Akar Mistik Orang Jawa

diresensi oleh Jusuf AN

Judul Buku : Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis
Penulis : Capt. R.P. Suyono
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2007
Tebal Buku : xii + 280 halaman



Sebagai pengoleksi benda antik (termasuk buku) Suyono tergerak untuk menyadur buku karya H. A. van Hien berjudul De Javansche Geestenwereld atau Dunia Roh Orang Jawa yang diterbitkan sekitar tahun 1920 oleh G.Kolff & Co. Batavia. Van Hien merupakan sejarahwan dari Belanda yang ditugaskan meneliti dan menulis alam pikiran orang Jawa. Berkat pemahaman alam pikiran orang Jawa yang diperolehnya, tidak heran jika Belanda kemudian sukses besar menjajah negeri ini selama 350 tahun.

Menurut Suyono, buku karya van Hien tersebut masuk dalam kategori buku yang sangat langka. Pada jaman penjajahan Jepang, kita ingat, semua buku berbahasa Belanda harus dimusnahkan, dan bila ada yang ketahuan menyimpannya, maka akan dihukum oleh polisi rahasia Jepang. Kini, di Belanda sendiri tidak ditemukan lagi buku karya van Hien itu. Kerenanya, kita beruntung, berkat kemampuan bahasa Belanda lama yang Suyono kuasai memungkinkan kita menikmati karya van Hien dan menelusuri jejak orang Jawa, terutama wilayah mistiknya.

Kita tahu, mistik merupakan keyakinan yang hidup dalam alam pikiran kolektif masyarakat yang bersifat abadi. Demikian pula dengan dunia mistik orang Jawa. Berbagai kepercayaan mistik yang telah hidup bersamaan dengan lahirnya masyarakat Jawa, diturunkan dari generasi ke generasi, hingga kini.
Pengamat sejarah yang teliti akan mengetahui bahwa masyarakat Jawa memiliki kepercayaan yang campur-aduk. Pada mulanya penduduk Jawa merupakan bangsa pengembara. Di tengah alam yang buas orang Jawa pertama berusaha mempertahankan hidup dengan mempelajari pengaruh-pengaruh alam yang kemudian menimbulkan kepercayaan, bahwa setiap gerakan, kekuatan, dan kejadian di alam disebabkan oleh makhluk-makhluk di sekitarnya: animisme.

Oleh Suyono animisme dibagi menjadi dua, yakni fetitisme dan spritisme. Fetitisme adalah pemujaan kepada benda-benda berwujud yang tampak memiliki jiwa. Sedangkan spiritisme adalah pemujaan terhadap roh-roh leluhur dan makhluk halus yang terdapat di alam.

Ketika agama Islam mulai dianut hampir sebagian besar masyarakat Jawa, pemujaan terhadap kekuatan alam tidak begitu saja ditinggalkan. Wali Sanga sendiri, sebagai tokoh yang menyebarkan Islam di Nusantara mempunyai segudang cerita mistik. Sebut saja Sunan Giri, mengalahkan tentara Majapahit dengan sebuah pena yang bisa berubah menjadi keris. Sunan Kalijaga mampu membuat tiang masjid yang kokoh dari tatal. Dan sederet cerita mitis lainnya.

Beberapa kalangan membantah kebenaran cerita mitis tersebut dengan dalih, Islam merupakan agama tauhid. Muhammad sebagai pembawa risalah Islam tidak mengenal mistik dan anti kemusyrikan. Berkaitan dengan itu, Profesor Simuh, dalam buku Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, menganalisis bahwa Islam yang masuk ke Indonesia bukanlah Islam murni yang berasal langsung dari jazirah Arab, melainkan Islam yang dibawa oleh pedagang Persia dan Gujarat. Persia, kita tahu, merupakan pusat perkembangan tradisi tasawuf. Tasawuf sendiri terbagi menjadi dua: Tasawuf Islam yang mementingkan sikap hidup yang tekun beribadah serta mengacu kepada Al-Quran dan Hadis; dan tasawuf murni atau mistikisme yang menekankan pada pengetahuan hakikat Tuhan. Era tasawuf Islam yang berakhir 728 M memperkuat dugaan bahwa tasawuf yang masuk ke Indonesia merupakan tasawuf Mistikisme. Maka, tak heran jika Islam mudah berkompromi dengan budaya Hindu-Budha yang dianut sebagian besar penduduk pada masa itu.
Terlepas dari kontroversi historis di atas, Suyono membagi Islam menjadi empat sekte: (1) Kaum Islam yang masih memegang campuran kepercayaan Brahma dan Budha; (2). Kaum Islam yang menganut kepercayaan magik dan dualisme; (3). Kaum Islam yang masih menganut animisme; (4) Kaum Islam murni. Tiga sekte Islam yang pertama masuk dalam golongan "Islam Kejawen", yakni keyakinan dan ritual campuran dari agama Islam dengan pemujaan terhadap kekuatan alam. Pedoman kepercayaan kejawen ini tampak pada ajaran yang disebut sebagai petangan, tata cara memperhitungkan keberuntungan.

