Mengusut Terosisme Secara Mandiri dan Berani

Mengusut Terosisme Secara Mandiri dan Berani


Oleh M. Yusuf Amin N
Terorisme adalah salah satu bentuk aksi bermotif politik yang menggabungkan unsur-unsur psikologis (mengancaam) dan fisik (aksi kekerasan) yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok kecil dengan tujuan pengajuan tuntututan terorisme terpenuhi.
Isu teror dan terosisme telah mengancam dunia. Diawali dengan tragedi 11 Sepetember di negara Adikuasa, kemudian disusul dengan ledakan-ledakan bom lainnya, seperti hotel Marriot, Bali dan yang terakhir Kedubes Australia.. Pemerintah tentunya tidak tinggal diam dalam menangani terorisme, dibuktikan dengan munculnya UU no. 15 th 2003 yang kita kenal dengan UU anti terorisme.
PUISI SEMUA ORANG

PUISI SEMUA ORANG


Jusuf AN

Yasraf Amir Pilliang menuliskan, puisi tidak saja merupakan sebuah sekumpulan kata-kata, tetapi sekaligus sekumpulan tanda-tanda (signs). Dalam puisi tidak mengomunikasikan sebuah pesan, tetapi lebih tepat "menandakan" sebuah makna tertentu (meaning). Oleh karena itu puisi dapat dijelajahi maknanya dengan alat bantu semiotika, pengetahuan tentang tanda. Selain itu puisi bukanlah sebuah bentuk komunikasi atau informasi langsung melalui ungkapan-ungkapan literer. Banyak makna yang diungkap di dalam puisi yang tidak dapat disampaikan menggunakan perangat bahasa yang ada. Puisi memerlukan cara pengungkapan sendiri. Maka muncullah metafora, yang menurut Karsten Harris adalah "prinsip dari puisi, tantangan serta keagungannya."

Namun demikian, puisi yang baik bukanlah puisi yang susah dipahami akibat penggunakan metafora orisinal (creativa methaphor) atau metafora konvensional (lexical metaphor). Puisi yang baik adalah puisi yang bisa memberi pencerahan, inspisari, dan makna bagi kehidupan pembacanya atau pendengarnya (jika puisi dibacakan) tanpa butuh waktu panjang untuk membedahnya dengan menggunakan setumpuk referensi.

Pertanyaannya, seberapa banyakkah orang di negeri ini yang belajar tentang teori semiotika; tanda puisi (poetic signs), tanda linguistik (linguistic signs); semantik, juga metafora, untuk memahami kata demi kata di dalam puisi yang merupakan "kendaraan makna" (vehiscle of meaning) sehingga menemukan makna puisi (poetic meaning) ?

Kita mesti sepakat bahwa cuma segelintir orang saja yang dapat menangkap makna sebagian besar puisi kita, terutama untuk puisi-puisi modern yang bermunculan dewasa ini. Dengan lain kata hanya sedikit puisi saja yang bisa dimengerti dan diambil maknanya oleh kebanyakan masyarakat kita. Puisi terkesan menjadi karya seni yang eksklusif, dan dijauhi banyak orang. Kenapa demikian?

Sebenarnya persoalan semacam ini sudah lama diperbincangan, namun selalu mengambang dan kurang mendapat respons yang signifikan. Maka, tulisan ini beramaksud mengangkat kembali masalah yang belum selesai itu. Membuka kran kesadaran para sastrawan, baik penyair atau kritikus, tentang masalah yang seolah-olah tenggelam dalam keriuhan pergulatan estetika dan penciptaan-penciptaan karya yang eskperimental. Tulisan ini tidak bermaksud memberikan penjelasan yang konprehensif, karena untuk itu dibutuhkan penelitian yang mendasar dan menyeluruh.

Emha Ainun Nadjib pernah mengungkap masalah ini dalam tulisannya bertajuk "Repot" (1975). Secara umum Emha sepakat dalam obrolannya bersama Rendra dan Umar kayam, bahwa sektor-sektor kesenian (dalam tulisan ini baca: puisi) tidak perlu membicarakan masalah itu (eksklufitas seni) lagi, sebab hanya merupakan lingkaran setan yang tak berujung. Bagi Emha sebuah puisi tak perlu dimengerti oleh rakyat banyak—dalam artian ia tak usah melewati pengertian secara keras—sepanjang sedikitiknya ia mampu mencuri secara implisit dan menjebak dalam suatu kehidupan puisi. Lebih jauh lagi Emha mengklasifikasikan masyarakat dari mulai yang buta huruf, cendekiawan, awam, berperasaan tajam dan tumpul, IQ tinggi dan "jongkok", dan golongan-golongan lainnya. Karenanya tak perlu kita kerepotan memikirkan hal tersebut sehingga mengganggu kerja cipta kita, sebab yang terpenting adalah bagaimana secara sentral berusaha mencapai titik intensitas dari pertemuan atau kesatuan-kesatuan universal yang sesungguhnya ada, yang memungkinkan sedikit "berakrab" (dengan pembaca).

Ya, persoalah komunikasi (pencipta dan pembaca) puisi memang sangat rumit dan membingungkan. Tetapi bukan berarti persoalan tersebut dibiarkan tanpa wacana yang terang sehingga lambat-laun puisi semakin terperangkap di ruang eksklusif dan dijauhi masyarakat.

Puisi mestinya juga bisa dinikmati oleh orang banyak dan bukan hanya milik orang-orang yang hidup di dunianya saja. Sebab pada awalnya puisi tercipta dengan tujuan yang suci, yakni menggugah perasaan melalui kecerdasan bahasa, emosional, bahkan sprititualitas penyairnya. Puisi juga mempunyai kegunaan membangkitkan empati, dan dapat mendorong manusia ke dalam perenungan dan refleksi tentang kehidupan. Tetapi tujuan itu akan mentah bersamaan dengan puisi yang menutup dirinya bagi orang awam.

Kita tahu, masyarakat adalah sebuah entitas kolektif berkesadaran yang kompleks. Oleh sebab itu jika puisi ingin berkontribusi padanya, maka perlu adanya kontribusi yang holistik dan kompherensif; yang menyentuh seluruh dimensi kesadaran masyarakat, baik itu spiritualitas, rasionalitas maupun emosionalitas. Menurut Culler, siapa pun yang berkenalan dengan sastra dan tak terbiasa dengan konenvensi-konvensi untuk membaca karya sastra, akan merasa sangat kecewa bila harus membaca puisi. Mungkin dia memahami saling hubungan yang aneh antara frasa-frasa itu. Dia tidak mampu membacanya sebagai karya sastra kare atidak mempunyai "kompetensi literrer" yang memungkinkan orang lain memahaminya. Sehubungan dengan itu Darmanto Jatman mengatakan, kesenian harus merupakan wujud komunikatif di mana manusia menemukan dirinya dan bukan sekedar karena interpersonal, tapi impersonal karena ia merupakan wujud ekspresi dari totalitas manusia yang seharusnya human dan memiliki istegritasnya.

Barangkali penjelasan dari Culler dan Darmanto Jt tersebut dapat dijadikan salah satu pijakan bagi para penyair agar puisinya lebih bisa dinikmati oleh masyarakat secara luas. Penyair semestinya memperhatikan masyarakat sebagai penikmat puisi-puisinya. Sehingga ketika melakukan proses penciptaan puisi penyair tidak kemudian persetan, masa bodoh dengan kompleksitas masyarakat yang ada. Ingat, tidak semua orang tahu tentang puisi! Jadi mempertimbangkan apakah puisi yang diciptakan bisa dimengerti oleh masyarakat kebanyakan tetaplah penting dipertimbangkan.
Sebagian penyair kontemporer, terutama penyair muda, masih terjebak pada metafora-metafora gelap yang sering rancu dan membingungkan. Seringkali pembaca dari kalangan sastra sendiri kebingungan memaknainya, apalagi untuk masyarakat awam sastra. Bisa dibayangkan! Atau, jangan-jangan kecenderungan penyair muda yang demikian itu merupakan sikap latah dari senior mereka?

