Tamba bagi Nurani yang Menjerit
Suasana ruang ujian itu cukup gaduh. Dari 20 siswa yang ada di ruangan itu, sebagian besar saling melempar pertanyaan, saling memberikan jawaban. Meski hanya dengan bisikan, tapi ketika hampir semua melakukan, maka sudah pasti melahirkan kegaduhan. Lebih-lebih di luar kelas lengang, barangkali warning “Harap Tenang Ada UN Susulan” sedang menunjukkan kemujarabannya.
Melihat kegaduhan di ruang ujian, dua pengawas yang duduk di depan tetap diam. Diam? Ah, tidak juga. Mereka bicara, tetapi bukan mencegah kegaduhan,
melainkan berbincang berduaan. Tapi bukan berarti mereka tidak punya hati, lebih khususnya nurani. Hati mereka menangis. Nurani dua pengawas itu menjerit. Berkali-kali mereka menyalangkan mata, mencoba menghentikan bisikan-bisikan peserta UN susulan. Berkali-kali pula mereka telah menyuruh mereka agak sopan. Agak sopan itu artinya, “kalau mau bertanya, ya tak usah keras-keras.” Peserta UN susulan sudah sopan sebenarnya, tapi seperti tadi kubilang, dua puluh dengung siswa itu jelas telah menciptakan ketidaksopanan yang menjengkelkan.
Nurani yang menjerit belum pasti membuat suara gebrakan. Begitulah yang terjadi dengan dua pengawas itu. Sungguh mereka ingin menggebrak meja, membentak-bentak mereka, dan jika mereka melawan, maka sang pengawas itu, sudah siapa akan menampar mereka atau mengeluarkannya dari ruang ujian, menyobek LJK-nya dan menuliskan laporan itu di Berita Acara. Bukan karena mereka takut dengan peserta UN susulan yang gaya rambutnya nyaris sama, celananya sama, dan merk bedaknya mungkin juga sama itu. Sama sekali bukan, meski tampang dan assesoris yang dipakai siswa-siswa itu mirip dengan apa yang sering kita lihat di perempatan jalan, dan panggung-panggung hiburan. Mereka sama sekali tak takut, meski telah sering mendengar kawan-kawan mereka dihadang dan dipukuli oleh muridnya sendiri.
Dua pengawas itu asing dengan perasaannya masing-masing. Satu sisi mereka ingin menuruti kata nuraninya, tapi di sisi lain, mereka kasihan dengan dua puluah siswa di ruangan itu jika sampai tidak lulus lagi. Kasihan. Ingat-ingat kata ini. Betapa rasa kasihan seringkali membuat kita menenggelamkan kebenaran. Tapi, bukankah dua pengawas itu tak tahu lagi di mana kebanaran itu. Menjadi mereka, kebenaran adalah sesuatu yang absurd, sangat kabur. Kebenaran bertindak sesuai dengan peraturan Pengawas bisa menjadi kesalahan terbesar dan membuatnya menyesal sampai mati.
***
Itulah potret. Ujian nasional tahun ini (2010) yang merosot dari tahun sebelumnya dan diberikannya kesempatan kepada siswa yang tak lulus untuk mengikuti Ujian Ulang menyisakan bau bacin yang tak lagi bisa ditutup-tutupi, memerihkan mata (hati) siapa saja yang “hidup”. Dalam tayangan berita televisi, terlihat jelas bagaimana longgarnya pengawasan ujian ulang. Dan memang semua seakan sudah direncanakan dengan matang dan sistematis.
Yang diberi SK untuk mengawasi Ujian Ulang adalah Guru Mapel materi yang diujikan. Jika hari Selasa adalah bahasa inggris maka yang mengawasi Ujian ulang adalah guru-guru bahasa inggris, begitu pun semuanya. Indikasi dari ini siapapun tahu apa maksudnya. Belum lagi, guru pengawas sebagian besar adalah guru dari siswa yang mengikuti Ujian ulang tersebut. Kian kentara lagi maksud tujuannya.