Melalui buku Dunia Mistik Orang Jawa: Roh Ritual, Benda Magis kita akan mengetahui alam mistik yang dipraktikkan masyarakat Jawa sekitar tahun 1920-an. Karena spektrum dunia mistik orang Jawa sangat luas maka karya ini akan terbit dalam tiga jilid. Buku setebal 280 halaman ini merupakan buku pertama yang membahas mengenai dunia roh, tempat-tempat angker, azimat, hantu atau memedi, perhitungan waktu, doa dan mantra, ritual dan sesajian, sampai ramalan Jaya Baya. Buku kedua (belum terbit) berisi mengenai petangan, dan buku ketiga mengenai orang Tengger.

Era global dan pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi yang mempengaruhi kehidupan alam pikiran masyarakat Jawa ternyata tidak begitu saja menghilangkan berbagai kepercayaan mitis dan praktik-praktiknya. Akan tetapi sedikit orang mengetahui akar mistiknya sendiri. Karena itu, buku ini penting dibaca bukan karena dipenuhi dengan cerita gaib dan mantra-mantra, melainkan sebagai jalan merunut perkembangan keyakinan dan alam pikiran nenek moyang. Dengan begitu akan mudah memahami alam pikiran kita sendiri. Kuasai alam pikiranmu, maka kamu akan menguasai tindakanmu. Kuasai tindakanmu maka kamu akan menguasai kebiasaanmu. Kuasai kebiasaanmu, maka kami akan menguasai nasibmu, begitu kata orang bijak.

Titik Lemah Gerakan Mahasiswa



Oleh: Jusuf AN*)


Judul Buku: Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia
Penulis: Suharsih dan Ign Mahendra K
Penerbit: Resist Book
Cetakan: Pertama, Februari 2007
Tebal: x+ 268 halaman, 17 X24,5 cm


           
Tidak bisa dipungkiri gerakan mahasiswa telah mengawal banyak perubahan sosial yang terjadi sepanjang sejarah Indoneia. Bahkan, gerakan mahasiswa tahun 1966 dan 1998 mampu menumbangkan rejim, menandakan betapa gerakan mahasiswa memiliki kekuatan yang luar biasa. Namun demikian, peran penting mahasiswa tidak selalu diiringi dengan tuntutan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Berbagai organisasi gerakan mahasiswa kini berkecambah di setiap kampus, aksi massa terus berlangsung, tetapi kenapa negeri ini tak kunjung membaik?

Imperialisme Media


Jusuf AN*)

Judul Buku : Membongkar Kuasa Media
Penulis : Zainuddin Sardar
Ilustrasi : Borin Van Loon
Penerjemah: Dina Septi Utami
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2008
Tebal : 174 Halaman

Media memiliki pengaruh dan kekuatan yang sangat besar terhadap kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak mengherankan, sebab rata-rata seseorang menghabiskan lebih dari 15 tahun dalam kehidupan untuk menonton televisi, film, video, membaca surat kabar dan majalah, mendengar radio, dan berselancar di internet. Artinya, kita menghabiskan sepertiga dari hidup kita dengan membenamkan diri dalam media. Akibatnya, kemampuan kita berbicara, berfikir, berhubungan dengan orang lain, bahkan mimpi dan kesadaran akan identitas kita sendiri dibentuk oleh media. Dengan demikian, mempelajari media adalah mempelajari diri kita sendiri sebagai makhluk sosial.

Cerita-Cerita yang Menelanjangi Madura

Cerita-Cerita yang Menelanjangi Madura


Oleh: Jusuf AN

Judul Buku: Mata Blater
Penulis: Mahwi Air Tawar
Penerbit: Mata Pena, Yogyakarta
Cetakan: I, Maret 2010
Tebal Buku: xiv + 127 halaman

Siapakah blater? Ia adalah seorang tokoh penting dengan posisi unik yang sukar dicari padananya di daerah-daerah lain di luar Madura. Ia semacam preman tapi bukan preman, semacam jawara tapi bukan jawara, demikian Joni Ariadinata memberi keterangan dalam kata pengantar untuk buku ini. 

Sebagai cerpenis yang lahir di Pulau Garam, Mahwi Air Tawar mencoba menghapus citra miring tokoh blater sebagai pembuat onar. Melalui cerpen “Mata Blater”, yang diangkat sebagai judul buku ini, Mahwi ingin menegaskan bahwa seorang blater berani mati dengan suatu alasan yang dianggap “benar”, yakni demi harga diri, demi keberlangsungan hidup yang damai antara sesama, demi tradisi yang diyakini kebenarannya.