Peran Kritikus?

Dengan seperangkat alat bedah ilmiah seorang kritikus sastra (baca: puisi) berusaha menjembatani pembaca (khusunya yang awam) untuk bisa masuk dan memahami lebih rinci puisi-puisi yang tadinya muram dan gelap sekalipun. Tetapi ketika masyarakat sendiri telah terlanjur enggan membaca sebuah karya puisi apakah ia punya keinginan untuk membaca kajian kritiknya?
Lain dari pada itu terkadang kritikus malahan mempersempit makna sebuah puisi itu sendiri. Pembaca seolah-olah terjebak dalam subyektifitas kritikus dan tidak bisa berimajinasi menurut kemampuan dan keinginannya masing-masing. Metafora "celana" Joko Pinurbo, atau metafora "tato" dalam puisi-puisi Soni Farid Maulana menjadi miskin pemaknaan apabila sebelum membaca sajak dua penyair tersebut, pembaca terlebih dulu membaca ulasan kritikus berkait makna "celana" dan "tato". Meskipun kritikus sebenarnya hanya sebagai penjembatan untuk memahami sebuah karya dan bukan "tuhan" pemegang kebenaran. Tetapi pendapat yang dikemukakan kritikus—bagi pembaca awan apalagi—seringkali mengganggu dalam menikmati sebuah puisi.
Harapan Semua Orang

Kita tentu saja sangat mengaharapkan lahirnya puisi-puisi yang "sederhana" tetapi mengandung kedalaman makna, tidak terlalu gelap, dan tidak terlampau personal. Bahwa sikap penciptaan tanpa memperhatikan pembaca merupakan sikap yang ekstrim dan apatis, saya sepakat. Tetapi penyair juga tidak boleh menganggap pembaca adalah orang yang bodoh sehingga karyanya terkesan ringan dan mentah. Merangkai kata menjadi puisi yang komunikatif dan bermakna luas, menggetarkan hati dan memberi inspirasi pagi publik memang demikian berat. Tetapi penyair sejati tak akan pernah menyerah bergelut dengan kata yang akan diserahkan kepada seluruh umat manusia.
Membincang Puisi Protes

Membincang Puisi Protes

Jusuf AN

Dua hal yang penting untuk dikaitkan ketika kita membincang puisi, yakni penyair dan lingkungan yang melingkupinya. Sebuah puisi tentu saja tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal si penyair. Selain kondisi sosial budaya saat menciptakannya, perasaan dan ideologi penyair juga mempengaruhi sebuah puisi yang lahir. Puisi merupakan alat yang digunakan penyair untuk menyuarakan apa yang dilihat dan dirasakannya. Ketika bencana merajalela di mana-mana maka puisi berusaha merekamnya. Ketika kezaliman penguasa membabi buta, maka puisi lahir untuk menggugatnya. Ketika kebebasan berpendapat dibungkam penyair tetap dapat berteriak lewat puisi-puisinya.

Tak pelak, puisi menjadi satu hal yang paling ditakuti oleh para diktator. Bagi pihak penguasa otoriter, puisi bisa menjelma nuklir yang mengancam runtuhnya singgasana emasnya. Penyair dianggap sebagai biang kotoran dan penyakit, serta pemberontak yang keras kepala yang menjadi sasaran untuk disingkirkan. Hal semacam ini bukan lagi rahasia kini. Tentu saja kita akan selalu ingat dengan kekejaman era Orde Baru (Orba) di mana penyair-penyair diancam, dipenjara tanpa pengadilan, diculik, dan hingga kini masih ada yang hilang tak diketemukan.

Tapi kini, zaman pembocoran fakta lewat fiksi sudah berakhir, kata Joni Ariadinata dalam sebuah esainya. Nyaris tak ada lagi yang misteri dari fakta-fakta yang disembunyikan, baik oleh tekanan politis negara maupun tekanan etika. Setiap orang kini adalah sumber berita, berhak mengumbar berita. Tak ada lagi yang rahasia dan patut dirahasiakan. Setiap orang boleh mengatakan apa saja dan membuka peristiwa apa saja.

Begitulah, setelah Orba lengser dan protes dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa rasa takut sedikitpun, puisi protes seakan kehilangan gema. Puisi protes tak lagi dianggap sebagai momok menakutkan, tak lagi diperhatikan. Bahkan, menurut Putu Wijaya, dalam Zig-Zag (1996) sekarang raja sudah terbiasa mendengar segala yang jelek-jelek tentang dirinya dengan hati tentram. Karena terbukti itu tidak ada pengaruhnya melainkan justru jadi tambahan punten, karena menunjukkan kemuliaan hati dan tegaknya demokrasi.

Alhasil puisi kritik, protes, perlawanan, atau istilah lain serupa itu tak lagi diperhatikan bukan hanya oleh pembaca, penguasa, melainkan gairah para penyair untuk menulis puisi protes juga mulai melemah. Ini kenapa? Apakah puisi-puisi protes tak lagi dibutuhkan sebuah bangsa yang telah membuka kran “kebebasan berpuisi”? Apakah kezaliman di sekeliling kita telah benar-benar musnah? Ataukah karena penyair mengikuti selera pembaca, yang kini jarang ada yang peduli pada puisi macam itu?

Memang, sebenarnya puisi protes tidak sepenuhnya mati, hanya kehilangan gairah, kehilangan pembaca. Masih ada penyair yang konsisten menulis puisi protes tentang kerusakan alam, politik busuk, dan keterpurukan soal sosial budaya lainnya. Bagaimana pun puisi protes tetap dibutuhkan. Di tengah hiruk-pikuk kritik dan pemberitaan yang deras mengalir dari berbagai media kita tetap membutuhkan suara hati penyair dengan kata-kata yang penuh perenungan. Kita butuh kata-kata segar, pelecut semangat, pengobar keberanian, dan cermin untuk menatap diri kita sendiri.
Puisi protes tentu saja masih terus lahir di tiap sudut bumi ini, demi merekam dan menyikapi peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Konflik yang terjadi antara bangsa Arab-Israel membuat para penyair Palestina terkondisi untuk melahirkan puisi-puisi perlawanan. Mulai dari yang tertua Jabra Ibrahim Jabra (1920-1994), Ghassan Kanafani (1936-1972), hingga Abu Salma, Sami Al-Sharif, Ibrahim Souss, dan Tamim Al-Barghouti dan masih banyak lagi sederet penyair lainnya. Penyair-pernyair tersebut melahirkan puisi bukan lantaran suaranya dikekang, pendapatnya dibungkam, melainkan karena darah kepenyairannya telah kental, sehingga batinnya bergejolak untuk menulis tragedi di sekitarnya. Selain itu, puisi-puisi perlawanan terkadang juga menjadi slogan, khususnya yang lahir di daerah konflik, dapat membangkitkan semangat perjuangan dan keberanian untuk melawan kezaliman.

Marilah, sejenak kita renungkan puisi Abu Salma, penyair berdarah Palestina berjudul ”Kami Akan Kembali” yang saya petik dari artikel A.Rahim Qahhar, sastrawan Sumatra Utara:

Demi cintaku Palestina, bagaimana aku dapat tidur/ Sedangkan spektrum penyiksaan ada di mataku/ Aku menyucikan dunia dengan namamu/ Dan jika kamu tidak suka biarkan aku keluar/ Aku telah dipelihara perasaan penuh rahasia/ Pada hari-hari yang meluncur berbicara tentang/ Persekongkolan dengan musuh dan teman-teman/. Demi cintaku Palestina!/ Bagaimana aku hidup/ Anda jauh dari dataran dan lautan/ Di kaki gunung yang dicelup dengan darah/ Yang memanggil-manggil diriku/ Dan di cakrawala yang muncul mencelup/ Menangis di pantai memanggil diriku/ Dan aku menangis di telinga waktu/ Aliran pelarian yang memanggil diriku/ Mereka menjadi asing di negeri sendiri.

