Apa Kabar Penerbit Alternatif

Apa Kabar Penerbit Alternatif

Jusuf AN
(Artikel sederhana ini memenangi lomba esai Buletin Pawon, Solo, 2008)

Enam tahun lalu, tepatnya pada 6 Oktober 2001 dalam momentum Pameran Buku yang diselenggarakan IKAPI di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta sekelompok pegiat penerbit mendeklarasikan berdirinya Asisoasi Penerbit Alternatif (APA). Amien Wangsitalaja (Matabaca, 2003) yang merupakan deklataror APA memberikan 4 karakteristik penerbit alternatif, yakni: (1) berbekalkan semangat idealistik; (2) bukan sebagai sebuah usaha dagang yang murni; (3) bermodal finansial yang pas-pasan; dan, (4) memiliki semangat mendobrak mainstream wacana yang status quo.

Istilah “penerbit alternatif” sendiri baru mulai akrab pada pengujung dekade 1990-an di mana orde baru (Orba) tumbang dan kemudian bermunculan penerbit-penerbit kecil, khususnya di Jakarta dan Yogyakarta. Padahal sebenarnya, sejak akhir abad ke-19 penerbit alternatif sudah dimulai oleh warga keturunan Tionghoa dan peranakan Indo-Eropa. Mereka menerbitkan sekitar 3000-an judul buku, pamflet serta terbitan lainnya pasca-kemerdekaan. Pada waktu itu usaha penerbitan alternatif digagas guna melawan penjajah Belanda yang represif terhadap langkah-langkah perjuangan, selain juga menentang peraturan pemerintah tentang sensor tahun 1906. Sebagaimana diungkap Donny Anggoro (2004), penerbit alternatif pada masa itu juga berkeinginan melawan penerbit sebelumnya yang sudah mapan, di antaranya Balai Pustaka, yang dianggap telah berpihak pada kepentingan kekuasaan penjajahan Belanda. Dari sinilah kemudian muncul orang-orang pribumi (baca: bumiputra) yang kemudian tumbuh menjadi jurnalis sekaligus penerbit, di antaranya RM Tirtoadhisoerjo, Semaoen, Tjipto Mangoenkoesomo, Tan Malaka, Alimin. Sementara dari golongan sejarah berbalutkan karya fiksi lahir Marco Kartodikromo (1890-1935), seorang jurnalis cum aktivis revolusioner, dan juga Pramoedya Ananta Toer.

Sampai di sini, kita bisa menandai karakteristik penerbit alternatif yang paling menonjol baik pada masa penjajahan atau pada penujung 1990-an, yakni adanya semangat mendobrak mainstream wacana dengan produksi buku-buku dengan tema-tema yang berpeluang minim untuk diterbitkan karena kondisi politik yang tidak kondusif. Kini, pasca runtuhnya kekuasaan monolitik Orba, yang menandai dibukanya keran demokrasi dan kebebasan pers, penerbit alternatif seolah kehilangan gema. Sukar kita menemukan, penerbit non-commercial, demonstrating that 'a basic concern for ideas, and not the concern for profit. Maka, kita patut bertanya, apa kabar, penerbit alternatif?

Sukar, bukan berarti tidak ada. Kalaupun sebagian besar penerbit alternatif, bahkan yang dulu begitu bangga menyebut dirinya penerbit idealis, sudah tak lagi beroprasi, atau telah berpindah jalur toh kita tak bisa menyalahkan. Yang terang, kita patut memberikan apresiasi kepada penerbit alternatif yang sampai sekarang masih bertahan (kalau memang masih ada), dan yang belakangan ini tumbuh. Sebab kita tahu, menerbitkan dan merawat penerbitan alternatif supaya tetap eksist bukan pekerjaan yang remeh.

