Fei

7

Cerpen Jusuf AN

Pernah dimuat di Koran Sindo Minggu, 3 Februari 2008.

Sebulan silam, kau tentu masih ingat, ketika kepala perusahaan menugaskan kita berdua ke luar kota, di atas kereta yang melaju, entah kenapa tiba-tiba kau ceritakan tentang kekasihmu, calon suamimu. Katamu, ia lima senti lebih tinggi darimu, tubuhnya tegap dan lehernya gempal padat. Mukanya bulat dengan kulit sedikit gelap. "Entah kenapa aku tertarik dangan lelaki black sweet," jelasmu. Aku diam saja, sesekali menoleh ke jendela memandangi pohon-pohon lari terbirit.

Entah apa maksudmu mendadak bercerita perihal lelakimu. Mungkin sebenarnya kau ingin mengatakan, "Aku mawar sudah ada yang punya, jadi kau tidak boleh terlalu dekat, apalagi memetiknya." Kenapa tidak katakan terus terang? Atau kau sedang memancingku, menjebakku, mengetes kelelakianku? Ya, siapa tahu.

Tentu lelakimu bahagia bisa mendapatkan perempuan seperti kau, Fei. Perempuan energik. Pintar. Dan baik. Baik? Ah, barangkali aku salah menilai jika kau perempuan yang baik. Kau memang ramah, murah senyum, dan tubuhmu selalu menebar aroma harum. Di kantor, kita satu ruangan, kau perempuan satu-satunya dari tujuh karyawan termasuk aku. Tetapi kau bisa mengakrabi semua rekan. Tak jarang kau menawari kawan-kawan kopi sebelum jam istirahat resmi tiba. Kau memang cukup nakal. Suka mencuri waktu diam-diam. “Betapa lelah lima jam berhadapan dengan kertas kerja,” begitu kau sering menjelaskan. Maka, seringkali sekitar jam sepuluh kau menawari kami kopi dengan suara setangah berbisik. Setelah kami mengangguk kau keluar ruangan dan kembali bersama seorang petugas dapur yang membawakan delapan cangkir kopi hitam.

Kau tak pernah tahu jika rekan-rekan kerja seruangan kita sering diam-diam membincangkanmu. Dari mulai pinggulmu, dadamu, senyummu, sampai mengira-ngira bagaimana suara desahmu ketika bercinta. Ah! Aku sering hanya diam dan tersenyum-senyum saja. Aku memang jarang bicara dan lebih menutup diri. Dan payahnya, semua rekan kerja memaklumi sikap pendiamku, sehingga aku merasa tentram dan tak berpikir untuk merubahnya. Termasuk kau, semua rekan akan bertanya hal yang penting saja kepadaku, khususnya seputar pekerjaan. Aku lebih senang mendengar dan jarang bercerita jika tidak ditanya. Ketika ada yang bertanya, aku sering menjawab sekenanya, seperlunya. Dan kau, juga yang lain seolah menjadi malas untuk bertanya banyak hal kepadaku.

Mulanya aku juga seperti rekan-rekan yang lain, menganggapmu perempuan yang baik, sebelum kita kembali ditugaskan ke luar kota untuk ketiga kalinya. Kadang aku heran, selalu saja kepala perusahaan menugaskan kita berdua untuk pergi ke luar kota. Seolah-olah ada tangan gaib yang merencanakan ini semua.

Demikianlah, perjalanan selalu saja menyediakan jeda antara keberangkatan dan kepulangan yang kadang membosankan dan terasa sunyi. Mungkin dengan bercerita kau bermaksud membunuh kesunyian, mempercepat roda kereta sampai tujuan. Di atas kereta yang melaju, kau memuntahkan isi hatimu. Ya, aku tak pernah memintamu bercerita. Selalu kau sendiri yang memulai. Tidak adakah orang lain yang bersedia mendengar keluhmu, Fei?

"Ternyata penampilannya saja yang nampak dewasa. Gayanya pakai jas dan dasi. Tapi otaknya, pikirannya, sifatnya, masih kekanak-kanakkan."