Sungguh, kita yang hidup di Indonesia, tidak hanya akan diajak merenung oleh pencinta negeri Palestina itu, tetapi kita dapat menikmati diksi demi diksi yang Abu Salma rangkai sedemikian rupa sehingga membuat emosi kita terbawa. Inilah salah satu hal yang mungkin patut kita perhatikan: Puisi adalah puisi yang menyimpan tanda, metafora, dan diksi yang tertata. Inilah yang membedakan puisi dengan berita atau artikel. Kalau puisi protes diramu sedemikian rupa sehingga tidak hanya mengkritik (apalagi menghujat) dengan bahasa skripsi, maka saya kira puisi protes akan tetap mendapat tempat, mendapat apresiasi layak dari publik.

Protes Diri Sendiri

Sebenarnya puisi protes atau kritik bisa diartikan lebih luas lagi, yakni protes dan kritik itu tak melulu ditujukan untuk sesuatu yang berada di luar diri si penyair. Di satu sisi kita patut protes manakala melihat kemungkaran, kebiadaban, ketidakadilan di sekeliling kita, tetapi di sisi lain kita juga mesti protes terhadap diri kita sendiri yang terkadang khilaf atau bahkan telah melakukan dosa dan kesalahan besar. Dan ketika si penyair mengkritik kinerja pemerintah yang amburadul, korup, atau boros, atau mengkritik kebiadaban di sekelilingnya, maka sudah sepantasnya penyair tersebut mengoreksi dirinya sendiri, apakah dirinya telah bersikap baik, jujur, dan hemat dan bijaksana selama ini.

Kita tahu, Nabi menyuruh kita untuk sibuk mencari kesalahan diri sendiri sehingga tidak punya waktu lagi dan hingga tidak punya waktu lagi untuk mencari kesalahan orang lain. Sabda Nabi selalu ada benarnya, sebab ketika seseorang telah memperbaiki dirinya, maka ia akan menjadi teladan bagi orang lain. Ketika kita (selalu berusaha) menjadi pribadi yang baik, maka, tanpa menulis puisi, kita sebenarnya telah berupaya untuk membangun negeri ini ke arah yang lebih baik. Lebih-lebih kalau kita menyempatkan waktu menulis puisi. Bagaimana?
Biografi Jampang

Biografi Jampang

Puisi Jusuf AN

Sesekali mesti membuka mata
dan berduka mendapati
tubuhtubuh penuh balur yang
ditanam penguasa
sebab duka adalah rahim
yang meyimpan
keberanian untuk melawan


I

"Namaku Jampang
terlahir di remang jaman
di tengah tanah yang bisu
serta tubuhtubuh yang aduh."

Lalu kau tumbuh
bertandang ke Cianjur
meramu musim demi musim
membangun benteng
dari puing kesendirian
mempersiapkan peperangan paling agung,
perang melawan aku-mu

(gaib, sebilah golok, sakti menarinari
menyilet mendung penyamun bimasakti,
karang terbelahbelah
hanya dengan ujung jari)

"Aku pulang, atau mungkin berangkat
membawa tubuh kebal dan
jiwa yang masih lapar
maka tak henti aku mengaji matahari;
Tuhan, bangunkan rumah megah dalam hati."

Kau tahu, tak ada bunga jiwa
merekah sepanjang masa

Maka kau kembali
diterkam gelisah
harihari membasah, merah
kau kalah, kau kalah

Sebelum pergi mestinya
jantungmu lebih kau kenali
sebab pamanmu sendiri lupa bercerita
tentang kobaran api di tanah Betawi


II

Antara diam dan melawan

Di ujung belati
tak henti kau menggambar kelakar kumpeni
golokmu meronta
setiap kali pintu digedor
Centeng garang penagih upeti

"Diamku adalah lubang
yang menampung segala dendam.
Selaksa pemburu kidang
aku tengah berancangancang,
sebab berperang merupakan
sembahyang suci,
gegabah berarti kalah."

Tetapi sampai kapan
kau biarkan nafas kami
mereka kuasai?


"Sampai aku-ku tiada
sampai sangsaiku menjelma pedang baja;
Penguasa di atas penguasa."

III

Hari ini
bersama dengan lecut cemeti
kau justru merayakan pesta perkawinan
sebab bagimu, hidup butuh keturunan

(daundaun gemetar lalu gugur
bersemi daun baru, melulu begitu)

Perputaran ini berlalu begitu singkat
bulan dan matahari bersorak
bersijingkat melesatlesat
dan sajak selalu berusaha merangkum
berabad waktu
dalam sebaris kata saja

Jampang tinggalkan ladang
tinggalkan jarit timangan, lalu terbang
penuhi ajakan sebilah golok
yang sudah lama meronta di sarungnya

Di masjid
angin menyusup masuk
seakan ikut duduk di lembar sajadah
mengamini rajukmu:
"Tuhan, Engkau ada dalam sukma orang tersiksa."

Selepas malam meningkap
kampung pucat
kau meloncatloncat seperti tupai
dari genting ke genting
memasuki ruangruang rahasia:
ruang yang menyimpan
keringat orangorang
keringatmu juga

Seperti hujan
lalu kau kembalikan kerigat itu
pada rakyat yang
telah lama dijadikan melarat

Begitulah, bermalammalam
kau berperang dengan cara lain
yang diajarkan musim paling dingin

Sementara moncongmoncong senapan
Sigap membelalakkan mata
menunggu kau terlelap
dalam sandaran maya:
Rayu Mayangsari yang janda itu
menggiringmu dalam kepungan musuh
menyeret lenganmu menuju pulang
ke tempat lain yang asing.

Yogyakarta, Februari 2007
puisi ini adalah tafsir dari cerita rakyat, si Jampang dari Betawi.


Fragmen Sebelah Mata Buta

Fragmen Sebelah Mata Buta

Puisi Jusuf AN

Seekor camar terbang terbakar
ombak dan pasir saling desir
hujan angin dingin
menepikanku di pantai asin

Aku seperti tersirap
setiap kali memandang matahari
tenggelam di laut senyap
bermimpi bersama ikan-ikan sepi

Ingin kuarungi laut hingga barat
menjala bola merah itu
untuk kupasang di sebelah mataku

Stanza Sebuah Pesta; Ketakutan

Stanza Sebuah Pesta; Ketakutan

sauhlah perahu
sebelum wakui mnghisap bebutir waktu
yang mengalir dalam darahmu



1/
kita yang tak pernah meminta dilahirkan
mengapa terus diburu kematian?

ketika perih lambung atau hati menyeri
seringkali kita pinta pada udara
mendatangkan ajal segera
tetapi, akuilah: tak pernah sungguh-sungguh
kita meminta.
semuanya akan terbukti saat kita sendirian
di malam lengang dan mendadak
dibangunkan bunyi ketukan pintu.

selalu saja,
ada bayangan legam mencipta ketakutan
mengikuti sepanjang perjalanan sunyi ini.
semua yang tampak, berbunyi dan bergerak
seolah juga mencintai nyawa kita
untuk dimilikinya

sedang pada hidup kita telah terlanjur mencintai
meski tak pernah benar-benar tahu untuk apa

o, sudah berapakah peristiwa menyeret kita
dalam ketakutan akan kematian?
semuanya terulang dan terulang
tanpa satu pun yang kita hapal.

seolah semuanya baru pertama kali terjadi

maka, sebuah cerita dikarang
untuk mengenang ketakutan demi ketakutan

Ensiklopedi Kecil Tentang NU

M. Yusuf AMin Nugroho

Sebelum putranya lahir, Ny. Halimah sudah yakin, kelak putranya akan menjadi orang hebat. Selain kandungannya mencapai 14 bulan, yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa diyakini anaknya akan cerdas, ia juga bermimpi bulan perunama jatuh dari langit dan menimpa perutnya. Dugaan itu semakin menguat manakala putranya telah lahir, dan pada masa kecilnya menunjukkan sifat kepemimpinan. Putra pasangan Ny. Halimah dan Kiai Asy’ari itu seringkali bertindak sebagai penengah dalam setiap permainan. Sementara kalau mendapati salah seorang temannya ada yang melanggar aturan permainan, dia tidak segan-segan menergurnya.

