula Mak Dar mengaku telah menusuk dua bola matanya dengan paku. Sejak suaminya digebuk kepalanya pakai batu oleh petugas ketertiban, sampai mati, karena melawan penggusuran pasar loak. Lantas sebulan kemudian, sesuatu yang tak terduga terjadi. Rumah yang masih bau duka itu, yang telah ditempati lebih dari sepuluh tahun, dilebur. Alasannya, tak punya sertifikat. Padahal tiap tahun ada petugas datang menarik uang pajak. Tak ada lagi barang berharga yang Mak Dar punya. Semuanya telah terjual untuk biaya hidup. Dan kemudian, ia menusuk matanya sendiri, sebagai modal mengemis. Aning dipastikan akan memeluk emaknya ketika mendengar cerita itu.

Aning masih punya dua bola mata semu biru yang cantik. Masih bisa melihat gubuk reyok beratap seng. Dua ruang tak berjendela: satu ruang untuk kamar tidurnya dengan Emak, satunya tempat menaruh baju-baju. Tak perlu lemari. Pecahan cermin yang Aning temukan di kali, nemplek di dinding triplek. Memasak di luar saja. Harus berani lapar jika hujan tak reda seharian.

Sungguh Aning ingin membahagiakan Emak, bukan hanya dengan menyuapinya tiap pagi dan petang dari hasil emaknya mengemis. Ia ingin emaknya bisa kembali melihat, dan tersenyum ketika tahu anak gadisnya sudah dewasa. Kata orang, mata Emak bisa dicangkok dengan biaya setumpuk uang.

Maka, ketika balap liar digelar di waktu tengah malam, diam-diam Aning keluar rumah. Di sanakah para pria kaya itu berkumpul? gumamnya ketika suara knalpot melengking, membuyarkan mimpi buruknya.

Dari bawah ia bisa mendengar orang-orang tertawa girang. Peluit panjang ditiup pertanda star. Tepuk riuh para penonton. Bising knalpot menggelegar.

Aning melangkah gamang, menghampiri. Dan berhenti tak begitu dekat dengan gerombolan orang yang belum ia kenal. Suara riuh orang-orang pasang taruhan. Ada yang sibuk mencari lawan. Laki-perempuan saling dekap. Ada yang berciuman di bawah pohon mahoni. Bau cinta dan berahi berbaur di sepanjang jalan. Puluhan motor berjajar. Jalan yang lurus dan panjang itu ditutup kayu melintang. Tak ada orang berani protes kecuali petugas lalu-lintas. Itu pun jika sempat dan sedang berhati malaikat, tak mau disuap.

Mendadak sirine polisi merangung, kian mendekat. "Garukan! Garukan!" Semua orang menyalakan motornya. Melesat cepat. Sekejap saja suasana lengang. Aning tak mengerti. Dan tiba-tiba sebuah motor berhenti di depannya. "Naiklah! Sebelum polisi menangkapmu." Itulah awal kali ia duduk di jok motor Tolep, joki yang terkenal paling handal di kalangan para pembalap liar di kota itu.

***

"Datanglah lagi besok malam di tempat ini, Ning!"

"Aku? Tentu. Ya, tentu. Aku akan datang." Ada yang bergelora di hati Aning saat Tolep menatap matanya teramat lekat. Tatapan Tolep tak sia-sia karena telah membuat Aning untuk pertama kalinya mengenal gelora asmara. Aning yakin bahwa mukanya pasti memerah. Meski ia tak bisa melihatnya. "Sudah, ya, aku pulang. Tunggulah aku besok malam." Aning menggerakkan kakinya, menuruni tangga beton menuju rumahnya yang kedinginan.

"Tunggu!" Aning membalikkan badan. Tangan tolep merogoh saku jeansnya, memberikan beberapa lebar uang. Cukup untuk membeli sesetel pakaian baru dan sendal Daematu.

Ia pulang menggendong setumpuk kesenangan. Mak Dar masih lelap. Aning rebah di sisinya. Dipandangnya keriput tua serta bekas luka tusukan paku pada dua mata Emak yang tak rapat terpejam. Keharuan menyentuh hati Aning.

Saat mentari melek, di depan pintu, Aning tengah tenggelam dalam cermin pecah yang tadinya nemplek di dinding triplek. Wajah Tolep terbayang. Dan tiba-tiba wajah itu muncul dari balik cermin, tersenyum kepadanya. Aning membalasnya.