Saya sendiri tak tahu apakah APA yang dideklarasikan enam tahun lalu itu masih berdiri atau tidak. Yang jelas, saya tak penah lagi mendengar dengungnya. Tetapi beberapa penerbit alternatif kecil yang baru-baru ini muncul, cukup membuat saya terharu bangga. Hanya bermodal semangat idealistik dan uang pas-pasan beberapa pegiat sastra-budaya di berbagai kota turut ambil bagian dalam memajukan negeri ini. Ambillah contoh beberapa buletin yang terbit berkala, seperti Rajakadal (Bandung), Pawon (Surakarta), Jurnal Sundih (Bali), Ben! (Yogyakarta). Para penggiat penerbit alternatif tersebut rela lembur, muter-muter cari sponsor dan iklan, merogoh kantong pribadi, dan bergelirya memasarkannya sendiri sampai ke pelosok-pelosok desa. Bahkan, Jurnal Cerpen Indonesia (Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia) yang kelihatannya mentereng itu konon diterbitkan dari uang hasil patungan para pengurusnya.

Loncatan Budaya

Sejak Ts’ai Lun menemukan kertas dan menyusul 4 abad kemudian Gutenberg menemukan mesin cetak kemajuan dunia semakin pesat. Belum matang negeri ini dengan budaya tulis-baca, sudah menyusul budaya elektronik. Kita kadang kagum dan gemetar dengan kemajuan dunia, khusunya dalam bidang teknologi informasi. Televisi dan internet sudah tak lagi asing di negeri yang masyarakatnya masih lebih senang bicara dan mendengar ketimabang menulis dan membaca ini. Globalisasi dan loncatan budaya yang terjadi seolah telah membuat masyarakat kita mengalami gegar budaya.

Joko Sumantri, Koordinator buletin Pawon, yang punya cita-cita menumbuhkan “Kota-kota Sastra” pernah menuturkan bahwa, buku-buku mahal diyakini telah mengulitkan akses kelompok ekonomi lemah guna mengakrabi karya sastra (baca: buku). Dengan menerbitkan media altenatif yang murah ia berharap akan bisa meningkatkan gairah membaca masyarakat. Karena itu, menurut saya, salah besar kalau menganggap penerbitan media alternatif sudah tak lagi diperlukan setelah keran kebebasan dibuka.

Jika penerbit alternatif pada masa penjajahan Belanda dan pada masa Orba bertujuan mendobrak mainstream wacana yang status quo, sekarang penerbit alternatif selain mewujudkan buku-buku murah, bahkan gratis, juga diarahkan untuk mengimbangi arus pasar. Sebab yang dijadikan alasan utama menerbitkan buku oleh para penerbit non alternatif kini bukan lagi karena buku itu bermutu, melainkan karena keinginan pasar. Dengan demikian, semakin banyaknya penerbit alternatif di negeri ini akan semakin baik. Apakah Anda mau menerbitkan media alternatif juga?
Bagaimana Merawat dan Memancing Mood?

Bagaimana Merawat dan Memancing Mood?

M.Yusuf Amin N

Semua penulis barangkali pernah mengalami saat-saat mood hilang. Kadang begitu banyak ide datang meminta digarap, tetapi gairah untuk menulis tak ada, lenyap entah ke mana. Menulis menjadi susah, hati menjadi gelisah, pikiran buntu, dan ini merupakan hal yang paling menyedihkan bagi seorang penulis. Sayangnya mood bukan berupa barang yang dikita beli.

Selalu Saja, Peraturan Dilahirkan Bukan untuk Ditaati Tetapi untuk Disiasati

Selalu Saja, Peraturan Dilahirkan Bukan untuk Ditaati Tetapi untuk Disiasati


Perihal Kriteria Kelulusan Siswa 2010/2011
M.Yusuf Amin Nugroho
Judul tulisan tersebut adalah kesimpulan dari deretan kalimat dalam artikel ini.
UN sudah selesai. Guru siswa, orangtua, sudah cukup lega, meski belum sepenuhnya. Sebab untuk SMP dan SD belum ada pengumuman kelusan, sampai artikel ini ditulis.  Tapi tenanglah, tetap optimislah bahwa semua akan baik-baik saja. Kalau pun tidak lulus, memang untuk tahun ini tidak ada lagi ujian susulan, tetapi masa depan tidak ditentukan oleh ijazah bukan.