Itulah sekelimit kisah masa kecil Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Jami’iyah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang berdiri pada 31 Januari 1926 M di Surabaya.

Latar belakang berdirinya NU sendiri tidak terlepas dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu, yakni lahirnya gerakan Wahabi yang melarang segala bentuk amaliah kaum Sunni. Tujuan NU didirikan adalah untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamakan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah. Dengan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ (kesepakatan para Sahabat dan ulama), dan al-Qiyas (analogi). Sementara dalam pendekatan dakwahnya NU lebih banyak mengikuti dakwah model Wlisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak mengandalkan kekerasan.

Secara garis besar pendekatan masyarakat NU dapat dikatergorikan menjadi tiba bagian. Pertama, Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan tatharruf (ekstrim). Kedua, Tasamuh, sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Ketiga, Tawazun, sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama umat manusia dan antara manusia dengan Allah Swt. Karena prinsip dakwahnya yang model Walisongo tersebut NU dikenal sebagai pelopor kelompok Islam moderat.

Buku Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah ini memberikan gambaran yang rinci dan lengkap seputar sepak terjang NU sejak awal berdirinya yaitu pada masa KH. Hasyim Asy'ari hingga masa sekarang, yaitu era kepemimipinan KH. Hasyim Muzadi.

Pada tahun-tahun awal berdirinya (1926-1942), perjuangan NU dititik beratkan pada penguatan paham Ahlussunah Waljama’ah terhadap serangan penganut ajaran Wahabi. Di antara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab yang.tidak sesuai dengan ajaran Ahlussunah Waljamaah. Pada masa itu, NU merupakan sebuah "jam’iyyah diniyyah" murni (independen). Tetapi pada perkembangannya, tepatnya pada tahun 1952 bersamaan dengan Mu’tamar NU ke- 19 di Palembang NU kemudian menjadi partai politik sendiri. Kekuatan NU yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata muncul sebagai kekuatan sangat besar pada pemilu 1955, menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi.

Sepak terjang NU dalam dunia politik mulai terganjal mulai oleh Pemerintahan Orde Baru (Orba) yang pada tahun 1973 ‘menertibkan’ partai peserta pemilu. Dalam kancah politik maupun pemerintahan, para tohoh NU benar-benar dipinggirkan oleh pemerintahan Orba. Bahkan, pada pemilu 1977 dan 1982 banyak tokoh NU yang masuk penjara dengan aneka tuduhan.

Setelah malang melintang di dunia politik praktis selama 32 tahun NU memutuskan kembali ke jati dirinya pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Peristiwa itu dikenal dengan istilah kembali ke Khitah 1926, yakni kembalinya NU ke jami’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mengurusi dakwah dan pendidikan. Namun, ketika terjadi euforia pasca jatuhnya Soeharto (1998) pertanda dibukanya keran Demokrasi, NU kembali terjun dalam politik praktis dengan membentuk Partai Kebangkitan Bangsa sebagai kendaraan politiknya. Menjadi satu kebanggaan warga NU ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cucu pendiri resmi NU itu, terpilih sebagai Presiden RI keempat (1999). Tapi Gus Dur harus rela turun setelah impeachment dijatuhkan oleh DPR pada 2003. Peristiwa itu kembali menyadarkan para pengurus NU akan komitmennya untuk kembali ke Khitah, yang kemudian diteguhkan kembali dalam Muktamar ke- 31 di Donohudan, Solo (2004).

Hingga sekarang memang masih banyak tokoh-tokoh NU yang berkecimpung dalam politik praktis, dan itu sah-sah saja. Hanya saja, NU kini mencoba menjaga jarak dengan sesama partai politik, dan lebih mengurusi pendidikan serta lebih menekuni kegiatan dakwah kemasyarakatan. NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan.

Sebagai organisasi yang tua, hampir mencapai usia 82 tahun, NU telah melahirkan banyak istilah yang khas. Istilah-istilah khas NU itu sebagian terkait dengan nama kebijakan atau keputusan yang pernah dikeluarkan oleh NU. Dalam buku ini terdapat 57 istilah khas NU yang dijelaskan arti dan sejarah lahirnya istilah-istilah tersebut.


Selain itu, buku ini juga menjabarkan beragam budaya dan amaliah warga NU. Sebuah budaya dan amaliyah yang beberapa di antaranya ditentang dan dianggap bid’ah (sesat) oleh penganut ajaran Islam lain. Hizib, haul, istighasah, kitab kuning, laduni, qunut, siwak, tawassul, terbangan, tingkepan, tirakat, ziarah kubur, untuk menyebut beberapa di antaranya.


Buku ini juga menyuguhkan kisah hidup 49 tokoh NU yang mungkin dapat dijadikan teladan dan diambil pelajaran dari padanya (uswah). Mereka yang terekam dalam buku ini, mulai dari pemberi restu, pendiri, pejuang, penegak, pembaharu, hingga pelestari, merupakan orang yang memiliki peranan yang cukup besar dalam merintis dan mengawal perjalanan NU. Memang masih banyak tokoh NU, khususnya yang muda, tidak diulas dalam buku ini. Meski begitu perjalanan hidup 49 tokoh NU dalam buku ini kiranya sudah cukup dapat mewakili tokoh-tokoh lain yang tidak dimasukkan.


Layak kiranya kalau buku yang merangkum sejarah, istilah, amaliah, dan uswah NU ini disebut sebagai ensiklopedi kecil tentang NU. Membaca buku ini dan mengamati foto-foto berupa peristiwa-peristiwa penting seputar kegiatan NU dan para tokoh NU yang terdapat di sana, pembaca akan mendapat gambaran utuh tentang NU. Buku ini patut di baca, bukan saja oleh warga NU, tetapi siapa saja yang ingin tahu lebih dalam tentang NU.
Judul Buku : Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah
Penulis : H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, 2007
Tebal buku : xviii+ 322 Halaman (hard cover)
Peresensi : Jusuf AN*)

Seni Berperang Nabi Muhammad

Selain dikenal sebagai seorang Nabi ummat Islam, Muhammad saw juga merupakan manusia biasa yang sangat dikagumi kecerdasannya, termasuk dalam hal strategi berperang. Setidaknya ada dua kekuatan yang sangat menentukan kemenangan berperang, yakni kekuatan angkatan perang (fisik dan mental) dan persiapan senjata dan logistik. Dan Muhammad saw menyadari benar bahwa kekuatan tersebut merupakan modal awal dalam berperang dan karenanya beliau begitu memerhatikan.

Setelah modal tersebut terpenuhi misi selanjutnya adalah menjalankan integrasi horisontal. Strategi ini bertujuan mendapatkan informasi dan meningkatkan pengendalian atas ekspedisi musuh. Sebelum bertempur di medan perang, beliau terlebih dulu akan mengirimkan intelejen serta pasukan kecil untuk melakukan analisis terhadap kekuatan dan kelemahan pihak lawan, model strategi yang dipraktekkan sejak abad ke 5 oleh Sun Tzu. Sebelum terjun ke medan Badar, misalnya, Muhammad saw terlebih dulu mengutus Ali bin Abi Thalib bersama beberapa Sahabat lain untuk mengumpulkan informasi terbaru tentang tentara Quraisy. Laporan dari para intelegen itu kemudian dianalisis dan dijadikan rujukan perencanaan strategi dan formulasi perang. Hasilnya, 300 tentara Muslim berhasil membuat mundur 1000 tentara Quraisy.

Memang, terkadang jalan kekerasan (perang) tidak selamanya buruk. Untuk melawan Hitler dan Stalin misalnya, perang merupakan salah satu jalan yang tidak keliru. Begitu pun dengan keputusan berperang nabi Muhammad. Nabi Muhammad merasa, tidak bisa mendiamkan kesewenang-wenangan dan tirani suku Quraisy beralarut-larut, dan karenanya Islam mewajibkan mengadakan perlawanan. Peperangan yang ia tempuh merupakan solusi puncak karena terdesak, setelah jalan perdamaian gagal ditempuh dan nyawanya selalu terancam.