"Maksudmu, dia manja?"

"Dia terlalu posesif. Pencuriga. Memang dia cukup uang. Tapi aku tak suka sifat borosnya. Setiap hari isi sms-nya selalu sama, 'Kamu lagi ngapain? Dengan siapa? Aku kengen. Apa kamu juga kangen? Kenapa waktu berjalan lambat?' Menghabiskan pulsa saja! Betapa bosan aku menjawab pertanyaan yang tidak kreatif macam itu."

"Itu tandanya dia cinta sama kamu."

"Tapi aku tak senang dengan caranya mengungkapkan. Aku jadi tahu kalau dia orangnya tidak sabaran. Padahal tinggal tiga minggu lagi pernikahan kami. Ini cincinnya, masih kupakai, dan selalu kutunjukkan padanya setiap kali kami bertemu, pertanda aku masih setia." Kau diam sejenak, memasukkan ponsel ke dalam tas dengan gerak sewot. " Sebelum kami jauh melangkah, mungkin lebih baik…."

"Tak boleh kau begitu. Aku lelaki, Fei. Membayangkan diriku berposisi sebagai lelakimu, barangkali aku juga akan melakukan hal yang sama...." Entah kenapa, saat itu aku serius menanggapimu. Kalimatmu meluncur deras. Mati-matian kubela lelakimu, kusalahkan dirimu. Kau balik membela dirimu dan menyalahkannya. Sampai kemudian kita sama-sama mendesah. Mata kita bertemu sejenak sebelum kau menunduk lama. Aku menelan ludah. Benar kata orang, perempuan yang hendak menikah terlihat lebih segar dan cantik. Sungguh, aku mengakuinya sekarang, setelah mengamatimu diam-diam.

Kau menundukkan kepala terlalu lama. Menangis? Adakah yang salah dengan ucapanku? "Maaf, jika ada kata yang kasar."

Kau tertegun. Membersihkan air mata dan ingusmu dengan tisu. "Tidak, aku justru senang kau bersikap demikian. Ternyata kau begitu baik dan jujur."

Aku kembali menelan ludah, menghindar dari tatapan tajam matamu. Apa yang kau tahu tentang diriku, Fei? Tak pernah kau bertanya atau memintaku bercerita tentang keseharianku, keluargaku, dan lainnya. Dan kau tentu paham aku tak begitu pandai membuka cerita, kecuali jika ada yang bertanya. Aku lebih memilih diam. Kisah hidupku biarlah kupendam dalam-dalam.

Dalam perjalanan pulang, mungkin karena kau terlalu lelah (mungkin rasa marah memang bisa membuat orang lebih cepat lelah) dan kehabisan bahan cerita, kau lebih banyak diam. Dan aku malas bertanya. Ah, barangkali lebih tepatnya aku hanya tak tahu apa yang mesti aku tanyakan. Kau tertidur. Entah sadar atau tidak, kau sandarkan kepalamu di bahuku. Aku tak bisa menolak. Tepatnya, terlalu sia-sia jika aku menolaknya. Kubiarkan kau terlelap dan kupuaskan mata memandang wajahmu yang tengadah pulas. Hujan deras menjilati kaca jendela kereta, seolah ingin membelaimu juga.

Sejak perjalanan itu, tiap kali jam istirahat tiba, di kantin kantor, kau memilih duduk satu meja denganku. Semakin mendekati hari perkawinan air mukamu kian jelas menampakkan kegelisahan. Tapi masih kulihat cincin tunanganmu, berkilau setiap kau menggerak-gerakkan garpu. Meski acap kali kau tiba-tiba memuntahkan kekesalan atas sikap calon suamimu. Ketika kau bersikap begitu, aku mengambil sikap seperti dulu: kubela mati-matian calon suamimu, dan kuperingati kau untuk hati-hati. Kukatakan padamu, bahwa lelaki cenderung lebih stress dari pada perempuan menjelang hari perkawinan. Ya, aku sangat tahu tentang hal itu. Aku sangat paham. Tetapi kau malah tertawa keras dan panjang mendengar penjelasanku. Bisa jadi sebaliknya, katamu, lalu tertawa lagi.