Apa pun yang terjadi—di luar pro kontra UN dan kriteria kelulusan siswa tahun ini—adalah kenyataan yang harus diterima. Itulah yang terbaik, meskipun kadang-kadang TAKDIR itu hal tersebut tidak kita inginkan dan begitu kita benci. Maka, ketika kamu, anakmu, temanmu, atau orang-orang disekitarmu tidak lulus meskipun telah berdoa, mujahadah, sampai sungkeman dengan membasuh kaki ibu berjamaah (ini yang cukup konyol), itu bukan berarti kamu, dia, atau mereka itu tidak diperhatikan Tuhan. Sama sekali bukan. Bisa jadi aku, kamu, ia, dan mereka tidak lulus adalah karena kebesaran cinta Tuhan terhadapmu. Lho? Nah, kan! Dengarkan ini, “Doamu selalu dikabulkan, meski tidak sama persis dengan yang kamu mintakan.” Masa depan tetap misteri, kecuali bagi Penguasa langit dan bumi yang Maha Tinggi.
Meskipun kita tak memiliki daya dan upaya sedikitpun tanpa kehendak Tuhan, sebab-akibat atau hukum alam atau sunnatullah tetaplah patut diperhatikan. Dan berdasarkan hukum alam, agaknya untuk tahun ini akan terjadi peningkatan prosentase kelulusan di semua jenjang pendidikan ( SD, SLTP, SLTA). Kenapa? Karena kriteria kelulusan tahun ini tidak seketat tahun yang lalu. Semua orang sudah tahu, bahwa kelulusan tahun ini tidak hanya ditentukan oleh hasil UN, tetapi juga dipengaruhi oleh nilai raport dan Ujian Akhir Sekolah/Madrasah (UAS/UAM). So, lagi-lagi tariklah napas lebih dalam, semoga kamu, ia, dan mereka tidak termasuk kelompok orang-orang yang tidak lulus yang jumlahnya lebih sedikit dibanding yang lulus.
Lalu, bagaimana pula cara menghitungnya untuk menentukan lulus dan tidaknya? Cukup rumit memang, lebih-lebih bagi aku, kamu, dia. atau mereka yang kurang pintar matematika. Begini rumus dari BNSP: Ujian Nasional : 60% (X) dan 40 % Nilai Raport dan Ujian sekolah (Y). Rumusnya adalah sebagai berikut : 0.6X + 0.4Y. Ah, ah, macam mana pula tuh pake persen-persen segala. Misalkan begini:
Standard Nilai Kelulusan = 5.5, Nilai UN Matematika = 4, Nilai rata-rata gabungan Raport semester 3,4,5  + UAS =7 maka  = 0.6 x 4 + 0.4 x 7 = 2.4 + 2.8 = 5.2 TIDAK LULUS . Aduh! Semoga microsoft exel atau kalkulator atau aplikasi khusus untuk menghitung ini selalu fit menjalankan tugasnya, sehingga semua berjalan lancar!
Dengan kriteria kelulusan yang seperti itu, tahun ini terjadi peningkatan angka kelulusan pada jenjang SMA/MA. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) membeberkan (seturut Kompas, 16/5/2011) data: Dari seluruh 1.461.941 peserta UN SMA/MA, 1.450.498 atau 99.22 persen siswa lulus, sementara 11.443 atau 0.78 persen siswa lainnya dinyatakan tidak lulus. Pada tahun ajaran sebelumnya (2009-2010), dari 1.522.195 peserta yang mengikuti ujian nasional, yang lulus hanya 1.368.938 atau 89.93 persen, dan 153.257 atau sama dengan 10.07 persen lainnya tidak lulus.