Seni berperang Sang Nabi jauh berbeda dengan Machiavelli dalam The Art of War, yang menganggap perang adalah bertempur habis-habisan dan tak kenal perasaan. Muhammad saw tidak demikian. Beliau selalu berusaha meminimalkan korban, perang menyelesaikan konflik secepat mungkin, dan memperlakukan tawanan perang dengan hormat.

Buku berjudul Muhammad saw on The Art of War: Managemen Strategi di Balik Kemenangan Rasulullah ini merupakan upaya menafsir sejarah dan memetakan strategi dan managemen perang Muhammad. Jika kebanyakan buku sejarah Nabi hanya menjawab pertanyaan, when, where, who, dan how, buku ini mencoba menjawab pertanyaan why dengan perspektif managemen strategi. Menariknya, buku ini lebih mengkhususkan pembahasan pada aspek perang yang dialami Muhammad, sebuah pembahasan sejarah yang masih jarang disentuh. Melalui buku ini Yuana ingin mendapatkan mainset baru dari realitas historis peperangan yang dialami Muhammad.

Judul Buku : Muhammad saw on The Art of War:
Managemen Strategi di Balik Kemenangan Rasulullah saw
Penulis : Yuana Ryan Tresna
Penerbit : Progressio, Bandung
Cetakan : I / 2007
Tebal buku : xviii + 182 Halaman
Peresensi : Jusuf AN
Keunggulan Pendidikan Berbasis Komunitas

Keunggulan Pendidikan Berbasis Komunitas

M. Yusuf Amin Nugroho

Gerakan reformasi 1998 yang semestinya memberikan perubahan bagi dunia pendidikan nasional, ternyata justru melahirkan ambiguitas yang meresahkan. Ambiguitas tersebut antara lain, pertama, mengenai goals setting yang ingin dicapai dari sistem pendidikan. Hingga saat ini sekolah formal masih memosisikan anak didik pada orientasi pasar (mechanic student) sehingga pendidikan bukan lagi berbasis pada keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik. Kedua, munculnya mitologi ruang pendidikan yang dikukuhkan dengan ritual pendidikan. Pada awal kelender akedemik misalnya, kita akan menjumpai ritual kompetisi, pemilihan sekolah favorit, uang gedung, uang seragam, dan ritual lainnya yang mesti dipatuhi. Ketiga, pemerintah justru menjadi penjaga utama mitos tersebut. Dengan bangga pemerintah memilih posisi untuk berpihak pada kalangan elite dan menutup harapan kaum miskin untuk duduk di bangku sekolah fovorit.

Kejengkelan terhadap sistem pendidikan yang tidak berpihak pada rakyat miskin itulah yang menjadi inspirasi utama Bahrudin untuk segera menggagas model pendidikan yang diharapkan menjadi tumpuan bagi anak-anak petani di desanya untuk menuntut ilmu pengetahuan dalam rangka mempercepat proses terciptanya desa yang indah, beradab, dan berkedilan (Qaryah Thayyibah).


Sekolah Berbasis Komunitas.

Kita ingat, tahun 1970-an Ivan Illich pernah melontarkan gagasan kontroversial tentang Deschooling Society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.

Dalam pandangan Lembaga Qaryah Thayyibah sekolah harus dikembalikan pada habitatnya—yang lebih dikenal sebagai pengorganisasian pendidikan bagi sistem formal—untuk tidak menjadi satu-satunya jalan keluar. Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai dengan konteks masyarakat. Bagi Bahrudin, model pendidikan yang tepat adalah model sekolah komunitas yang memungkinkan masyarakat sendiri merefleksikan pendidikan sebagai sistem pembudayaan yang menghargai apa yang menjadi keyakinan dan pengetahuannya sebagai basis aspirasi bagi kehidupannnya.

Oleh karena itu pengetahuan harus dikembalikan pada realitas aslinya. Sebab, pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya sehinga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.

Buku ini—yang mengupas tuntas tentang sejarah dan keberhasilan pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah—merupakan tawaran riil yang lebih menjanjikan terhadap gersangnya tanah tandus dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan Bahrudin dalam mendirikan pendidikan alternatif berbasis komunitas ini sangatlah brilian dan menakjubkan. Tak heran jika Naswil Idris, salah seorang dosen komunikasi dan peneliti untuk Asia Pacific Telecommunity mengatakan, bahwa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sejajar dengan Issy Les Mauleniauk di Prancis, Kecamatan Mitaka di Tokyo, dan lima komunitas lain di dunia yang dipandang sebagai keajaiban dunia ke tujuh.

Artikel di atas adalah reseni dari:
Buku : Sekolah Alternatif: Qaryah Thayyibah
Penulis : Ahmad Bahrudin
Penerbit : L-KiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal Buku : xix + 286 halaman

Mengembalikan Fungsi dan Esensi Pendidikan

Prof Kurt Singger pernah mengatakan, sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sekolah menjadi lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Guru menjadi agen pengawas, penindas, dan merendahkan martabat siswa.


Setuju atau tidak dengan pernyataan itu, yang jelas sistem persekolahan di negeri ini baru bisa menghasilkan orang-orang lemah. Orang lemah memiliki ciri-ciri di antaranya; rendah daya inisiatif dan kreatifitas, rendah rasa percaya diri, tidak berdaya, dan pada ujungnya tidak sanggup mandiri. Orang lemah selalu ingin mencari "yang kuat" untuk mengagantungkan hidupnya. "Yang kuat" ini, bisa orang, perusahaan, atau negara. Maka, tak heran setiap kali dibuka pendaftaran kerja di perusahaan atau pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) orang-orang lemah ini—dengan bekal ijazah— berduyun-duyun, dan berlomba agar bisa diterima.
Jika hal itu dibiarkan, dengan logika sederhana Sujono mengungkap, tidak mungkin ada orang, perusahaaan, bahkan pemerintah sekalipun mampu menampung orang-orang lemah itu. Sehingga fenomena pengangguran terpelajar adalah konsekwensi logis yang memang harus terjadi.

Berbagai upaya inovasi dan regulagi di bidang pendidikan yang telah dilakukan ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan. Dari survei yang dilakukan Political and Economical Risk Consultan (PERC) diperoleh data, kualitas pendidikan di Indonesia berada pada para urutan ke 12 dari 12 negara di Asia.

Pastilah ada ketidakberesan yang mendasar dalam sistem persekolahan kita. Betapa tidak? Ketika hendak memperbaiki kualitas misalnya, yang diutamakan selalu memperbaiki aspek sekolah yang sifatnya materiil dan simbolis, seperti gedung, buku pelajaran, nilai Ujian Nasional (UN). Perbaikan kualitas pendidikan seringkali mengabaikan subtansinya yang fundamental. Secara mendasar, tulis Suyono, fungsi dan esensi pendidikan dan pembelajaran telah membias tidak jelas arahnya dan sudah harus dikembalikan.

Kita tahu, pendidikan adalah manifestasi kehidupan. Proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Dengan demikian, pendidikan akan berkembang jika ada "pemerdekaan." Kebalikannya, pendidikan akan kehilangan ruh ketika tidak ada suasana memerdekakan.

Selama ini sekolah hampir tidak memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya potensi individual dan nilai-nilai prularitas. Dikotomi yang tegas antara guru dan siswa, kurikulum dan kehidupan riil, sekolah dan masyarakat, telah menjauhkan sekolah dari relasi sosial yang sehat. Sujono menyimpulkan, jika tetap tidak terjadi proses pendidikan dan pembelajaran yang benar, bahkan membelenggu kreatifitas, mengasingkan siswa dari realitas, mengerdilkan idealisme, dan hanya menciptakan orang-orang lemah, tentu "lebih baik tidak sekolah". Kesimpulan itulah yang kemudian dijadikan judul buku ini.