Memperjelas Identitas Manusia Indonesia

Judul Buku : Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia
Penulis       : Radhar Panca Dahana
Penerbit : Insist Book, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2007
Tebal : xxviii + 300 halaman
Presensi : Jusuf AN*)

Sejarah Indonesia tak pernah lepas dari usaha keras untuk menyatukan seluruh unsur ideal, baik yang pernah ada, dianggap ada, bahkan yang diharapkan ada, untuk memberi landasan identifikasi manusia di dalamnya. Sayangnya, usaha tersebut telah menafikan realitas faktual, yakni keberagaman budaya. Radhar menulis, sesungguhnya realitas faktual disusun bukan dari kesatuan ideologis, tapi justru dari keberagamannya. Menurutnya, tak satupun pihak, bangsa atau kelompok etnis apa pun di negeri ini yang dapat mengklaim dirinya sebagai satu entitas yang genuin. Mangkunegara IV misalnya, mengidentifikasi diri dan ontologi Jawa dari penanggalan dan kedatangan pangeran India Ajisaka; masyarakat Betawi ada karena percampuran puluhan etnis lokal asing serta mendapat sebutan dari sebuah daerah kecil di Netherland, Batavia; begitu pun dengan etnis atau bahkan sub etnis lainnya. Jelaslah, bahwa kita adalah sesuatu yang tersusun dari tradisi dan pecahan-pecahan identitas orang lain.

Citra Orang Tionghoa



Peresensi: Jusuf AN

Judul Buku  : Menjadi Jawa
Penulis        : Rustopo
Penerbit      : Ombak, Yogyakarta
Cetakan      : I, Agustus 2007
Tebal           : xxii + 420 halaman

Etnis Tionghoa telah mengalami bertubi-rubi derita sepanjang sejarah Indonesia. Permbunuhan besar-besaran terhadap orang cina di Batavia (baca: Jakarta) dan sekitarnya yang dilakukan VOC pada tahun 1740 menjadi satu titik penting bermulanya peng-asingan etnis Tionghoa. Ketika gerakan nasionalisme semakin semarak orang-orang Tionghoa dianggap sebagai golongan yang anti Indonesia. Proses peng-asingan etnis Tionghoa terus berlanjut sampai diplokamirkannya Indonesia di mana seharusnya segala bentuk diskriminasi dihapus dan diganti demokrasi yang menjujung tinggi keseteraan hak dan perbedaan. Pembunuhan masal tahun 1946 di Banten yang konon dipicu oleh sentimen ekonomi menambah satu lagi daftar kepedihan masyarakat Tionghoa. Ironisnya, orang Tionghoa kembali menjadi sasaran keberingasan sosial yang terjadi tahun 1998 di Surakarta

Memongkar Tiang-Tiang Pengangga Imperialisme AS


Jusuf AN*)

Judul Buku : Neo Imperialisme Amerika Serikat
Penulis         : Noam Chomsky
Penerjemah: Eko Prasetyo Darmawan
Penerbit       : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan       : Pertama, November 2008
Tebal           : xxiii + 235 Halaman

