Jehenna, Narasi Jin di Tengah Kita

Artikel ini merupakan review novel Jehenna yang ditulis oleh Ridwan Munawar*) dan pernah dimuat di Koran Merapi edisi minggu.

“kesesatan pun perlu dibaca. Untuk dihindari”
(Ahmad Tohari)


Sederet kalimat di atas kiranya cukup reresentatif untuk menggambarkan spirit dari novel mistik yang menggambarkan bagaimana gigihnya proses penyesatan yang dilakukan oleh kaum jin terhadap manusia ini. Membaca novel ini, adalah mengikuti ketegangan tanpa henti tentang bagaimana perilaku manusia selalu berada dalam godaan dan pilihan nilai baik-buruk sampai pada titik terkecilnya.

Tokoh utama di sini adalah Jehenna, seekor jin jantan yang menggoda para pengikut Muhammad Jumadil Qubra’ dan Sunan Kalijaga sampai pada keturunannya di masa dulu sampai modern sekarang. Dengan kata lain, alur waktu dalam novel ini ada tiga; masa jawa klasik, masa pergerakan nasional dan masa modern sekarang. Dalam satuan waktu kaum jin yang rata-rata berumur ratusan sampai ribuan tahun manusia, kurun waktu tiga periode di atas tentulah pendek saja adanya. “Jehenna” sendiri adalah sebuah kata yang berasal dari Syiria yang berarti “jahanam.

Menghidupkan Siaran Televisi yang Pro-Buku

Jusuf AN*)
Televisi seperti hanya rokok, harus dilengkapi dengan peringatan dari Departemen Kesehatan, tulis E Shapiro lewat bukunya Mengajarkan Emosional Intelligence pada Anak (2006). Walaupun menonton televisi tidak langsung menimbulkan kerusakan fisiologis sebagaimana rokok, namun televisi merupakan faktor nyata yang menyebabkan obesitas (kegemukan) di kalangan anak-anak yang sekarang diduga mencapai sekitar 14 %. Dan kita tahu, obesitas mempunyai peran yang besar dalam mengundang penyakit berat yang menyebabkan pendeknya usia. Berbeda dengan rokok yang dapat menyebabkan kanker dan serangan jantung, televisi dapat menyebabkan ketagihan psikologis yang menggangu, dan fakta ini sulit dibantah siapa saja.

Satu sisi memang televisi menjadi momok yang mengancam jutaan anak di seluruh dunia. Namun di sisi lain televisi juga bisa menjadi sumber belajar yang mencerdaskan. Sebagian kalangan beranggapan televisi bisa melemahkan minat baca, menjauhkan dari buku, mengurangi gairah belajar, dan melumpuhkan emosional intelligence. Sebagian lainnya menganggap, televisi sekadar alat, jika digunakan dengan tepat ia tak akan melukai. Dengan kata lain, televisi bisa dijadikan satu sarana yang baik dalam menumbuhkan semangat belajar anak, meningkatkan potensi akademik, dan mengembangkan minat baca, tergantung dari bagaimana, apa, dan berapa lama kita menontonnya.

Tenggelamnya Mitos Televisi


Milton Chen pada 1994 menulis The Smart Parent Guide to Kids'TV, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Anak-Anak dan Televisi: Buku Panduan Orang Tua Mendampingi Anak-anak Menonton TV. Buku tersebut antara lain mengungkap penyangkalan terhadap mitos-mitos seputar televisi. Mitos-mitos ini berpangkal pada pandangan simplitis, tetapi keras kepala bahwa televisi, sebagai suatu medium, mempunyai pengaruh-pengaruh tersendiri yang terlepas dari isinya.

Salah satu mitos itu, bahwa anak yang menonton televisi tidak akan pernah menjadi pembaca yang baik. Betapa selama ini banyak orang beranggapan bahwa televisi dan buku adalah musuh bebuyutan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Program siaran yang bermutu bisa benar-benar memotivasi penonton untuk membaca dan mencintai buku.

Kita akui televisi di negeri ini penuh dengan tayangan yang cenderung sekadar menghibur ketimbang mendidik. Meski begitu, miskinnya tayangan yang bermutu tidak kemudian membuat kita terburu-buru berkesimpulan bahwa buku memiliki derajat lebih tinggi dibanding televisi. Sikap anti-televisi semacam itu disadari atau tidak telah menciptakan semacam kesombongan intelektual. Padahal, beberapa program televisi ada yang jelas-jelas pro-buku.

