Cerita-Cerita yang Menelanjangi Madura


Oleh: Jusuf AN

Judul Buku: Mata Blater
Penulis: Mahwi Air Tawar
Penerbit: Mata Pena, Yogyakarta
Cetakan: I, Maret 2010
Tebal Buku: xiv + 127 halaman

Siapakah blater? Ia adalah seorang tokoh penting dengan posisi unik yang sukar dicari padananya di daerah-daerah lain di luar Madura. Ia semacam preman tapi bukan preman, semacam jawara tapi bukan jawara, demikian Joni Ariadinata memberi keterangan dalam kata pengantar untuk buku ini. 

Sebagai cerpenis yang lahir di Pulau Garam, Mahwi Air Tawar mencoba menghapus citra miring tokoh blater sebagai pembuat onar. Melalui cerpen “Mata Blater”, yang diangkat sebagai judul buku ini, Mahwi ingin menegaskan bahwa seorang blater berani mati dengan suatu alasan yang dianggap “benar”, yakni demi harga diri, demi keberlangsungan hidup yang damai antara sesama, demi tradisi yang diyakini kebenarannya.

Adalah Madrusin, seorang tokoh blater, yang cintanya tidak direstui oleh keluarga kekasihnya, yang notabene adalah keluarga Kiai. Cerita cinta semacam ini barangkali akan sangat biasa jika Mahwi tidak menjadikan seorang blater sebagai tokoh utamanya. Tembang pote mata, angor mate katelak tolang (lebih baik mati terlihat tulang daripada hidup berputih mata atau menanggung malu). Itulah prinsip hidup Madrusin, lelaki dengan sorot mata setajam ujung celurit. Maka, lihatlah bagaimana gaya Madrusin dalam memecahkan persoalan cintanya yang tak direstui dan hinaan yang telah ia terima. Bukan dengan menculik gadis pujaannya, tetapi dengan cara yang dianggapnya lebih ‘jantan’. Dengan celuritnya Madrusin memotong tiga helai rambut Sati, yang kemudian dimasukkannya ke dalam cangkir kopi. Setelah mengatakan permohonan agar orangtua Sati mau merestui hubungannya, Madrusin mengambil kembali tiga helai rambut Sati dari dalam cangkir kopi dan ditaruhnya persis di atas gagang celurit.
Orang Madura memang dikenal sebagai orang yang akrab dengan dunia kekerasan. Memalui cerpen-cerpennya, Mahwi sama sekali tidak ingin menutup-nutupi persoalan-persoalan kekerasan di tanah kelahirannya, melainkan justru bermaksud menelanjanginya.
Konflik-konflik yang ada dalam cerpen-cerpen Mahwi merupakan cermin dari apa yang ia lihat dan rasakan selama hidup di Madura. Dalam “Karabhen Sape” dikisahkan tentang Matlar, jagoan karapan sapi, yang mengalah dalam pertandingan akibat iming-iming akan disekolahkan di luar kota. Cerpen ini diakhiri dengan peristiwa tragis, yakni sabetan celurit yang menyemburkan darah sapi kesayangan Matlar. Sementara “Eppak” mengisahkan tentang dendam seorang istri kepada suaminya sendiri yang telah membunuh ibu si istri. Si istri tersebut kemudian mengutus anaknya untuk membunuh ayahnya sendiri.
Sosiolog asal Belanda, Huub de Jonge, dalam buku Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society (1995) mengungkapkan, jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya.
Hal tersebut tersirat dalam “Bulan Selaksa Celurit”. Konflik dalam cerpen ini mencuat akibat dendam kekalahan dalam ajang karapan sapi, yang berujung dengan adu carok. Cerpen tersebut bukan sekadar menyuguhkan adegan-adegan kekerasan, tetapi lebih dari itu hendak mengatakan bahwa tradisi carok bukan semata adu kekuatan dan pertumpahan darah tapi upaya mempertahankan apa yang diyakini sebagai sebuah “kebenaran”.
Kita tahu, Madura merupakan kelompok etnis terbesar setelah Jawa dan Bali sedangkan penelitian terhadap suku ini belum banyak dilakukan. Karenanya, buku yang memuat 12 cerpen ini memberikan sumbangsih penting yang tidak hanya memberikan hiburan semata, tetapi sekaligus informasi mengenai tradisi dan budaya Madura, sehingga bisa meminimalisir kesalahpahamaan pembacaan terdahap Madura itu sendiri. Bagi Mahwi, Madura beserta problem sosiologis masyarakatnya yang sangat kompleks, merupakan ladang estetika yang sangat menarik untuk digali. Maka usaha Mahwi menelanjangi tradisi dan budaya Madura lewat karya sastra patut mendapatkan apresisasi.

Eksplorasi Kultur Etnik
Penggambaran peristiwa serta penulisan setting yang detail membuat pembaca diajak untuk menyaksikan langsung adegan-adegan yang hidup dalam buku ini. Penguasaan materi seputar tradisi dan budaya Madura ditambah dengan cara pengungkapan cerita dengan bahasa puitis membuat cerpen-cerpen dalam buku ini renyah untuk dinikmati kapan saja.
Membaca buku ini, kita tidak hanya akan disuguhi kisah-kisah kekerasan, tetapi juga diperkaya dengan khasanah serta persoalan-peroalan yang melingkupi tradisi dan budaya Madura, seperti kontes kecantikan sapi dalam “Sape Sonok”; ritual upacara meminta hujan dalam “Ojung”; tarian Ronggeng khas Madura dalam “Tandak” dan “Careta Penanda”; juga pasir putih yang dijadikan tempat untuk tidur dalam “Kasur Pasir”.
Warna lokal seperti mata air gagasan yang tak pernah kering, demikian pernah disinggung Maman S. Mahayana (2002). Ia menyimpan benih-benih kisah yang tak ‘sudah-sudah’ jika para pengarang mau mengolah. Pilihan Mahwi menggarap kultur etnik Madura dalam cerpen-cerpennya merupakan pilihan yang tepat, karena masih langkanya pengarang (cerpen apalagi novel) Madura yang mencoba mengekpolasi kultur etniknya sendiri. Selama ini dalam dunia sastra, Madura lebih dikenal dengan gudangnya penyair, dengan D. Zawawi Imron sebagai ikonnya, sehingga munculnya cerpen-cerpen lokalitas Madura yang terhimpun dalam buku ini telah melahirkan peta baru di dunia kesusastraan kita.

*) Jusuf AN, Guru MTs Negeri Wonosobo

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 comments

comments
Anonim
2 Mei 2011 pukul 15.44 delete

waaah.. hebatnya kak Mahwi, bukunya menarik sekali, menceritakan budaya Madura. aku sih pernah dengar cerita yang sama seperti Madrusin di Sumenep (tempat tinggalku). tapi cuma denger doang.. karena biasanya tragedi carut marut itu sering banget terjadi di desa.

Serem juga ya sama cerita carut marutnya, untungnya di daerahku nggak ada yang begituan (semoga nggak terjadi deh). aku juga orang Madura, lho! ^^ *salam untuk kak Mahwi :)

Reply
avatar
3 Mei 2011 pukul 07.55 delete

oh, orang Madura ya..
teman mahwi?
Mahwi memang tekun mengarang, kita doakan dia jadi pengarang terkenal. amin.

Reply
avatar