Kejayaan Amerika Serika (AS) ternyata hanya sekadar mitos. Apa yang selama ini kita sangka bahwa AS merupakan negeri yang kaya, menjadi kiblat kemodernan dan kemajuan, ternyata palsu. Adalah Noam Chomsky, penduduk asli Amerika, seorang pakar linguistik sekaligus aktifis politik yang telah menyingkap lebar-lebar mitos itu. Menurutnya, AS tak lebih dari negara imperialis yang keji dan biadab. AS tidak bisa disebut maju karena kemajuan itu dibangun di atas penindasan dan pembodohan terahadap berjuta-juta penduduk aslinya dan terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga.
Meskipun Chomsky adalah seorang warga asli Amerika, tetapi ia sangat tidak menyukui politik imperialisme negerinya sendiri. Baginya, penindasan tetaplah penindasan yang mesti mendapat perlawanan. Dan AS, yang terbukti telah menjadi biang kerok kekacauan, kemiskinan, teror, dan kematian massal di mana-mana, tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Eksploitasi ekonomi dan dominasi yang dilakukan AS mesti secepatnya dihentikan!
Perlawanan dari negara-negara Dunia Ketiga sebagai pihak yang paling sering dirugikan dan dikisruhi oleh AS memang sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, masyarakat dalam negeri AS yang notabene lebih dekat dengan Pentagon beserta bau busuk yang dihembuskannya ternyata lebih sering diam dan menutup mata. Ada apa? Mengapa imperiliasisme AS yang demikian kejam tidak mendapat peralawan dari dalam negerinya sendiri? Strategi apa yang dipakai oleh kelas berkuasa di AS untuk menjinakkan warganya sendiri, sebelum kemudian menundukkan negara lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting, bukan hanya untuk menguak bagaimana ideologi imperialistik AS ditanamkan secara hegemonik, tetapi juga untuk memahami apa sajakah sebenarnya syarat-syarat yang mesti diciptakan oleh setiap kekuasaan untuk melakukan hegemoni, dominasi dan ekspolitasi.
Buku setelah 255 halaman ini berusaha menyingkap beberapa ‘aparatus ideologi’ yang digunakan oleh kelas berkuasa di AS untuk menanamkan hegemoni dan ideologi kelasnya pada seluruh warga negara AS sehingga nilai-nilai, pandangan hidup dan sitem kapitalis diterima sebagai wajar dan normal, bahkan didukung dan sanjung-sanjung.
Jalur pertama dari ‘aparatus ideologis’ yang digunakan adalah pendidikan. Pendidikan di Amerika, sebagaimana yang digambarkan Chomsky, masih jauh dari gambaran demokratis yang selama ini dicitrakan. Praktik pendidikan di AS digunakan sebagai media untuk menanamkan kesadaran palsu dan diciptakan sebagai institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mengindoktrinasi anak-anak muda.
Melalui Komisi Trilateral yang berfungsi untuk menanamkan kepatuhan, untuk menghalangi kemungkinan lahirnya pemikiran yang mandiri, kelas berkuasa AS berusaha membendung gerakan-gerakan rakyat. Komisi Trilateral, menurut Chomsky, bertugas mencari cara-cara yang efektif untuk mempertahankan hegemoni kapitalisme barat dan dominasi elit-elit berkausa sembari terus mengkondisikan agar kalangan kelas menengah yang terdiri dari ilmuwan, para profesional pakar, melalui suatu sistem pengajian terus-menerus mendakwahkan mitos tentang kebajikan nilai-nilai AS.
Karena itu, salah besar jika Indonesia mencontoh (bahkan mencontek) praktek pendidikan yang diselenggarakan di AS. Sebab, pendidikan yang dipraktekkan di AS begitu jauh dari pendidikan demokratik melainkan menggunakan model pendidikan kolonioal yang dipercangih. Pendidikan di AS jauh dari model pendidikan kritis, sehingga kultur sosial dan politik masyarakatnya pun mudah untuk dijinakkan. Kalangan kelas terdidik justru berbondong-bondong mendukung rejim kelas berkuasa yang secara rutin menyerukan demokrasi, hak asasi manusia, dan mereka akan bungkam dan menutup mata jika kelas berkuasa AS melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan demokrasi.
Selain jalur pendidikan, kelas berkuasa AS juga sangat menyadari bahwa kontrol dan penguasaan atas sumber informasi, media, dan pengetahuan merupakan elemen kekuasaan yang sangat berpengaruh. Kini, hampir seluruh media massa besar dan tersohor di AS, seperti majalah Times  dan New York Times, telah berhasil dibuat patuh dan menetek pada kekuasan. Maka tidak susah untuk melahirkan rekayasa sejarah yang didukung oleh praktik-praktik manipulatif lainnya.
Tengoklah, betapa kultur politik dan media massa di AS cenderung membisu dan menutup mata atas kejatahan-kejahatan negaranya sendiri. Pembelaan media-media besar di AS atas kekejaman yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina dengan menyebut bahwa tindakan kekerasan negera Israel memang diperlukan untuk menghadapi aksi-aksi Palestina merupakan satu contoh yang disebut oleh Chomsky berasal dari sebuah doktrin yang memiliki pola “marah luar biasa terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan musuh sambil memuja-muja setinggi langit terhadap ketinggian prinsip yang dianut.”
Upaya kelas berkuasa AS dalam “menundukkan pikiran publik,” tentu saja kurang lengkap jika tidak ditopang kaum intelektual agar doktrin tentang kekuasaan kaum kapitalis itu bisa memperoleh legitimasi dan bahkan landasan konstiusional di dalam negeri.
Itulah tiang-tiang penyangga imperialisme AS yang dibongkar oleh Chomsky. Semua kekuatan ekstra-ekonomi tadi tiada lain digunakan untuk mengukuhkan dan mengawetkan kekuasaan kelas berkuasa AS. Sekarang tinggal bagaimana caranya kita merobohkan tiang-tiang itu, untuk kemudian menegakkan tiang-tiang baru dalam rangka mensejahterakan dunia.
Aspek Khilafiyah dalam Pembelajaran Fiqh

Aspek Khilafiyah dalam Pembelajaran Fiqh

M.Yusuf Amin Nugroho*)

Suatu ketika, Sultan Harun Ar-Rasyid meminta izin kepada Imam Malik untuk menggantungkan Kitab Al-Muwaththa’ di Ka’bah dan memaksa agar seluruh umat Islam mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: ”Jangan engkau lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah furu’(cabang), apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai negeri.”
Tanpa berpanjang-panjang menyusun kalimat sebenarnya dengan membaca kisah tersebut kita bisa memetik pelajaran sangat berharga berkaitan dengan masalah
-->khilafiyah. Namun demikian ada baiknya kita mengetahui apa itu -->khilafiyah, apa saja sebab-sebab yang melatarbelakanginya, serta bagaimana seharusnya baiknya kita menyikapinya.

Khilafiyah atau Ikhtilaf dalam bahasa kita sering diartikan dengan “perbedaan pendapat, pandangan, atau sikap”. Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama.

Kita bukan tidak tahu sabda Rasulullah, bahwa “perbedaan adalah rahmat,” satu hal yang sangat niscaya. Lebih-lebih dalam masalah fiqih, yang mana dasar utamanya al-Qur’an dan Sunnah yang kedunya membutuhkan penafsiran, sedangkan penafsiran menggunakan metode, sedangkan metode pengambilan hukum (istimbath) masing-masing fuqaha berlainan satu dengan yang lainnya. Belum lagi kalau kita berbicara masalah kondisi dan situasi (sosial, budaya, politik) di mana hukum Islam tersebut ditetapkan, ayat-ayat al-Qur’an dan hadist apa yang dijadikan dasar. Sungguh kian terang keyakinan kita akan niscayanya sebuah perbedaan. Karena itu, fiqih sebenarnya tidak kaku dan saklek, melainkan lentur, sangat fleksibel.