Entahlah. Tapi kau kemudian membuktikan ucapanmu. Betapa aku tertegak saat hari berikutnya, di suatu siang yang hujan kau mengatakan akan membatalkan rencana perkawinanmu. Meski begitu, aku tidak begitu percaya dengan rencanamu selama masih kulihat cincin di jari manismu itu. Cincin emas bermata biru. Melambangan kedamaian, atau kesedihan, kegalauan, kesenduan. Entah, aku tak begitu tahu dengan lambang warna-warna. Yang terang, aku masih melihat cincin itu bersamamu hingga beberapa hari ke depan setelah kau mengatakan hal gila itu.

Andai kau tahu, Fei, dengan tetap memakai cincin itu, kau sebenarnya telah menyelamatkanku.

***

"Tempat ini terlalu sepi, Fei."

"Banyak persoalan sering kuputuskan di tepi danau ini. Di sini seperti ada yang setia membantuku memutuskan setiap persoalan. Entah angin, entah kemerlap air danau yang kupandang."

Entah ke mana pula arah pembicaraanmu. Aku hanya diam. Angin mendesau di antara pohonan cemara. Kita duduk di atas batu besar memandang danau berilau merah oleh cahaya senja yang tumpah. Begitu memukau. Beberapa pemancing kulihat tekun menanti umpan nun di tebing sana. Cukup lama kutunggu kau kembali bicara. Kulihat cincinmu masih melingkar di tempat semula. Di jari manismu. Sesekali kau mengamati cincin itu lekat-lekat. Aku pura-pura tak melihat. Aku biarkan kau bertingkah. Sungguh, aku benar-benar tak tahu dengan diriku. Ada yang berkecamuk di dadaku, dan kau tak pernah tahu, tak perlu tahu. Kau memandangku, tepatnya pada dua belah mataku, jendela jiwaku. Ah, tidak, tak kuijinkan kau membaca isi pikiranku. Aku berpaling ke arah beberapa pemancing. Ketika menoleh lagi ke arahmu, kulihat kau sudah melepas cincin.

"Heh, untuk apa kau melepasnya?!"

Kau hanya tersenyum. Seakan baru menerima jawaban atas gamang yang melingkupi jiwamu. Adakah angin telah memberikan jawaban untukmu, aku membatin.

"Hati inilah yang menyuruhku melepas benda tidak berguna ini." Tanpa berpikir dan berkata-kata lagi kau melempar cincin itu ke danau. Aku terlambat mencegahmu dan tak tahu mesti berbuat apa kecuali mengatakan, bahwa kau benar-benar sudah gila!

"Mungkin kaulah yang telah membuatku gila," balasmu lantang, membuat jantungku sejenak berhenti berdetak. Lalu kita kembali diam, sampai kau membisikkan kata yang sebelumnya tak pernah aku duga. Kata yang membuatku terpaku, teringat istriku.

Wonosobo, April 2007

Selir Para Diktator

Oleh: M. Yusuf Amin N

Judul Buku: Rahasia Kehidupan Seks Para Diktator Besar
Penulis: Nigel Cawthorne
Penerjemah: Slamet Riyanto
Penerbit: Alas Publishing, Yogyakarta
Cetakan: I, April 2007
Tebal Buku: xv + 292 halaman

Dalam suratnya kepada seorang Uskup sejarawan liberal bernama Lord Acton mengatakan, bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut benar-benar membuat pemimpin korup. Aforisme tersebut ternyata mendapat pembenaran sejarah kediktatoran yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kekuasaan yang mutlak, disadari atau tidak, cenderung membawa seorang bertindak sekehendaknya, merobohkan segala norma demi kepuasan hidup, baik lahir maupun batin, lebih-lebih menyangkut kebutuhan seksualnya.