Kalau kamu ingin tersenyum gembira lega dada lihatlah angka yang 99,22 persen itu. Wah nyaris seratus persen kan? Kalau kamu pengen hati-hati dan waspada lihatlah angka 11.443. Masya Allah, ternyata 0, 78 persen itu begitu banyak amat ya! Tetapi yang terang, tahun ini terjadi peningkatan sekitar 10 persen. Catat itu!
Eit, bagi kawan-kawan SMA/MA yang sudah lulus, jangan terlalu besar hati lebih-lebih membanggakan diri dululah. Karena semua peraturan tentang kriteria kelulusan itu belum tentu murni jerih usahamu sendiri. Bisa jadi anak-anak yang lulus itu cuma ngawur ngerjakan soal, bisa jadi ya ya, meski kemungkinan itu kecil. Kemungkinan yang agak besar dari itu adalah, mereka, para siswa mencontek atau mencontoh jawaban temannya yang sebenarnya tidak pintar tapi tergolong orang-orang yang beruntung. Kemungkinan lebih besar lagi, anak-anak yang lulus itu dibantu oleh Bapak/Ibu Guru/Kepala Sekolah/Kepala Dinas Pendidikan/Bupati.  Lho, lho! Jangan asal tuduh!
Maaf, saya tidak sedang menuduh, melainkan sedang berpikir kritis berdasarkan budaya dan sekian fenomena yang terjadi disekeliling kita. Begini logika saya:
1.       Semua Bapak/Ibu Guru/Kepala Sekolah menginginkan semua anak didiknya lulus, meski senakal dan sekurang apa pun nilainya.
2.       Angka kelulusan adalah martabat bagi semua sekolahan. Semakin banyak  siswa yang lulus maka citranya akan semakin baik, banyak orang tua akan mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut. Kepala sekolah akan disanjung-sanjung atasannya, dan lain-lain yang intinya penuh dengan senyum.
3.       Bupati bisa jadi akan memasang wajah cemberut jika angka kelulusan di daerah kekuasaannya rendah. Karena semua itu akan ditulis di koran-koran, diperbincangkan di meja-meja sidang. Juga karena keberhasilan pendidikan di suatu wilayah sering ditentukan berdasarkan anga kelulusan.  
Saya teringat dengan salah seorang sahabat yang pernah menulis mahalnya pendidikan di wonosobo tidak sebanding dengan rendahnya kualitasnya. Jika diukur dengan presentasi kelulusan UN Wonosobo mendapat ranking (kalau saya tidak salah dengar) 3 dari bawah. Ini tentu membuat elite pengusa kebakaran jenggot untuk kemudian menggenjot “kualitas itu”.  Kualitas di sini dalam artian prosentase kelulusan, meskipun sebenarnya prosentase kelulusan sama sekali bukanlah alat yang tepat untuk mengukur keberhasilan pendidikan. Lebih-lebih untuk tahun ini.

