Jusuf AN, Guru MTs Negeri Wonosobo
Televisi seperti hanya rokok, harus dilengkapi dengan peringatan dari Departemen Kesehatan, tulis E Shapiro lewat bukunya Mengajarkan Emosional Intelligence pada Anak (2006). Sungguh benar kata E Shapiro, walaupun menonton televisi tidak langsung menimbulkan kerusakan fisiologis sebagaimana rokok, namun televisi merupakan faktor nyata yang menyebabkan obesitas (kegemukan) di kalangan anak-anak yang sekarang diduga mencapai sekitar 14 %. Dan kita tahu, obesitas mempunyai peran yang besar dalam mengundang penyakit berat yang menyebabkan pendeknya usia. Berbeda dengan rokok yang dapat menyebabkan kecanduan secara fisik, televisi dapat menyebabkan ketagihan psikologis yang menggangu, dan fakta ini sulit dibantah siapa saja.
Di satu sisi memang televisi memberikan banyak informasi yang menarik dan cukup menghibur, tetapi di lain pihak televisi merupakan momok yang mengancam jutaan anak di seluruh dunia. Kenapa anak-anak? Sebab anak-anak merupakan kelompok yang mudah untuk menyerap informasi apa saja dan tidak dapat memfilter atau membedakan mana informasi yang baik dan mana informasi yang kurang baik.
Sayangnya budaya menonton televisi berlama-lama serta penyaringan siaran yang lebih mendidik, tidak diperhatikan benar oleh mayoritas orang, termasuk juga pemerintah. Beberapa survei menyebutkan data yang memprihatinkan tentang waktu yang dihabiskan anak-anak di depan layar kaca, bahwa dalam sehari anak-anak menghabiskan waktu tidak kurang dari 3-7 jam hanya untuk menonton televisi. Betapa waktu yang panjang itu memiliki dampak besar pada masa depan generasi penerus bangsa, salah satunya adalah menumpulkan perkembangan emosional intelligence.
Apa itu Emosional Intelligence?
Istilah emosional intelligence pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University untuk menerangkan kualitas-kualitas yang tampaknya penting bagi keberhasilan seseorang. Kualitas-kualitas ini antara lain berupa empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Emosional intelligence atau yang sering kita sebut kecerdasan emosi adalah kemampuan anak untuk menyikapi keadaan, baik tekanan maupun perilaku dari luar. Sikap menerima kekalahan dengan baik, marah dengan benar adalah juga bagian dari kecerdasan emosional.
Paling tidak ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam usaha meningkatkan kecerdasan emosional pada anak. Pertama, memahamkan tentang perbedaan antara perilaku yang baik dan yang buruk serta mengembangkan kebiasaan dalam hal berbuat yang konsisten dengan sesuatu yang dianggap baik. Kedua, mengembangkan kepedulian, perhatian, dan rasa tanggung jawab atas kesejahteraan dan hak-hak orang lain yang diungkapkan melalui sikap peduli, dermawan, ramah, dan pemaaf. Ketiga, mengajari anak untuk merasakan reaksi emosi negatif seperi malu, bersalah, marah, takut, dan rendah bila melanggar aturan moral.
Usaha untuk membawa anak cerdas baik secara moral (emosi) maupun spiritual, akan sangat berat kalau kebiasaan berlama-lama menonton televisi tidak diperhatikan sungguh-sungguh.
Sekarang mari kita perhatikan, apa yang kira-kira didapat sang anak selama 3-7 jam dalam sehari duduk di depan tersebut? Hikmah apa saja yang diperoleh anak-anak kita dari aktivitas menonton televisi? Meskipun film atau tayangan yang ditonton adalah kartun, tetapi tema dan perilaku tokoh-tokohnya sangat menggambarkan perilaku orang dewasa. Dragon Ball, Power Rangers, Naruto, Doraemon, Sinchan, dan sederet film lain menunjukkan fakta itu. Selain itu, hampir semua film kartun, baik import maupun lokal, mengumbar kekerasan dan perilaku yang tidak pantas dilakukan oleh seorang anak kecil. Kalau demikian adanya, maka bisa dibayangkan, di mata anak-anak, yang masih lemah daya kritisnya, akan menganggap bahwa semua permasalahan tidak lain kecuali hanya dapat diselesaikan dengan tinju, tendang, baku hantam, dan irama kekerasan lainnya.
Kita sering membaca di surat kabar tentang kekerasan yang aktornya adalah anak. Masih ingat tentang seorang anak yang membunuh teman mainnya sendiri karena meniru adegan di televisi. Itu hanya satu contoh, sedangkan peristiwa di surat kabar hanya menceritakan masalah-masalah yang gawat yang menunjukkan bobroknya moral. Sedangkan peristiwa yang tak sempat dibuat berita tentulah jauh lebih banyak dan mungkin ada yang lebih gawat.
Dengan menonton televisi mungkin anak-anak menjadi dapat terhibur, tidak rewel, dan orang tua menjadi memiliki waktu untuk beraktivitas. Tapi bahaya yang mengancam masa depan mereka, termasuk juga lingkungan sosial kita di masa depan sungguh lebih istimewa untuk dikedepankan ketimbang kesenangan pragmatis dan fana yang diperoleh anak-anak dari layar kaca.