Judul itu, mengingatkan kita pada gagasan kontroversial yang pernah dilontarkan Ivan Illich pada akhir 1970-an, Deschooling Society, masyarakat tanpa sekolah. Jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Dan memang sudah waktunya negara memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mendesain model pendidikan yang realistis dan fungsional sesuai kultur dan kebutuhan.

Kiranya tak perlu kita sibuk mencari siapa "kambing hitam" di balik keterpurukan pedidikan di negeri ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah riil action, dan bukan saling menyalahkan, menggunjing, atau menggerutu. Bukan pula wacana yang melangit serta konsep-konsep yang kadang kontradiktif dalam tataran aplikasi atau semata berhenti di atas kertas.

Pendidikan Tanpa Sekolah

Dalam buku ini, penulis memberikan deskripsi yang tepat menyangkut di antaranya, model pendidikan, kualitas pengajaran, inrfasruktur, kapitalisme global, dan peran negara yang hegemonik. Sujono juga mengarahkan kita semua untuk mencari model pendidikan alternatif yang bisa menggembalikan pendidikan pada fungsi dan esensinya. Ia menunjukkan fakta yang menarik, tentang berdirinya sebuah lembaga pendidikan alternatif berbasis komunitas Qaryah Thayyibah. Lembaga ini mencoba keluar dari mainstrem pada umumnya dengan cara mengembangkan tradisi, kurikulum, serta model pembelajaran secara radikal.
Lahirnya Lembaga Qaryah Thayyibah di sebuah desa terpencil di Salatiga merupakan satu bukti bahwa masyarakat sudah mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial budaya yang luas tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah. Jika sekolah formal mengekang kreatifitas, dan tidak demokratis, maka Lembaga Qaryah Thayyibah hadir dengan model pembelajaran yang humanis dan demokratis. Jika YB Mangunwijaya mengatakan, fungsi guru telah berubah menjadi pawang, maka lembaga ini berusaha mengembalikan pawang itu menjadi guru lagi. Yakni sebagai pendamping untuk mengantarkan anak-anak pada kehidupannya nanti.
Masyarakat harus secara kreatif menentukan berbagai model pendidikan yang mampu menyelesaikan problem yang terjadi pada masyarakatnya sendiri. Yakni dengan membuat model pendidikan yang responsif terhadap penyelesaian problem sesuai konteks. Sebab sesungguhnya pengetahuan adalah abstraksi dari realitasnya, sehinga yang paling tepat dipelajari adalah belajar dalam realitas itu sendiri karena dengan begitu pengetahuan mempunyai makna yang sebenarnya.

Judul Buku : Lebih Baik Tidak Sekolah
Penulis : Sujono Samba
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal Buku : xiv + 93 halaman
Presensi : Jusuf AN *)
Membumikan Pendidikan Multikulturalisme

Membumikan Pendidikan Multikulturalisme

Oleh Jusuf AN*)

(tulisan ini adalah karyaku yang pertama kali dimuat di koran, yaitu di Jawa Pos, kolom Prokont Aktivis), sekitar pertengahan 2005, pada waktu itu aku masih semester V.)


Pada masa orde baru (Orba), perbedaan dianggap memiliki potensi berbahaya yang akan menyebabkan kesatuan bangsa menjadi chaos. Realitas masyarakat dengan keragamannya direpresi dan didekontruksi sesuai dengan arah kebijakan Orba. Salah satunya dengan menyeragamkan dan menihilkan entitas budaya lokal yang akhirnya menjadi tabir terciptanya dialog antar kultur dari mayarakat adat yang berbeda.

Pasca pemerintah Orba, kita banyak meyaksikan tragedi kemanusiaan yang demikian memilukan. Konflik berbau suku, agama, ras dan antargolongan, seperti yang terjadi di Aceh, Ambon, Papua, Kupang, Dayak, dan beberapa daerah lainnya adalah relitas empirik yang mengancam integrasi bangsa di satu sisi, namun membutuhkan solusi konkret dalam penyelesaiannya di sisi lain. Salah satunya adalah dengan membangun kembali pondasi keanekaragaman masyarakat dengan cara pendidikan multikulturalisme.
Pendidikan monokutur dengan mengabaikan pluralitas seperti yang selama ini dijalankan, disadari atau tidak telah memasung pertumbuhan pribadi yang kritis dan kreatif.

Ide multikulturalisme menurut Taylor (Savirani,2003:385) adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics of recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan (2002:98) menjelaskan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Secara mudah dapat dikatakan, multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan. Meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan, namun tidak ada masyarakat kelas, karena multikultularisme mengakui adanya politik universalisme yang menekankan persamaan hak, kewajiban, dan harga diri.

Pendidikan multikulturalisme adalah upaya penyadaran kultural kepada setiap individu, yang didasarkan pada kultur masyarakat masing-masing. Karena setiap masyarakat dipastikan mempunyai kerangka nilai, norma, aturan, budaya yang berbeda, sehingga sewaktu-waktu akan menyebabkan pertentangan dan persinggungan kepentingan, baik budaya, politik, ekonomi, maupun sosial. Perbedaan kepentingan inilah yang apabila tidak dimaknai secara bijak akan memicu konflik.

Sebagai sebuah ide, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi sosial yang ada dalam berbagai kegiatan kehidupan masyarakat, yang tercangkup dalam kehidupan sosial, pilitik, ekonomi, dan kekegiatan lain yang bersinggungan dengan masyarakat, termasuk agama. Di samping itu, multikulturalisme mau tidak mau harus menjelaskan berbagai permasalahan mengenai politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum (law enforcement), HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, serta prinsip-prinsip etika moral, dan beragama.

Yang diajarkan dalam pendidikan multikulturalisme bukan semangat ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial akan melahirkan persatuan kuat, tetapi lebih menekankan pada pengakuan adanya pluralitas (bhinneka) budaya bangsa yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang demokratis.

Mengembalikan Budaya Luhur Nenek Moyang

Mustofa W. Hasyim pernah menuliskan bahwa dalam masyarakat Jawa lama ada semacam garis imajiner bernama garis tepa slira yang dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan tenggang rasa. Garis ini berfungsi sebagai instrumen pencegah tindakan kesewenang-wenangan yang hanya akan memicu konflik. Adanya konsep tepo slira ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebenarnya keinginan masyarakat untuk hidup rukun dan damai dalam perbedaan sudah tercipta sejak dulu kala.
Konsep moral tepa slira bukan hanya mampu menjaga keharmonisan masyarakat kita, tetapi juga menjaga pergaulan rumah tangga, pergaulan politik, pergaulan ekonomi, agama, dan budaya itu sendiri.
Televisi, Musuh Perkembangan Emosional Intelligence pada Anak

Televisi, Musuh Perkembangan Emosional Intelligence pada Anak

Jusuf AN, Guru MTs Negeri Wonosobo

Televisi seperti hanya rokok, harus dilengkapi dengan peringatan dari Departemen Kesehatan, tulis E Shapiro lewat bukunya Mengajarkan Emosional Intelligence pada Anak (2006). Sungguh benar kata E Shapiro, walaupun menonton televisi tidak langsung menimbulkan kerusakan fisiologis sebagaimana rokok, namun televisi merupakan faktor nyata yang menyebabkan obesitas (kegemukan) di kalangan anak-anak yang sekarang diduga mencapai sekitar 14 %. Dan kita tahu, obesitas mempunyai peran yang besar dalam mengundang penyakit berat yang menyebabkan pendeknya usia. Berbeda dengan rokok yang dapat menyebabkan kecanduan secara fisik, televisi dapat menyebabkan ketagihan psikologis yang menggangu, dan fakta ini sulit dibantah siapa saja.