Perbedaan pendapat di antara kalangan umat Islam bukan hanya terdapat dalam masalah fiqih saja, tetapi khilafiyah juga melingkupi berbagai macam hal, seperti siyasah (politik), dakwah, dan lain sebagainya. Sebenarnya, ketidaksepakatan yang terjadi di kalangan umat Islam terkadang hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara halal dan haram.

Khilafiyah dalam perkara apa saja, termasuk dalam masalah-masalah pandangan agama adalah sangat wajar. Sesuatu yang mustahil dan akan menjadi suatu keajaiban apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, madzhab, dan sikap dalam masalah ushul, furu’, dan siyasah. Hanya sebuah mimpi jika semua umat Islam di seluruh penjuru dunia dapat bersatu padu dalam satu istimbat hukum Islam. Akan sangat sulit, dan mustahil bisa tercapai cita-cita orang yang ingin menyatukan umat Islam dalam masalah-masalah tersebut. Sebuah cita-cita yang akan mendapat banyak benturan, dan sia-sia belaka.
Bahkan Dr. Yusuf Al Qaradhawy mengatakan: ikhtilaf pun terjadi di kalangan Nabi dan Malaikat. Adalah Nabi Musa As. berikhtilaf dengan Nabi Harun As. hingga Nabi Musa As. menarik jenggot Nabi Harun As. ketika mendapatkan Bani Israil menyembah anak lembu buatan Samiry.

Begitu pula ikhtilaf Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab terhadap seorang pemuda yang sedang bertaubat yang meninggal dalam perjalanan menuju ke negeri yang baik, apakah diputuskan berdasarkan amalan zhahirnya, ataukah berdasarkan niatnya.


Pentingnya Mempelajari Khilafiyah

Di sadari atau tidak, khilafiyah seringkali memicu perpecahan di kalangan umat Islam. Sayangnya, pendidikan fiqh di sekolah-sekolah seringkali hanya terpaku pada satu pendapat atau madzhab. Siswa didik kadang hanya dijejali dengan pendapat-pendapat dari madzab yang dianuk oleh sang Guru. Aspek khilahfiyah dikesampingkan. Pendapat lain yang tidak sesuai dengan madzhab sang guru tidak dianggap ada dan karenanya tidak pernah disampaikan kepada siswa. Akibatnya, pembelajaran fiqh di sekolah cenderung bersifat doktriner, pragmatis, tanpa pengayaan pada aspek perbedaan. Maka, tak heran wawasan siswa didik menjadi sempit, kaku, dan pada akhirnya sulit untuk menghargai pendapat orang lain.
Padahal jelas khilafiyah adalah kekayaan syari'at Islam. Banyak pendapat dalam syri'at Islam merupakan mutiara-mutiara yang tidak ternilai harganya. Karena ia akan menjadikan ilmu fiqh itu terus tumbuh dan berkembang, karena setiap pendapat yang diputuskan berdasarkan kepada dalil-dalil dan qa'idah-qa'idah yang telah diambil istinbathnya, lalu diijtihadkan, ditimbang-timbang kekuatan dalilnya, ditarjihkan kemudian diterapkan pada masalah-masalah yang serupa dengannya (qiyas).

Ummat Islam memang harus bersatu itu iya, tetapi persatuan tersebut bukanlah dengan cara menyatukan pendapat dalam masalah ushul, furu’, atau pun siyasah. Melainkan dengan berusaha sekuat mungkin agar ummat Islam bisa saling menghargai perbedaan di antara kalangan setauhid, agar ummat Islam bersatu padu dalam satu cita-cita yang yakni menegakkan dan menyebarluaskan agama Allah di muka bumi ini.
Bagaimanapun perbedaan adalah suatu kepastian, sunnatullah, dan manusia tidak mungkin untuk merubahnya. Dan ikhtilaf dapat dibenarkan selama tidak menyangkut masalah aqidah yang prinsip, melainkan dalam masalah furu’ dan dalam masalah i’tiqod yang tidak prinsip, seperti masalah qunut shubuh, tahlil, (me)rokok, dan lain sebagainya.

Rasulullah SAW telah bersabda: ”Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlah kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu – bukan karena lupa – maka janganlah kamu mencari (kesulitan) di dalamnya.” (HR Imam Daruquthni)

Perlu ditegaskan, bahwa ikhtilaf berbeda dengan Iftiraq. Iftiraq menurut bahasa berasal dari kata mufaraqah yang artinya perpecahan dan perpisahan. Sedangkan menurut istilah para ulama' iftiraq adalah keluar dari Sunnah dan Jama'ah pada salah satu ushul (pokok) dari perkara-perkara ushul yang mendasar, baik dalam aqidah ataupun amaliyah.