Mungkin ada yang mencoba berapologi, “Kan kita bisa memilihkan tontonan yang baik dan yang buruk untuk anak kita.” Tapi kenyataannya, sangat sulit mencari tontonan yang benar-benar mendidik untuk anak, dan memang stasiun-stasiun televisi tidak memperhatikan baik dan tidaknya sebuah tontonan untuk disantap anak-anak, tetapi asalkan rating penontonya baik, maka tayangan seburuk apa pun akan getol dipertahankan. Untuk lebih menambah kepercayaan kita tentang minimnya tayangan yang pas dan cocok untuk anak-anak, saya berikan kutipkan data dari majalah anak-anak Kidia yang mencatat bahwa hanya 15% tontonan yang baik untuk anak-anak selebihnya sangat berbahaya.
Kalau tontonan yang baik saja sedikit, ditambah lagi pengawasan orang tua yang lemah, maka waktu yang dihabiskan anak-anak di depan televisi, yang kadang-kadang lebih banyak dibanding jam pelajaran di sekolah, jelas sangat mengancam generasi bangsa.
Televisi akan membuat seorang anak memiliki pola pikir sama dengan apa yang mereka tonton setiap hari. Komunikasi verbal seorang anak dengan lingkungannya dapat terhambat, dan anak menjadi agresif, lebih menonjolkan kekerasan seperti apa yang ditontonnya.
Televisi juga dapat mengurangi kreatifitas karena selama menonton televisi anak menjadi pasif. Pula, televisi dapat merenggangkan hubungan anak dengan anggota keluarganya yang lain, termasuk juga hubungan sosial dengan kawan-kawan dan tetangganya. Sebab anak akan lebih banyak diam tanpa bicara di rumah, sehingga miskin komunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Anak juga akan malas belajar, karena keasyikan menonton televisi mereka anggap lebih menarik dibanding membaca dan mengerjakan PR sekolah.
Bercerita
Sekian usaha untuk mengatasi krisis moral pada anak sudah dilakukan banyak orang, mulai dari guru ngaji sampai Presiden. Tetapi usaha itu belum menunjukkan hasil yang maksimal, dan bahkan sebaliknya, krisis moral justru semakin memburuk.
Sebenarnya ada banyak cara untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak. Bisa dengan bermain, berpetualang, memberikan bacaan atau tontonan yang sehat, atau dengan dongeng atau cerita. Cara yang terakhir inilah yang kini mulai banyak ditinggalkan, salah satu sebabnya adalah karena kemajuan di bidang komunikasi dan penyiaran. Kini hampir semua rumah terdapat televisi, membuat orangtua meninggalkan tradisi mendongeng atau bercerita untuk anaknya. Padahal, dengan bercerita, orangtua sebenarnya sedang membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan anaknya sehingga ikatan emosional antara orangtua dan anak dapat terjalin lebih rekat. Seorang anak yang dari sejak kecil banyak medengar cerita atau dongeng dari mulut orangtuanya, maka ia akan senantiasa merasa nyaman jika berdekatan dengan orangtuanya. Anak akan mempunyai gambaran bahwa orangtuanya pintar, pengertian, dan memiliki jawaban atas masalah-masalah yang menimpanya. Maka, ketika ia tumbuh menjadi anak remaja, ia akan memiliki bekal berkomuniasi dengan baik, selain juga mempunyai hubungan emosional yang kukuh dengan orangtuanya.
Seorang anak yang biasa mendengarkan cerita dari orangtuanya juga akan menjadi lebih transparan atas masalah-masalah yang dihadapinya. Anak menjadi tidak sungkan atau pun takut untuk menanyakan atau meminta saran tentang problematika hidupnya kepada orangtuanya.
Seorang anak membutuhkan pengulangan penanaman nilai-nilai positif, dan orang tua perlu menceritakan hal-hal yang berbeda tetapi memiliki kesamaan tema dan disampaikan secara berulang-ulang, sehingga kecerdasan emosionalnya semakin terasah. Seorang anak mungkin akan bosan, tetapi kalau ia terlanjur menyukai cerita orangtuanya, maka ia akan selalu menantikan dongeng dan cerita dari orangtuanya. Seperti ketika seorang anak menyukai sebuah film, maka ia akan memutar film itu berulang-ulang meskipun telah hapal setiap adegannya.
Oleh karena itu, menghidupkan tradisi bercerita dan mendongeng akan sangat membantu membuat anak agar tidak kecanduan dengan televisi yang hanya menumpulkan perkembangan kecerdasan emosi. Sayangnya, meskipun di beberapa televisi telah ada beberapa peringatan seperti bimbingan orang tua, semua umur dan lain-lain tetapi peringatan tersebut jarang sekali diperhatikan. Lebih parah lagi yang kecanduan televisi bukan hanya anak-anak tetapi juga orangtuanya. Kalau demikian yang terjadi, maka akan sulit rasanya menyuruh anak-anak untuk mematikan televisi, sebagaimana sulitnya seorang pemabuk meminta agar anaknya menghentikan kebiasaan minum khamr.