Di satu sisi memang televisi memberikan banyak informasi yang menarik dan cukup menghibur, tetapi di lain pihak televisi merupakan momok yang mengancam jutaan anak di seluruh dunia. Kenapa anak-anak? Sebab anak-anak merupakan kelompok yang mudah untuk menyerap informasi apa saja dan tidak dapat memfilter atau membedakan mana informasi yang baik dan mana informasi yang kurang baik.
Sayangnya budaya menonton televisi berlama-lama serta penyaringan siaran yang lebih mendidik, tidak diperhatikan benar oleh mayoritas orang, termasuk juga pemerintah. Beberapa survei menyebutkan data yang memprihatinkan tentang waktu yang dihabiskan anak-anak di depan layar kaca, bahwa dalam sehari anak-anak menghabiskan waktu tidak kurang dari 3-7 jam hanya untuk menonton televisi. Betapa waktu yang panjang itu memiliki dampak besar pada masa depan generasi penerus bangsa, salah satunya adalah menumpulkan perkembangan emosional intelligence.

Apa itu Emosional Intelligence?

Istilah emosional intelligence pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University untuk menerangkan kualitas-kualitas yang tampaknya penting bagi keberhasilan seseorang. Kualitas-kualitas ini antara lain berupa empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Emosional intelligence atau yang sering kita sebut kecerdasan emosi adalah kemampuan anak untuk menyikapi keadaan, baik tekanan maupun perilaku dari luar. Sikap menerima kekalahan dengan baik, marah dengan benar adalah juga bagian dari kecerdasan emosional.
Paling tidak ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam usaha meningkatkan kecerdasan emosional pada anak. Pertama, memahamkan tentang perbedaan antara perilaku yang baik dan yang buruk serta mengembangkan kebiasaan dalam hal berbuat yang konsisten dengan sesuatu yang dianggap baik. Kedua, mengembangkan kepedulian, perhatian, dan rasa tanggung jawab atas kesejahteraan dan hak-hak orang lain yang diungkapkan melalui sikap peduli, dermawan, ramah, dan pemaaf. Ketiga, mengajari anak untuk merasakan reaksi emosi negatif seperi malu, bersalah, marah, takut, dan rendah bila melanggar aturan moral.
Usaha untuk membawa anak cerdas baik secara moral (emosi) maupun spiritual, akan sangat berat kalau kebiasaan berlama-lama menonton televisi tidak diperhatikan sungguh-sungguh.
Sekarang mari kita perhatikan, apa yang kira-kira didapat sang anak selama 3-7 jam dalam sehari duduk di depan tersebut? Hikmah apa saja yang diperoleh anak-anak kita dari aktivitas menonton televisi? Meskipun film atau tayangan yang ditonton adalah kartun, tetapi tema dan perilaku tokoh-tokohnya sangat menggambarkan perilaku orang dewasa. Dragon Ball, Power Rangers, Naruto, Doraemon, Sinchan, dan sederet film lain menunjukkan fakta itu. Selain itu, hampir semua film kartun, baik import maupun lokal, mengumbar kekerasan dan perilaku yang tidak pantas dilakukan oleh seorang anak kecil. Kalau demikian adanya, maka bisa dibayangkan, di mata anak-anak, yang masih lemah daya kritisnya, akan menganggap bahwa semua permasalahan tidak lain kecuali hanya dapat diselesaikan dengan tinju, tendang, baku hantam, dan irama kekerasan lainnya.
Kita sering membaca di surat kabar tentang kekerasan yang aktornya adalah anak. Masih ingat tentang seorang anak yang membunuh teman mainnya sendiri karena meniru adegan di televisi. Itu hanya satu contoh, sedangkan peristiwa di surat kabar hanya menceritakan masalah-masalah yang gawat yang menunjukkan bobroknya moral. Sedangkan peristiwa yang tak sempat dibuat berita tentulah jauh lebih banyak dan mungkin ada yang lebih gawat.
Dengan menonton televisi mungkin anak-anak menjadi dapat terhibur, tidak rewel, dan orang tua menjadi memiliki waktu untuk beraktivitas. Tapi bahaya yang mengancam masa depan mereka, termasuk juga lingkungan sosial kita di masa depan sungguh lebih istimewa untuk dikedepankan ketimbang kesenangan pragmatis dan fana yang diperoleh anak-anak dari layar kaca.
Mungkin ada yang mencoba berapologi, “Kan kita bisa memilihkan tontonan yang baik dan yang buruk untuk anak kita.” Tapi kenyataannya, sangat sulit mencari tontonan yang benar-benar mendidik untuk anak, dan memang stasiun-stasiun televisi tidak memperhatikan baik dan tidaknya sebuah tontonan untuk disantap anak-anak, tetapi asalkan rating penontonya baik, maka tayangan seburuk apa pun akan getol dipertahankan. Untuk lebih menambah kepercayaan kita tentang minimnya tayangan yang pas dan cocok untuk anak-anak, saya berikan kutipkan data dari majalah anak-anak Kidia yang mencatat bahwa hanya 15% tontonan yang baik untuk anak-anak selebihnya sangat berbahaya.
Kalau tontonan yang baik saja sedikit, ditambah lagi pengawasan orang tua yang lemah, maka waktu yang dihabiskan anak-anak di depan televisi, yang kadang-kadang lebih banyak dibanding jam pelajaran di sekolah, jelas sangat mengancam generasi bangsa.
Televisi akan membuat seorang anak memiliki pola pikir sama dengan apa yang mereka tonton setiap hari. Komunikasi verbal seorang anak dengan lingkungannya dapat terhambat, dan anak menjadi agresif, lebih menonjolkan kekerasan seperti apa yang ditontonnya.
Televisi juga dapat mengurangi kreatifitas karena selama menonton televisi anak menjadi pasif. Pula, televisi dapat merenggangkan hubungan anak dengan anggota keluarganya yang lain, termasuk juga hubungan sosial dengan kawan-kawan dan tetangganya. Sebab anak akan lebih banyak diam tanpa bicara di rumah, sehingga miskin komunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Anak juga akan malas belajar, karena keasyikan menonton televisi mereka anggap lebih menarik dibanding membaca dan mengerjakan PR sekolah.

Bercerita
Sekian usaha untuk mengatasi krisis moral pada anak sudah dilakukan banyak orang, mulai dari guru ngaji sampai Presiden. Tetapi usaha itu belum menunjukkan hasil yang maksimal, dan bahkan sebaliknya, krisis moral justru semakin memburuk.
Sebenarnya ada banyak cara untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak. Bisa dengan bermain, berpetualang, memberikan bacaan atau tontonan yang sehat, atau dengan dongeng atau cerita. Cara yang terakhir inilah yang kini mulai banyak ditinggalkan, salah satu sebabnya adalah karena kemajuan di bidang komunikasi dan penyiaran. Kini hampir semua rumah terdapat televisi, membuat orangtua meninggalkan tradisi mendongeng atau bercerita untuk anaknya. Padahal, dengan bercerita, orangtua sebenarnya sedang membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan anaknya sehingga ikatan emosional antara orangtua dan anak dapat terjalin lebih rekat. Seorang anak yang dari sejak kecil banyak medengar cerita atau dongeng dari mulut orangtuanya, maka ia akan senantiasa merasa nyaman jika berdekatan dengan orangtuanya. Anak akan mempunyai gambaran bahwa orangtuanya pintar, pengertian, dan memiliki jawaban atas masalah-masalah yang menimpanya. Maka, ketika ia tumbuh menjadi anak remaja, ia akan memiliki bekal berkomuniasi dengan baik, selain juga mempunyai hubungan emosional yang kukuh dengan orangtuanya.
Seorang anak yang biasa mendengarkan cerita dari orangtuanya juga akan menjadi lebih transparan atas masalah-masalah yang dihadapinya. Anak menjadi tidak sungkan atau pun takut untuk menanyakan atau meminta saran tentang problematika hidupnya kepada orangtuanya.
Seorang anak membutuhkan pengulangan penanaman nilai-nilai positif, dan orang tua perlu menceritakan hal-hal yang berbeda tetapi memiliki kesamaan tema dan disampaikan secara berulang-ulang, sehingga kecerdasan emosionalnya semakin terasah. Seorang anak mungkin akan bosan, tetapi kalau ia terlanjur menyukai cerita orangtuanya, maka ia akan selalu menantikan dongeng dan cerita dari orangtuanya. Seperti ketika seorang anak menyukai sebuah film, maka ia akan memutar film itu berulang-ulang meskipun telah hapal setiap adegannya.
Oleh karena itu, menghidupkan tradisi bercerita dan mendongeng akan sangat membantu membuat anak agar tidak kecanduan dengan televisi yang hanya menumpulkan perkembangan kecerdasan emosi. Sayangnya, meskipun di beberapa televisi telah ada beberapa peringatan seperti bimbingan orang tua, semua umur dan lain-lain tetapi peringatan tersebut jarang sekali diperhatikan. Lebih parah lagi yang kecanduan televisi bukan hanya anak-anak tetapi juga orangtuanya. Kalau demikian yang terjadi, maka akan sulit rasanya menyuruh anak-anak untuk mematikan televisi, sebagaimana sulitnya seorang pemabuk meminta agar anaknya menghentikan kebiasaan minum khamr.