Salim bin Shalih Al-Marfadi sangat menyayangkan, ada sebagian thalabatul ilmi (penuntut ilmu syar'i) yang menghukum pada beberapa masalah ikhtilaf yang diperbolehkan sebagai iftiraq. Ini adalah kesalahan yang fatal. Penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka tentang prinsip-prinsip iftiraq, kapan dan bagaimana bisa terjadi iftiraq. Oleh karena itu, seorang pendidik mestilah mengetahui tentang masalah yang diperbolehkan ikhtilaf dan masalah yang tidak diperbolehkan ikhtilaf.

Rukun di Tengah Fanatisme

Belajar fiqh kurang sempurna jika hanya mempelajari satu pendapat ulama atau madzhab saja. Fanatisme terhadap suatu pendapat atau golongan tertentu boleh-boleh saja selama ia juga menghargai pendapat yang lain.

Islam memang sangat membenci perpecahan dan perselisihan, tetapi juga sangat menghargai perbedaan. Rasulullah bahkan pernah memerintahkan kepada Shahabat yang sedang membaca Al-Qur’an agar menghentikan bacaaanya apabila bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.

Harus diakui bahwa penyebab utama dari perpecahan adalah perbedaan, termasuk perbedaan pandangan dalam masalah fiqh. Maka, selama kita masih tidak bisa menghargai pendapat orang lain, maka selama itu pula perbedaan akan menjadi suatu masalah yang mengancam persatuan ummat.

Di titik inilah pendidikan fiqh memiliki peran utama dalam membentuk sikap dan mental sebuah bangsa. Karena, bukankah mental dan sikap yang positif sangat ditentukan oleh bagaimana pendidikan dijalankan? Dan untuk membentuk sikap tersebut, mula-mula yang mesti dijalankan adalah mengenalkan perbedaan itu sendiri.

Bukankah para ulama sudah menyatakan: “Barang siapa tidak mengetahui ikhtilaf ulama, maka dia belum bisa disebut ulama.” Bahkan ada yang lebih tajam menyatakan, “barang siapa tidak mengetahui ikhtilaf para fuqoha’, maka hidungnya belum pernah mencium bau fiqih.”
Pesan Singkat

Pesan Singkat

-->
Puisi Jusuf AN
           
nak, kau masih tubuh
belum manusia penuh
manusia punya rencana
punya impian dan tujuan

kibarkan impianmu di tempat jauh
yang masih sanggup anganmu sentuh
ingatlah ia tiap bangun dan sebelum tidur
gapailah ia, anakku
sebelum tubuhmu uzur

tetapi ingat, nak
genggam dunia di tangan saja
hati bukan tempatnya
Komputer Pertamaku

Komputer Pertamaku



Jusuf AN

Membuka windows ekplorer, disc D, folder ‘1)karyaku’  , aku cukup terpana. Di sana tersimpan ratusan file yang telah aku tulis sejak aku masih semester III. Ratusan lebih puisi, seratusan cerpen dan puluhan yang belum kuselesaikan, puluhan resensi buku, beberapa esai buku dan opini, sebuah cerbung, satu novel remaja, tiga novel dewasa, beberapa cerita remaja dan cerita anak-anak, tiga atau lima naskah buku agama. Subhanallah...

 Waktu itu, tahun 2004, aku masih semester III di IAIN Sunan Kalijaga, ayah membelikanku komputer pentium III dengan HD  20 GB 128 RAM lengkap dengan printer cannon model ip1200, harganya sekitar Rp.2.000.000. Aku tinggal di sebuah kamar kos di gang sempit, wisma Liberty namanya. Ada enam kamar di sana, yang mana lima kamar diisi oleh aku dan kawan-kawan seangkatan dan satu komunitas denganku, Sanggar Jepit Jogjakarta. Sebelumnya aku telah menulis beberapa puisi untuk dibacakan dan kadang-kadang didiskusikan pada malam Rabu, malam yang konon Malaikat banyak turun ke bumi, malam di mana kaum Sanggar Jepit berkumpul di tangga demokrasi, atau di lorong-lorong kampus IAIN Sunankalijaga sebelum direnovasi. Aku yang juga bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa Advokasia dan telah pernah satu kali mengikuti pelatihan jurnalistik, kemudian juga tertarik untuk menulis opini, dan cerpen, lalu mengirimkannya ke media.