Lulus atau tidak lulus sungguh bukan perkara yang main-main. Bagi siswa tentu kelulusan begitu penting karena dengan itu ia bisa melanjutkan studinya. Bagi Guru, dan Pihak Sekolah, penting pula untuk mendongkrak citra, meraih simpati dan pujian atasan, dan membahagiakan anak didiknya. Bagi Pemerintah, angka banyaknya angka ketidaklulusan UN akan mengundang kritik. Saya melihat sikap Pemerintah sebenarnya nyaris sama dengan Guru, tak “tega” jika melihat siswa tidak lulus. Pemerintah ngotot tetap ingin ada UN, tapi juga ingin semua peserta UN lulus. Satu paradoks yang membuat kita tak nyenyak tidur. Diselenggarakannya ujian Ulang adalah solusi atau bentuk “ketidak-tegaan” Pemerintah. Aturan dan longgarnya pengawasan ujian susulan juga bagian dari padanya. Aku membayangkan, di atas sana, para sutradara itu berembuk sambil cekikan:
“Dengan Ujian ulang, maka para siswa dan wali siswa yang tidak lulus akan terhindar dari gantung diri. Kritik akan terkurangi. Dana proyek UN akan tetap mengalir, dan bahkan akan meningkat dari sebelum-sebelumnya. Begitu, Tuan!”
“Anda brilan sekali, Ajudan. ” Pikir seseorang.
Kritik terhadap UN sudah banyak dilontarkan bukan hanya oleh para pakar pendidikan atau para siswa yang malas dan orangtua siswa yang badung, tetapi juga oleh guru itu sendiri, yang notabene paham, jeroan sekolahan. Pemerintah saya kira tidak tuli, dan tentu saja setiap tahun diadakan evaluasi tentang kebijakan kontroversi ini. Tapi begitulah, apa yang dihasilkan dari evaluasi seakan menguap. Pemerataan fasilitas dan sarana pendidikan (barangkali ini hasil evaluasi mereka), satu ganjalan terbesar dari UN dilakukan sambil jalan. Artinya, UN yes, dan sekolah yang masih cengap-cengap biarkan gelagapan.
Tulisan ini sekadar tamba bagi nurani saya yang menjerit-jerit. Maka, wajar jika tidak sistematis apalagi komprehensip.
Jusuf AN
Melihat kegaduhan di ruang ujian, dua pengawas yang duduk di depan tetap diam. Diam? Ah, tidak juga. Mereka bicara, tetapi bukan mencegah kegaduhan,
melainkan berbincang berduaan. Tapi bukan berarti mereka tidak punya hati, lebih khususnya nurani. Hati mereka menangis. Nurani dua pengawas itu menjerit. Berkali-kali mereka menyalangkan mata, mencoba menghentikan bisikan-bisikan peserta UN susulan. Berkali-kali pula mereka telah menyuruh mereka agak sopan. Agak sopan itu artinya, “kalau mau bertanya, ya tak usah keras-keras.” Peserta UN susulan sudah sopan sebenarnya, tapi seperti tadi kubilang, dua puluh dengung siswa itu jelas telah menciptakan ketidaksopanan yang menjengkelkan.
Nurani yang menjerit belum pasti membuat suara gebrakan. Begitulah yang terjadi dengan dua pengawas itu. Sungguh mereka ingin menggebrak meja, membentak-bentak mereka, dan jika mereka melawan, maka sang pengawas itu, sudah siapa akan menampar mereka atau mengeluarkannya dari ruang ujian, menyobek LJK-nya dan menuliskan laporan itu di Berita Acara. Bukan karena mereka takut dengan peserta UN susulan yang gaya rambutnya nyaris sama, celananya sama, dan merk bedaknya mungkin juga sama itu. Sama sekali bukan, meski tampang dan assesoris yang dipakai siswa-siswa itu mirip dengan apa yang sering kita lihat di perempatan jalan, dan panggung-panggung hiburan. Mereka sama sekali tak takut, meski telah sering mendengar kawan-kawan mereka dihadang dan dipukuli oleh muridnya sendiri.