Kita tentu kenal dengan acara Kick Andy yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta. Acara Kick Andy patut mendapat pujian, bukan hanya disebabkan ia konsisten mengangkat tema-tema yang humanis, tetapi juga karena usahanya mengusung buku ke layar kaca. Beberapa kali Andy bahkan menghadirkan para penulis buku, seperti Andera Hirata, Muhyidin M Dahlan, Fuadi—sekadar menyebut beberapa nama—sesuatu yang sangat jarang kita jumpai. Lagi, program ini juga selalu membagikan buku gratis kepada ratusan jama’ah yang hadir di studio dan memberi kesempatan yang sama kepada pemiarsa di rumah dengan mengakses situsnya. Sangat pantas jika IKAPI tahun lalu memberikan penghargaan kepada Andy atas usaha mengembangkan minat baca masyarakat dan kemajuan bagi dunia perbukuan.

Fenomena Kick Andy membuat kita percaya, bahwa mitos televisi menjauhkan penonton dari buku telah tenggelam. Sebenarnya masih ada beberapa program tayangan televisi yang pro-buku. Cara menandainya tak hanya dengan melihat pengusungan buku atau ajakan membaca secara langsung. Setiap program acara yang mendidik, menyampaikan informasi, dan memberi pesan moral pada dasarnya adalah tayangan pro-buku. Dan seperti halnya buku, ada yang menjunjung mutu dan kualitas, ada pula yang tidak.

Menjadi Penonton Kritis

Miskinnya tayangan yang pro-buku, lebih-lebih yang bermutu, membuat kita mau tidak mau Program-program televisi yang prosemacam itu telah menenggelamkan mitos bahwa televisi menjadikan anak menjadi bodoh.Acara-acara seperti kuis permainan kata, kartun Ipin-Upin atau Dora, diyakini bisa membantu proses belajar dan merangsang minat baca. Dapat sebuah program menggunakan animasi dan grafik untuk memperjelas kata-kata kunci yang disodorkan kepada pemirsa untuk dibaca dan diucapkan keras-keras sembari menonton. Segera harus disadari bahwa TV bisa menjadi sumber kreatif untuk kegiatan belajar secara aktif, bukannya malah dijadikan penyebab matinya kegiatan belajar. Bukankah salah satu ciri televisi adalah kemampuannya menggugah pemirsa agar membaca dengan keras.

Televisi memang tak pantas kita musuhi, tetapi tayangan-tayangan yang buruk, serta kebiasaan menonton berlama-lama merupakan hal yang wajib kita kritisi. Tayangan yang buruk, atau tak sesuai dengan segmen penonton, meskipun sangat menghibur, tetapi pelan-pelan merusak dan memerosokkan mental. Sementara kebiasaan duduk berlama-lama di depan televisi tak dipungkiri dapat menumpulkan bahkan melumpuhkan perkembangan emosional intelligence, antara lain kualitas-kualitas yang berupa empati, mengendalikan amarah, kemandirian, ketekunan, dan keramahan. Maka, jangan heran jika Indonesia yang dulu masyarakatnya dikenal ramah, santun, dan senang bergotong royong, kini menjadi negeri yang gemar tawuran, bentrok, dan individualistik. Televisi begitu perkasa menggeser tata nilai dan budaya suatu masyarakat menjadi seperti sekarang ini.
Meninggalkan televisi secara total lalu menjadikan buku satu-satunya sumber ilmu dan informasi adalah sikap yang kurang arif, mesti tidak mustahil orang bisa melakukannya. Yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana pemiarsa cerdas dan kritis dalam memilih tayangan, dan ini sebenarnya merupakan usaha memperbaiki kualitas tayangan televisi kita. Bukankah para pembuat program acara televisi mengikuti selera pemiarsa, bukan sebaliknya.

Dan karena televisi mengincar anak-anak sebagai targetnya, maka orang tua sudah seharusnya menjadi panglima menentukan apa dan kapan waktu tepat menghidupkan televisi, sambil terus berjuang membiasakan anak membaca buku. Dengan begitu, buku dan televisi dapat berdamai. Tetapi bagi orangtua yang telah kecanduan televisi, jauh dari buku, maka hal tersebut akan sangat sulit tercapai, sebagaimana sulitnya seorang pemabuk meminta agar anaknya menghentikan kebiasaan minum khamr.

Jusuf AN, penulis lepas asal Wonosobo