***

Sudah lama Aning bermimpi merasakan hangatnya bibir lelaki. Bukankah ia telah merasakannya? Memang. Tak hanya bibir. Tak hanya sekali. Indah: berpelesir naik "bebek" balap warna merah hingga ke luar kota. Tangannya akan melingkar erat di perut Tolep yang buncit. Cembung spion menyimpan senyum-senyum tebal. Kehangatan terasa di punggung Tolep, meski dadanya kedinginan ditusuk runcing angin malam.

Sebuah kenikmatan aneh telah Aning temukan. Menggiurkannya. Selalu ia ingin menyelam lebih dalam. "Kita menang lagi, darling!" Untuk menginap di Hotel cukup, tentu. Puluhan tantangan telah Tolep kalahkan. Modalnya hanya keberanian, keingingan untuk bersenang-senang, dan tentu, motor "kosong", korekan mekanik lulusan STM swasta yang masih temannya sendiri.

Oh senangnya Aning! Ada yang memperharikannya lebih dari emaknya sekarang. Wajahnya terlihat tambah cantik. Bibirnya dipoles lipstik merah cerah. Pipi molek berlapi bedak. Rambut harum shampho, tergerai panjang tanpa ketombe. Sepatu hak tinggi membuatnya makin terlihat seksi.

Aning telah yakin bahwa Tolep pastilah orang kaya. Tolep, ya, pasti ia lelaki yang dimaksud Emak. Sudah saatnya ia beri tahu Emak tentang kekasihnya itu. Maka, di waktu pagi buta, ketika Mak Dar kehausan dan memanggil-manggil Aning yang tengah bercermin di depan pintu, Aning cepat-cepat mengahambur, mengambilkan segelas air keruh, lalu mulai menceritakan tentang Tolep.

"Tolep? Ia punya mobil? Rumahnya besar, Ning?" Penasaran. Tangan Emak membelai pipi Aning.

"Ia keren, Mak. Motornya bagus, larinya kencang." Begitu semangat kata itu meluncur. "Uangnya banyak, Mak. Mak mau makan apa hari ini? Daging sapi apa tongkol? Atau Mak mau telor dadar saja?"

Mak Dar tiba-tiba menunduk. Ia seperti menyesal karena telah lupa memberi tahu ciri-ciri orang kaya pada anakku sendiri. Tapi belum terlambat. Bukankah Aning belum resmi kawin dengan Tolep?

"Tinggalkan To.., e.., itu, siapa? Tinggalkan lelaki itu, Ning! Ia sama kerenya dengan kita."

"Kere? Tolep banyak uangnya, Mak!"

"Mijan juga punya banyak uang, Ning. Hasil Njambret. Buis, Sabrig, mereka kalau pas rejeki datang banyak uangnya. Tapi kalau pas sial, ketangkap."

Aning tak tahan lagi mendengar kekasihnya dihina emaknya sendiri. Ia lari ke luar rumah, duduk sedih di atas batu besar di tepi kali. Saat itulah air kali mencibirnya. Aning meludah.

Malamnya, Aning menceritakan hal itu Pada Tolep. Bicaranya tersendat-sendat. Perempuan itu sungguh tak kuasa. Air matanya membuncah membasahi baju kekasihnya. Sementara Tolep tersenyum, merasa bangga karena seorang perempuan cantik benar-benar telah tergila-gila padanya. Tolep menyangka Aning sudah terbius dan akan selalu merindukan kecupan yang telah ia tanam pada sekujur tubuhnya.

"Sudahlah, darling! Kita akan kawin." Tolep membelai rambut Aning penuh pengertian.

"Kawin?" Aning tertegak.

"Malam Minggu besok kita akan dapatkan uang banyak. Untuk biaya perkawinan kita, Ning. Uang itu akan sisa untuk biaya oprasi Emak." Tolep kembali melempar senyum. Seekor burung bangau mengitari mereka yang tengah berpelukan.

HINGGA pagi rekah Aning masih duduk di sana, di pagar besi jembatan yang catnya telah pudar. Kendaraan yang kian lama kian banyak bermunculan. Tak ada hujan. Sementara payung hitam masih tergenggam. Tak sudi ia menatap langit biru itu. Payung adalah langitnya yang paling pengertian, meneduhkan jiwanya. Payung itu membuatnya merasa tak sendirian. Ada bayangan gaib yang menemaninya, duduk bersama dalam senyum kebisuan.