Dua pengawas itu asing dengan perasaannya masing-masing. Satu sisi mereka ingin menuruti kata nuraninya, tapi di sisi lain, mereka kasihan dengan dua puluah siswa di ruangan itu jika sampai tidak lulus lagi. Kasihan. Ingat-ingat kata ini. Betapa rasa kasihan seringkali membuat kita menenggelamkan kebenaran. Tapi, bukankah dua pengawas itu tak tahu lagi di mana kebanaran itu. Menjadi mereka, kebenaran adalah sesuatu yang absurd, sangat kabur. Kebenaran bertindak sesuai dengan peraturan Pengawas bisa menjadi kesalahan terbesar dan membuatnya menyesal sampai mati.
***
Itulah potret. Ujian nasional tahun ini (2010) yang merosot dari tahun sebelumnya dan diberikannya kesempatan kepada siswa yang tak lulus untuk mengikuti Ujian Ulang menyisakan bau bacin yang tak lagi bisa ditutup-tutupi, memerihkan mata (hati) siapa saja yang “hidup”. Dalam tayangan berita televisi, terlihat jelas bagaimana longgarnya pengawasan ujian ulang. Dan memang semua seakan sudah direncanakan dengan matang dan sistematis.
Yang diberi SK untuk mengawasi Ujian Ulang adalah Guru Mapel materi yang diujikan. Jika hari Selasa adalah bahasa inggris maka yang mengawasi Ujian ulang adalah guru-guru bahasa inggris, begitu pun semuanya. Indikasi dari ini siapapun tahu apa maksudnya. Belum lagi, guru pengawas sebagian besar adalah guru dari siswa yang mengikuti Ujian ulang tersebut. Kian kentara lagi maksud tujuannya.
Lulus atau tidak lulus sungguh bukan perkara yang main-main. Bagi siswa tentu kelulusan begitu penting karena dengan itu ia bisa melanjutkan studinya. Bagi Guru, dan Pihak Sekolah, penting pula untuk mendongkrak citra, meraih simpati dan pujian atasan, dan membahagiakan anak didiknya. Bagi Pemerintah, angka banyaknya angka ketidaklulusan UN akan mengundang kritik. Saya melihat sikap Pemerintah sebenarnya nyaris sama dengan Guru, tak “tega” jika melihat siswa tidak lulus. Pemerintah ngotot tetap ingin ada UN, tapi juga ingin semua peserta UN lulus. Satu paradoks yang membuat kita tak nyenyak tidur. Diselenggarakannya ujian Ulang adalah solusi atau bentuk “ketidak-tegaan” Pemerintah. Aturan dan longgarnya pengawasan ujian susulan juga bagian dari padanya. Aku membayangkan, di atas sana, para sutradara itu berembuk sambil cekikan:
“Dengan Ujian ulang, maka para siswa dan wali siswa yang tidak lulus akan terhindar dari gantung diri. Kritik akan terkurangi. Dana proyek UN akan tetap mengalir, dan bahkan akan meningkat dari sebelum-sebelumnya. Begitu, Tuan!”
“Anda brilan sekali, Ajudan. ” Pikir seseorang.
Kritik terhadap UN sudah banyak dilontarkan bukan hanya oleh para pakar pendidikan atau para siswa yang malas dan orangtua siswa yang badung, tetapi juga oleh guru itu sendiri, yang notabene paham, jeroan sekolahan. Pemerintah saya kira tidak tuli, dan tentu saja setiap tahun diadakan evaluasi tentang kebijakan kontroversi ini. Tapi begitulah, apa yang dihasilkan dari evaluasi seakan menguap. Pemerataan fasilitas dan sarana pendidikan (barangkali ini hasil evaluasi mereka), satu ganjalan terbesar dari UN dilakukan sambil jalan. Artinya, UN yes, dan sekolah yang masih cengap-cengap biarkan gelagapan.
Tulisan ini sekadar tamba bagi nurani saya yang menjerit-jerit. Maka, wajar jika tidak sistematis apalagi komprehensip.
Jusuf AN
Langganan:
Postingan (Atom)