Menulis, mengirim, melihat koran di perpus kampus, dan tak pernah melihat tulisanku dimuat, aku kok ya justru kian penasaran. Barulah pada pertengahan 2005, tulisanku dimuat di kolom prokon aktivis Jawa Pos. Aku masih sangat ingat, waktu itu, aku hendak mengikuti kuliah dan seorang kawan bernama Eka Pemana mengaku melihat namaku di koran. Aku segera turun dari lantai dua, menuju perpus, dan lama tidak memejamkan mata melihat tulisanku sendiri terpampang di koran dinding.
Terimakasih, Ayah. Komputer yang engkau belikan sangat berharga. Bukan hanya skripsi dan makalah telah aku tulis dengan komputer itu, sebagaimana awal mula tujuanmu membelikan barang itu. Ia telah menjadi temanku bermalam-malam, berbulan-bulan, sampai lima tahun lebih, telah memancing dan memacu semangatku untuk terus berkarya. Tapi, maaf, Ayah, sejak kecil aku memang ganjah, tak bisa merapat barang-barang pemberianmu. Beberpaa kali kau membelian aku jam tangan dan aku selalu menghilangkan. Dan kini komputer itu error, minta ganti mainboard, teronggok di mushala kecil di rumah kontrakanku, sebagai alas sarung dan sajadah, sementara HD-nya yang merk SATA ada di laci mejaku di sekolahan, error pula. Untunglah semua datanya sudah aku pindahkan ke laptop, dan dua keping CD. Aku berjanji, tak akan memberikan komputer itu ke siapa pun, meski di sebelah rumah kontrakanku ada Laskar Mandiri, tempat penampungan barang-barang rongsok.

Guru,Tata Kembali Niatmu

Guru,Tata Kembali Niatmu


Oleh : Jusuf AN


Setelah Undang Undang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan dan disosialisakan, banyak kalangan berlomba-lomba ingin menjadi guru. Maka kemudian, banyak perguruan tinggi ramai-ramai membuka program Akta IV, sebagai jalan pintas mendapatkan sertifikat mengajar bagi lulusan non-pendidikan. Satu sisi program itu dibuka dengan tujuan untuk membantu lulusan non-pendidikan yang punya kemauan menjadi guru untuk bisa mendapatkan sertifikat mengajar, tapi di sisi lain program itu terkadang tidak memberikan bekal yang maksimal untuk menciptakan guru-guru yang profesional.

Guru, kita tahu, secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta, "gur-u," yang berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan, dan orang yang sangat dihormati karena kewaskitaaannya. Pengertian itu sudah kita ketahui jauh sebelum pemerintah menetapkan UU no. 14/2005 tentang Guru dan Dosen itu. UUGD memang menjadi tantangan sekaligus harapan bagi para guru. Harapan itu muncul karena UU tersebut secara jelas dan tegas menjanjikan terwujudnya hak-hak guru secara optimal serta mewajibkan guru untuk tampil secara profesional dengan sejumlah persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi untuk mengukuhkan keprofesionalannya.

Kita ingat, sebelum UUGD disahkan, guru pernah di posisikan sebagai "manusia suci", semacam resi yang pintar dan tulus berbudi. Dan mungkin inilah yang menjadikan penyebab kenapa kita seperti tidak serius memikirkan kesejahteraan para guru, karena memang pernah tertanam kesadaran bahwa guru itu hidup sederhana dan ikhlas berjuang. Tetapi sekarang, kita sepakat, sudah sepantasnya guru mendapatkan kesejahteraan, hidup yang layak, sehingga (mungkin) dengan kesejahteraan yang diperolehnya seorang guru menjadi lebih serius dalam menjalankan tugasnya.

Tetapi sesungguhnya, berdasarkan pengertian "guru" di atas, secara otomatis seseorang yang disebut guru mesti sudah memegang sejumlah syarat serta kriteria keprofesionalan sebagaimana yang disebutkan dalam UUGD, yakni kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik, profesional. Syarat itu sudah mesti ada, meskipun kita belum mempunyai lembaran kompetensi yang resmi. Dengan logika sederhana itu, kompetensi atau kualifikasi keprofesioanalan guru sudah ada bersamaan dengan disandangnya nama guru pada seseorang. Kualifikasi tersebut memang syarat yang berat. Dan memang demikian adanya, menjadi guru bukanlah tugas yang ringan tentunya.

Di sahkannya UUGD pada tanggal 6 Desember 2005 ternyata juga telah menarik minat banyak kalangan. Mereka tergiur dan berkeinginan pula menjadi guru. Hanya sayangnya keinginan itu timbul lebih banyak karena diakibatkan oleh iming-iming bermacam tunjangan, bukan karena ingin menjadi pendidik yang baik.
Pada posisi demikian sudah sepatutnya kita kembali menengok ke belakang, di mana peran para guru begitu besar dalam meraih cita-cita kemerekaan negeri ini. Soekarno, misalnya, semasa ditahan di Bengkulu, sempat mengajari anak-anak di sana sejumlah mata pelajaran, dari berhitung sampai bahasa Indonesia. Jenderal Soedirman selama kurang lebih lima tahun menjadi kepala sekolah di Sekolah Dasar Muhammadiyah di Cilacap sebelum bergabung dengan Peta. Nasution juga menjadi guru di Bengkulu. Begitu pun Tan Malaka yang pernah menjadi Kepala Sekolah. Dan masih panjang lagi jika kita deretkan nama-nama lain di sini. Ki Hajar Dewantara, Bung Hatta, dan masih banyak lagi. Mereka semua menjadi guru tak lepas dari sebuah niat yang suci dan tulus, yakni mengabdi pada cita-cita kemerdekaan Indonesia. Adakah yang seperti mereka sekarang? Anda sendiri yang bisa menjawab.