Hikayat Penyemangat Bagi Pencari Ilmu


Jusuf AN*)

Membaca hikayat para ulama adalah cara paling mujarab untuk membangkitkan kemuliaan jiwa dan menegarkan diri dalam menangung derita ketika menempuh jalan yang lurus. Hikayat serupa pasukan Tuhan yang dengannya Dia meneguhkan hati para kekasih-Nya.

“Dan semua kisah Rasul-Rasul Kami ceritaan kepadamu, Muhammad, agar dengan kisah itu, Kami teguhkan hatimu. (QS. Hud 120). Berangkat dari hal itulah Abd Fattah Abu Ghuddah menulis buku yang berisi kumpulan hikayat para pencari ilmu ini.

Mencari ilmu, kita tahu, merupakan sebuah aktifitas yang begitu mulia. Imam Ali Bin Abi Thalib menandaskan bahwa ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.

Ilmu senantiasa bergandengan dengan kesabaran, cita-cita tinggi, semangat baca, zuhud terhadap dunia, begadang di kala malam, keuletan, doa dan tobat, rendah hati dan rasa syukur. Bermacam goda, coba, dan derita merupakan keniscayaan bagi para pencari ilmu. Pada konteks inilah sebuah hikayat kegigihan para ulama penting untuk dibaca. Menelaah kisah para ulama saleh merupakan cara paling efektif untuk menumbuhkan tekad menguatkan jiwa, meneguhkan cita-cita serta menanamkan akhlak yang lurus. Membaca kisah para ulama yang tak kenal letih mencari ilmu, berjuang menggapai harapan dan cita-cita menjadi cambuk bagi kita untuk memantapkan tujuan agung, niat yang ikhlas, dan ketabahan dalam menghadapi kesulian yang menghadang demi meraih asa.

Perburuan ilmu membutuhkan kesabaran yang sungguh besar. Kemiskinan biasanya menjadi cobaan terberat bagi para pencari ilmu. Lapar dan haus mesti ditanggung demi mengawal kemuliaan dan melatih kesabaran. Abu Ghuddah berusaha mengetuk kesabaran kita dengan menghadirkan kisah Ibn Hazm al-Andalusi, Abdul Walid al-Baji al-Andalusi, dan Imam Ahmad bin Hanbal yang harus menjual pakaian dan tempat tidur demi menuntut ilmu. Juga kisah Abu Hurairah, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Imam Ibrahim An-Nazhzham, Ibnul Muqri, yang tidak sibuk mencari harta benda karena lebih mementingkan ilmu, selain juga pantang menjadi beban bagi orang lain.

Membaca hikayat mereka, kita akan malu dan merasa kalau cobaan yang kita alami dalam pencarian ilmu belum seberapa. Tengoklah liku-liku dan perjalan hidup Syu’bah bin al-Hajjaj, Ahmad bin Hanbal, Abdur Razzaq Ash-Shan’ani, Abu Hatim ar-Razi, dan Ibnu Jarir ath-Thabari. Betapa sering mereka kehabisan bekal makanan di tanah perantauan saat mencari ilmu. Tetapi mereka tetap tegar. Bagi mereka ilmu jauh lebih berharga ketimbang makanan.

Buku menjadi makanan wajib yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan pencari ilmu. Apa pun akan dikorbankan demi mendapatkan buku yang cari. Kedudukan buku bagi ulama bagaikan roh bagi jasad, atau bagaikan pentingnya kesehatan bagi badan. Kisah-kisah dalam buku ini memberitahukan pada kita ikhwal reaksi para ulama saat bukunya tiada, baik hilang, dirampok, rusak, maupun terbakar. Pernah suatu ketika buku-buku Al-Ghazali dirampok. Al-Ghazali yang tidak ingin peristiwa pahit itu terulang kemudian menghafal seluruh isi buku-bukunya. Dengan demikian, ia tidak takut kehilangan buku bila suatu saat dirampok lagi.


Kedudukan ilmu bagi mereka ibarat air dari kayu hijau, bahkan udara bagi kehidupan manusia. Ibnu Jarir ath-Thabari, Yunus Bin Habib al-Bashri, Abu Bakar al-Anbari, dan Abu Ali al-Farisi adalah orang-orang yang memilih hidup membujang dan konsentrasi penuh untuk mencari ilmu. Mereka tak sanggup berpisah darinya dan tak kuasa melepaskannya sedikitpun. Ilmu bagi mereka layaknya makanan dan obat.

Kisah tentang orang yang membujang disajikan disini bukan untuk mengajak pembaca ikut membujang sepanjang hayat demi berkhidmat pada ilmu. Tujuannya adalah agar biografi keilmuan dan tingkah laku mereka yang sarat keutamaan dapat membangkitkan minat pembaca untuk meneladani mereka (kecuali dalam hal membujang). Dengan begitu, terbentuklah pribadi yang cinta ilmu, larut di dalamnya, dan terpadu menuju arah kebajikan dan takwa.

Buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang ringan dan sederhana, sehingga mudah dicerna siapa saja ini, cukup komplit menguraikan ketinggian cita-cita dan kesabaran para ulama dalam mencari ilmu. Ada delapan tema besar diangkat dalam buku ini. Pertama, tentang kelelahan dan kepayahan para ulama dalam perjalanan menunutut ilmu. Kedua, tentang para ulama yang jarang tidur dan upaya mereka menghindari semua kenikmatan duniawi demi menuntut ilmu. Ketiga, tentang kesabaran mengahadapi penderitaan dan kemiskinan. Keempat, tentang kelaparan dan kehausan para ulama ketika menuntut ilmu. Kelima, tentang ketabahan para ulama yang kehabisan bekal dalam perantauan menuntut ilmu. Keeenam, tentang para ulama yang bukunya hilang, dirampok, terbakar dan terpaksa dijual. Ketujuh, tentang para ulama yang memilih hidup membujang. Kedelapan, tentang para ulama yang berkorban harta benda demi mendapatkan ilmu serta menyusun karya. Delapan tema tersebut dibagi dalam tiga buku, masing-masing: Bertualang Mencari Ilmu, Ketabahan Para Pencari Ilmu, dan Pengorbanan Para Pemburu Ilmu.

Membaca hikayat pada ulama yang tersaji dalam buku ini ibarat meminum obat penyemangat. Gairah kita dalam usaha mencari ilmu akan muncul, pikiran kembali segar, dan kesabaran akan menebal.

resensi dari:
Buku : Seri Kisah Para Pencari Ilmu
(Bertualang Mencari Ilmu; Ketabahan Para Pencari
Ilmu; Pengorbanan Para Pemburu Ilmu)
Penulis : Abd. Fattah Abu Ghuddah
Penerjemah : M. Fatih Mansur & Miftahul Asror
Penerbit : Pustakata Insan Madani, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : Jilid I 209 halaman
           Jilid 2 202 halaman
           Jilid 3 172 halaman