Oleh: Jusuf AN*)
Serasa masih belum kering air mata negeri ini atas tregedi tsunami yang terjadi Atceh (2004), gempa bumi di Pangandaran (2005), Yogyakarta (2006), Padang (2009). Masih belum tuntas duka warga Sidoarjo dari lumpur Lapindo (sejak 2006) yang menelan rumah dan harta benda mereka. Belum sembuh benar luka-luka negeri ini akibat bencana-bencana yang meluluh lantakkan bumi, menelan harta benda dan menghilangnan ribuan nyawa; dan kini serentetan bencana kembali terjadi secara beriringan; banjir bandang di Wasior (4/10), tsunami di Mentawai (26/10), dan letusan gunung Merapi Yogyakarta yang hingga sekarang masih mendebarkan.
Banyak cara yang dilakukan masyarakat dalam menyikapi serentetan bencana tadi (sebenarnya masih banyak bencana lain yang tidak bisa dikatakan kecil, hanya saja kurang diekspos oleh media). Ada yang berempati dengan menggelar doa bersama untuk negeri atau terjun langsung ke lokasi menjadi sukarelawan. Ada yang menyumbangkan uang, pakaian, maupun makanan. Ada pula yang cuma menitikkan air mata di depan layar kaca. Kompleks, meski tidak semuanya positif, karena sebagian kalangan justru memanfaatkan situasi dengan pamer “bendera” dan sebagian lagi dengan menggalang bantuan dana fiktif.
Berkenaan dengan itu pula, kaum seniman (baca: sastrawan), yang kesehariannya menyuntuki peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat tak mau kehilangan momentum. Secara spontanitas, air mata bencana negeri ini turut serta membidani kelahiran karya. Sebuah novel karya Tere Liye berjudul Hafalan Shalat Delisa (2005) yang menceritakan seorang anak korban tsunami Atceh bahkan masuk kategori best-seller.
Serasa masih belum kering air mata negeri ini atas tregedi tsunami yang terjadi Atceh (2004), gempa bumi di Pangandaran (2005), Yogyakarta (2006), Padang (2009). Masih belum tuntas duka warga Sidoarjo dari lumpur Lapindo (sejak 2006) yang menelan rumah dan harta benda mereka. Belum sembuh benar luka-luka negeri ini akibat bencana-bencana yang meluluh lantakkan bumi, menelan harta benda dan menghilangnan ribuan nyawa; dan kini serentetan bencana kembali terjadi secara beriringan; banjir bandang di Wasior (4/10), tsunami di Mentawai (26/10), dan letusan gunung Merapi Yogyakarta yang hingga sekarang masih mendebarkan.
Banyak cara yang dilakukan masyarakat dalam menyikapi serentetan bencana tadi (sebenarnya masih banyak bencana lain yang tidak bisa dikatakan kecil, hanya saja kurang diekspos oleh media). Ada yang berempati dengan menggelar doa bersama untuk negeri atau terjun langsung ke lokasi menjadi sukarelawan. Ada yang menyumbangkan uang, pakaian, maupun makanan. Ada pula yang cuma menitikkan air mata di depan layar kaca. Kompleks, meski tidak semuanya positif, karena sebagian kalangan justru memanfaatkan situasi dengan pamer “bendera” dan sebagian lagi dengan menggalang bantuan dana fiktif.
Berkenaan dengan itu pula, kaum seniman (baca: sastrawan), yang kesehariannya menyuntuki peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat tak mau kehilangan momentum. Secara spontanitas, air mata bencana negeri ini turut serta membidani kelahiran karya. Sebuah novel karya Tere Liye berjudul Hafalan Shalat Delisa (2005) yang menceritakan seorang anak korban tsunami Atceh bahkan masuk kategori best-seller.