Rumus untuk menghitung kriteria kelulusan siswa di atas tadi itu memang tak bisa lagi diowah-owah, saklek, dan harga mati. UN+UAM/UAS=60%+40%. Untuk yang 60 persen itu, saya masih cukup bisa mempercayai kefalidan datanya. Ini didasarkan pada Soal UN yang terdiri dari 5 macam paket, pengawasan sirkulasi soal dan saat UN dilaksanakan yang bisa dikatakan ketat, serta komputer yang akurat dan tidak pernah berbohong saat mengoreksi LJK. Kalau pun masih ada siswa yang nyontek, mencontoh teman, sms-an, dapat bocoran, itu jumlahnya sangat kecil, berdasarkan pengabaran media. Tapi bagaimana dengan nilai UAS/UAM? Bagaimana dengan raport? Saya geleng-geleng kepala, tidak begitu yakin akan kemurniannya. Lho, kenapa? Ya berdasarkan 3 logika di atas.
Karena semua sekolah ingin 100 persen meluluskan siswanya. Karena Kepala Daerah tidak ingin kebakaran jenggot. Karena untuk terbuka kesempatan cukup lebar untuk mengakalinya.
Kita yang guru/bekerja di sekolah/instansi pendidikan pastilah sudah tahu, bahwa UAS/UAM, meskipun mengginakan LJK tetapi proses pelaksanaan dan pengoreksiannya dilakukan secara mandiri oleh sekolah yang bersangkutan. Sekali lagi saya katakan, “Saya tidak  sedang menuduh terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UAM/UAS itu.” Namun begitu, Kepala Daerah yang tidak ingin kebakaran jenggot bisa jadi akan melakukan apa pun supaya prosentase angka kelulusan di daerah kekuasaannya meningkat. Mungkin, ia akan mengumpulkan para ajudannya dari mulai camat, kepala dinas pendidikan, kepala kementerian agama, dan lain-lain. Mereka akan berembug agar bagaimana angka kelulusan meningkat, lalu ketemu jalan ini: rame-rame mencurangi nilai. Kemudian, setelah kesepakatan itu terjadi, lahirlah srategi. Semua kepala sekolah dikumpulkan di dinas pendidikan atau entahlah, mereka lalu diceramahi macam-macam, tentang hasil rapat dengan Bupati/Wali Kota, yang intinya adalah mewajibkan kepada setiap sekolah agar bagaimana caranya meningkatkan angka kelulusan, kalau perlu 100 persen. Kepala sekolah mengadakan breafing dengan semua anak buahnya, dengan dada yang sakit dan nurani yang terasayat ia mengumumkan kepada para korektor UAM/UAS untuk memanipulasi hasil. Meskipun itu agak repot karena harus menghapus arsiran dalam lingkaran-lingkaran kecil, mengganti dengan jawaban yang benar, tetapi karena itu sudah disabdakan sang Bupati/Kepala Daerah maka tetap saja dilakukan. Kelak, jika dilakukan pemeriksaan ulang oleh Pusat/Wilayah maka semuanya sudah beres, karena jawaban yang salah sudah dibenarkan. Tidak ada bukti terjadi kecurangan. Semua saksi tutup mulut rapat-rapat, hanya hati dan nuraninya saja yang barangkali menjerit-jerit.
Itu baru UAM/UAS. Belum lagi raport. Ah, selama masih bikinan manusia, penggantian raport baru pun akan diusahakan demi predikat, martabat, dan prestasi yang semu belaka.
Maka, kenaikan angka kelulusan SMA/MA tahun ini yang mencapai 10% itu bisa jadi hanya omong kosong, karena disebaliknya banyak keringat dan tangan-tangan yang gemetar telah memanipulasinya. Dan saya berani bertaruh, prosentase kelulusan SMP/MTs dan SD/MI tahun ini juga akan meningkat, barangkali lebih tinggi dibanding peningkatan kelulusan siswa jenjang SMA/MA.
Wahai, kuharap tidak ada yang marah, dongkol atau pun sedih melihat asumsi-asumsi tersebut. Barangkali itu semata-mata karena keliaran pikiran saya. Tetapi sungguh, sudah menjadi budaya masyarakat kita untuk “seolah-olah budiman dan taat aturan”, hingga lahirlah banyolan: PERATURAN BUKAN UNTUK DITAATI tetapi UNTUK DISIASATI. Aturan satu mobil bertiga di Jakarta membuka lapangan kerja baru, yakni orang-orang yang menyediakan jasa domplengan  untuk mobil-mobil pribadi yang disetir hanya satu/dua orang. Belum lagi beberapa UU/Kerpes/Peraturan RT yang memiliki makna ganda sehingga mudah diselengkan seuatu dengan kepentingan. Hakim, jaksa, pengacara, atau pun terdakwa. Perilah aturan kelulusan yang longgar itu, juga sangat rentan disiasati oleh aku, kamu, dia, atau pun mereka disebabkan kepentingan masing-masing.
SMS untuk Pak  Menteri Pendidikan Nasional
Pak  Nuh yang berbhakti kepada Ibu, kalau pun aturan kriteria kelulusan siswa tahun ini akan kembali diterapkan tahun nanti, saya berharap ke depan proses pengawalannya lebih diperketat lagi. Proses UAM/UAS itu khususnya, barangkali lebih aman kalau dilakukan pengawasan silang dan langsung dikoreksi komputer. Semoga pendidikan di negeri ini tambah maju, bukan sekadar angka-angkanya. Salam.
SEEMBER AIR MATA

SEEMBER AIR MATA

Oleh: M.Yusuf Amin N

Sebuah Naskah Dramamatisasi Puisi
Dibuat untuk pentas Perpisahan Kelas 9 t.a  2010/1011


Aktor

Siswa I                   : ..............................................................
Siswa II                : ................................................................
Siswa III              : .............................................................
Siswa IV              :.................................................................
Guru                     : ..................................................................


Di panggung sudah ada kelompok rebana. Juga sebuah kursi. Siswa I dan II masuk panggung lalu duduk di kursi tersebut diiringi musik pembuka.