Pada mulanya seorang suami tentu saja mengagungkan kesetiaan pada istrinya. Akan tetapi, bagi para diktator besar, menjaga kesetiaan bukanlah pekerjaan yang sepele. Godaan seorang diktator jauh lebih besar dibanding dengan orang kebanyakan. Bayangkan: Anda seorang doktator yang dapat memerintah dengan hanya mengacungkan jari telunjuk, yang kata-katanya menjadi sabda, sementara di sekeliling Anda perempuan-perempuan cantik menggoda. Tepat kiranya kalau Henry Kissinger mengatakan bahwa kekuasaan adalah perangsang nafsu yang paling hebat.

Anggapan yang mengatakan kalau para diktator komunis tidak peduli dengan seks dan hanya memikirkan tentang kepentingan rakyat kiranya patut dikoreksi kembali. Nigel Cawthorne, penulis buku ini, mengungkap bahwa Lenin merupakan salah satu pria yang memiliki banyak wanita, namun dia hanya tertarik pada wanita-wanita yang terlibat dalam perjuangan revolusi. Sedangkan Stalin dikabarkan biasa mengeluh, bahwa Nadya, istrinya, sama sekali tidak memenuhi seleranya. Stalin melampiaskan hasrat seksualnya pada para selirnya yang memiliki hidung pendek dan mancung.

Perhatikan pula kehidupan Mussolini, diktator yang sempat memegang kendali Italia. Ia menyukai perempuan yang cerdas, khususnya para guru. Selirnya, tulis Nigel, terdiri dari wartawati, istri para anggota partai, aktris, wanita-wanita bangsawan, dan para turis asing. Ironisnya, Mussolini memberikan hukuman keras terhadap perzinahan dengan alasan, perzinahan dapat menulari penyakit sipilis. Dia juga melarang keras dansa modern dan mencoba menyusun peraturan terhadap kehidupan malam Roma yang bobrok.

Bagaimana dengan Adolf Hitler? Mungkin Hitler merupakan diktator paling aneh sepanjang sejarah. Lima di antara kekasihnya bunuh diri karena praktik-praktik seksual yang ia lakukan dengan sangat menjijikan. Meskipun Hitler tahu bagaimana caranya merayu wanita, dia kurang berhasil dengan wanita-wanita yang lebih muda. Di Munich, ditemani sopir pribadinya, Hitler biasa memburu gadis-gadis. Hitler sempat juga menjalin hubungan asmara dengan keponakan perempuannya sendiri, Geli Raubal. Selirnya yang lain, antara lain, Renate Muller dan Linda Basquette, yang merupakan bintang film.

Di Kuba ada Fidel Castro yang—sejak istrinya meninggal dunia—selalu menugaskan pengawal keamanannya untuk mencarikan teman tidur. Di Paraguay ada Fransisco Lopéz, yang gila kekuasaan, harta, dan memiliki banyak selir. Sementara di negara-negara berpaham Islam, kehidupan para pemimpinnya juga tak luput dari tinta merah sejarah. Raja Farouk dari Mesir memberlakukan droit du roi (hak raja) terhadap para wanita dan anak perempuan yang tercantik dari warganya. Terdapat pula sejumlah laporan tentang ketidaksetiaan Sadam Husain terhadap istrinya, juga perihal selir-selirnya yang disimpan di istana-istana yang khusus dibangun untuk itu.

Sulit dipercaya kalau Nigel menulis buku Rahasia Kehidupan Seks Para Diktator Besar ini hanya berdasarkan sejumlah “konon” dan “desas-desus”, meski dalam buku ini banyak dijumpai kata-kata itu. Buku ini serasa kurang lengkap karena Nigel tak memberikan keterangan yang jelas perihal dari mana sumber berita didapat. Daftar pustaka yang begitu peting dalam penulisan sejarah bahkan terlewatkan begitu saja. Meski begitu buku ini tetap menarik dibaca karena di dalamnya bukan hanya mengulas selir para diktator, melainkan juga berusaha menyelami kehidupan asmara mereka. Kisah-kisah romantis para diktator dari mulai remaja sampai akhir hayatnya dalam buku ini dapat menggugah kesadaran kita, bahwa sekeras apapun tangan para diktator, sebetulnya mereka tetap menyimpan cinta.