Rambutnya dicakar-cakar angin kencang. Selintas ia berpikir untuk terjun memeluk batu-batu besar di kali. Tapi kemudian senyumnya mengembang lebar. Kepalanya menengadah, menatap ruji-ruji payung hitamnya. Betapa payung tak bergagang yang tak sempurna mengembang karena dua rujinya telah patah itu telah menentramkannya. Ingin rasanya ia mengajak Emak untuk bersama-sama duduk di pagar jembatan itu, merasakan keteduhan payung yang biasa digunakan Emak sebagai tongkat meraba jalan, dan berteduh di trotoar sambil meminta-minta.(*)

Yogyakarta, 2006

Puisi: Hikayat Sri

Puisi: Hikayat Sri

kita adalah debu
yang terlempar dari
sunyi langit biru
tumbuh menjelma daun
menggantung dicakar angin
lalu kembali membeku:
sebiji debu di batang waktu

dan di waktu yang lain,
kita cakarmencakar
mempertahankan kehijauan,
            remang kebenaran.
seperti dongeng-dongeng masa silam



I

karena waktu pengap selalu
maka aku berguru pada batu
juga gunung, matahari dan bulan
yang kekar menjulang, merangkak,
dan takzim berputar

cuaca dan musim
bukanlah sesosok kelam
tetapi kawan paling hangat


“aku tak butuh nilai
dari tapaku bermalam-malam.
hanya kuharap sebiji benih
wujud perasan kesabaran.”

II

di atas batu berlumut
petapa itu tertunduk
mengucur mantra dari dadanya;
mengembang aromanya
hingga khayangan

lalu mendung menabungnya
dan hujan kemudian tiba.

“batara ramadi masih semedi.”
tetapi wiji widayat mesti
segera diserahkan kepada bumi
yang entah sudah berapa lama
menanam rindunya
dan selalu bercerita
setiap kali berciuman dengan hujan:
akan segera lahir anak-anak kita;
anak-anak yang gembira
menari bersama angin;
angin yang melahirkan cucu-cucu;
seterusnya begitu.

III.

“namaku sadana, lelaki yang lena
dengan wangi darah adik sendiri.
kelak mayatku menjelma hama
dan kau pun sibuk meramu racun
dari bunga yang tumbuh di gurun-gurun.”
kau tercipta dari kesialan
melengkapi keperihan kisah ini                     
sebagaimana kebanyakan yang lain              
kau laiknya mendung yang tak turun
tak sempurna namamu berdengung
            kini atau pun nanti

“akulah sri, perempuan yang
tercipta dari mantra si petapa
kelak mayatku akan ditanam di bumi
menumbuhkan benih kehidupan.”

lalu waktu
kembali mempertemukamu
dengan makhlukmakhluk
yang tercipta dari tulang belulang sadana.
sementara anantaboga, ular besar
yang menganggapmu sebagai putri
senantiasa menjagamu
dari kesepian dan ancaman

“aku akan menelusup
dalam mimpi-mimpimu
sepanjang malam
menghantui hari-harimu                                
yang lapar. dan ingatlah,                               
keteguhan adalah benihku yang baru.”

setelah kelaparan lancar dilafalkan
orangorang angankan kau datang
membenih di pelataran
mencairkan wajah-wajah gelisah
setelah melesatkan doa ke angkasa—
            dan hanya hujan sebagai jawabnya

 "tidak terlalu berarti
mencari musabab
penjelmaan segolek mayatku
menjadi padi
sebab kebenaran telah lama mati
tanpa sempat ada yang menziarahi.
bangunlah pagi-pagi,
dan lihatlah pucuk daunku
                        yang menari
menarilah bersamaku
di ladang dan pematang                                
di musim panen atau gersang
sampai keringat menjawab segala gundah:   
tak ada doa yang sia-sia
tak ada perkara tuntas terselesaikan.”

maka demikianlah
waktu akan selalu menggantikan cuaca
menuding dada siapa saja
yang keringatnya berkilauan cahaya.

Yogyakarta, 2007

Puisi ini terinspirasi atas dongeng “Dewi Sri” dari Banyumas, Jawa Tengah