Niat bukanlah sesuatu yang statis. Niat 'baik' yang telah kita tamankan terkadang di tengah jalan niat itu memudar, tercemar oleh banyak hal, yang kadang fana dan menipu. Karenanya kita mesti rajin-rajin menata kembali sebuah niat. Kita tak mengenal kata terlambat untuk memperbaiki sebuah niat. Dan siapa pun yang berkeinginan menjadi guru mesti berpikir seribu kali dan menata niat yang suci. Guru bukanlah sebuah pekerjaan yang main-main. Guru memiliki peran yang besar terhadap maju mundurnya negeri ini.
Kendala Pemebelajaran Menggunakan Media Internet

Kendala Pemebelajaran Menggunakan Media Internet



M.Yusuf Amin N

Ditambahkannya mata pelajaran Teknologi Informatika (TIK) sebagai mata pelajaran wajib adalah satu titik cahaya, meskipun sebenarnya agak terlambat (sewaktu saya esde, kemudian MTs, dan lulus MAN tahun 2002 belum ada materi TIK). Penguasaan ilmu di bidang TIK memang sangat penting guna membekali para siswa di era digital sekarang. Namun sayangnya, masih banyak sekolahan yang minim fasilitas sehingga proses pembelajaran pun jadi terhambat. Padahal materi-materi dalam mapel TIK lebih banyak membutuhkan praktek dari pada teori. Bahkan, kasarannya, tidak usah teori pun tak apa, orang bisa bisa komputer kalau ia memilikinya sendiri, menggunakannya setiap hari dengan sedikit panduan dari orang-orang yang sudah paham.
Sebagai guru, tentu saya tertantang untuk mengembangkan proses pembelajaran, tidak hanya dengan mengajak siswa berdiskusi, menonton film dokumenter, tetapi juga dengan memanfaatkan media internet. Tapi begitulah, setiap uji coba, pasti menemukan kendala...
Suatu ketika, setelah melakukan ulangan harian (UH) dan ada beberapa siswa yang nilainya tidak tuntas, saya menyuruh mereka untuk remidi. Jika biasanya remidi dilakukan dengan kembali mengerjakan soal dengan Standar Kompensi yang sama, maka kali itu saya menyuruh siswa untuk membuka alamat blog yang saya buat. “Silahkan kalian buka www.tintaguru.com. Ada dua soal di situ. Satu soal kamu jawab dengan langsung menulisnya di kolom komentar, dan satu jawaban lagi kamu tulis di kertas,” terang saya. Soal tersebut bisa ditemui di sini.
Para siswa saling pandang. Lalu ramai. Beberapa yang merasa paham, memberi tahu yang lain.
Apa yang terjadi kemudian? Tak ada seorang pun siswa yang menuliskan jawaban di kolom komentar postingan remidi yang saya buat, tapi mereka mengumpulkan jawabannya dengan kertas.  Saya saya tanyakan langsung, para siswa menjawab “tidak tahu caranya.” Tidak tahu? Bukankah mereka sudah kelas VIII? Sudah sampai di manakah materi TIK yang mereka dapatkan? Dan bukankah LAB Komputer di sekolahan kami juga telah tersambung dengan internet? Sekian pertanyaan muncul dalam benak saya.
Lalu saya menduga-duga kemungkinan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Mungkin mereka memang belum paham. Mereka sudah diajari bab tentang internet, situs, website, blog, email, chatting, dan seterusnya, tetapi karena mereka hanya memegang komputer seminggu sekali yaitu di LAB sekolahan, maka teori-teori yang telah mereka dapatkan pun menguap begitu saja. Pikir saya, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang tak memiliki LAB komputer maupun internet? Tentu akan lebih parah. Para siswa hanya akan mengenal rumus-rumus microsoft exel, cara menggunakan email, dan lain-lain sekadar teori untuk dihafal dan dilupakan.
Belajar dari pengalaman tersebut, saya tak patah semangat. Memanfaatkan media online sebagai media pembelajaran, selain akan mengenalkan pada siswa bersentuhan langsung dengan high tecnology itu, secara tidak sadar sebenarnya juga memberitahukan kepada cara memanfaatkan media internet dengan tepat, hingga pada akhirnya mereka jauh dari pikiran untuk mengakses situs-situs yang sesat atau sekadar bermain game online, Fesbuk atau twitter.
Perempuan Di Jendela

Perempuan Di Jendela



Cerpen Jusuf AN

Kita pernah menyimpan mimpi, atau lebih tepatnya angan-angan kosong tentang rumah itu. Rumah yang sekarang kau huni itu. Dulu, ketika kau masih sering bertandang ke kamar kos yang terletak di lantai dua yang sampai sekarang masih aku tempati ini, kerap kau membuka jendela, lalu menatap rumah itu lama-lama. Kau mengetahui kalau rumah bergenting biru itu tak ada penghuninya, menunggu ada yang mau menyewa. Dan kau mengungkapkan keinginanmu: ingin menikah denganku lalu tinggal di rumah itu. Rumah mungil sederhana yang dikelilingi sawah, “Berdua tinggal di sana, pastilah nyaman dan indah,” katamu.