Setelah musik berhenti:
Siswa I:
(Berdiri)
Katakan, apa yang lebih tepat selain kata perpisahan
Ketika kita mesti tidak bersama-sama lagi
Bangku-bangku itu akan kita tinggalkan
Jejak sepatu kita akan dihapuskan hujan
Kau mungkin akan terbang ke timur dan aku ke barat
Kita akan menghadapi awan-awan yang berlainan di bawah langit yang sama
Merenda nasib yang entah bagaimana

Siswa II:

Tidak!
Kita tidak akan pernah berpisah
Sebab jarak hanyalah ilusi bagi hati yang dirasuki cinta
Kita boleh berada di ruang beralianan
Kau mungkin meninggi terbang, menerobos pekat awan, menggapai bintang impian
Sementara aku memilih mengarungi laut, menyelam, menangkapi ikan-ikan cahaya
Kita boleh tidak bersama-sama dalam satu ruang
Tetapi kebersamaan yang telah kita jalin berabad-abad
akan tetap terjalin kuat.

Siswa I:
Kata siapa?
Kau tahu, foto, buku, juga coretan-coretan di buku agenda
lahir karena kita terlampau biasa melupakan apa saja
Mungkin kita pernah berfoto bersama atau entahlah
Mungkin kau pernah menulis tentang aku, puisi atau entahlah
Tapi dengarkan ini:
“Waktu akan menyeretmu, terus menyeretmu
Menjejalkan yang baru-baru.
Akan semakin banyak orang berfoto denganmu
Kenangan-kenangan akan terus tumbuh, gaduh di dadamu
Lalu satu-satu hilang, lepuh atau tergantikan.”

Oooo, betapa kita akan sangat mudah saling melupakan!

Siswa II:

Percayalah
Kenangan-kenangan tentang kita akan tetap hidup
Bukan disebabkan foto atau puisi
Tapi hati
Hati, camkan itu!
Sanggup menampung seribu, atau sejuta kenangan sekalipun
Maka, pajanglah wajahku, guratkan namaku, catatlah alamatku, di dinding hatimu
Biar jika nanti sewaktu-waktu kita bertemu
Akan lenyap segala rasa kaku

Siswa I:

Berkatalah lebih banyak lagi
Biar lebih banyak kau telan ludah sendiri

Siswa II:
Masa depan selalu misteri
Dan kepercayaan menentramkan hati

Siswa I:
Aku lebih percaya kepada Tuhan

Siswa II:
Tuhan bersama orang-orang yang merawat persuadaraan

Siswa I:
Kita?

Siswa II:
Percaya

Siswa I:
Tapi...

Siswa II:
Apa lagi

Siswa I:
Ah, kita akan berpisah

Siswa II:
Kebersamaan tidak sebatas dukuk di satu bangku.

Mereka berdua duduk di sebuah kursi. Suasana senyap sebentar.
Lalu muncul sebuah suara dari luar panggung.

Guru:
Anakku...

Siswa I dan II kaget, berdiri, menoleh ke kanan kiri, mencari-cari sumber suara itu.

Siswa I dan II
Guru... (beberapa kali)

Guru:

Semuanya akan baik-baik saja
Tinggal kita sendiri yang bagaimana

Siswa I:
Bagaimana?

Siswa II:
Masa depan?

Siswa I:
Ya, bagaimana dengan masa depan kami, Guru?

Siswa  II:
Tiga tahun kami bersamamu, Guru
Bagaimana nasib kami di kemudian hari?

Guru:

Kelak isi buku-buku
yang kau simpan di kepalamu
akan menjadi matahari
Di simpang-simpang yang kau temui
ia akan membantumu
tentukan jalan mana mesti dilalui

Siswa I:
Buku?

Siswa II:
Ya Tuhan, hanya berapa buku saja telah kami baca

Siswa II:
Sedikit sekali yang tersisa di kepala

Guru:
Kelak butir-butir keringat
yang terpelanting dari keningmu
yang membuncah dari tubuhmu
akan menjadi sejuk mata air
Darinya kau akan mandi
Sambil mengenang masa silam yang getir

Siswa II:
Kau dengar itu

Siswa I:
Itu suara guru

Siswa II:
Telah beribu kali kita mendengarnya

Siswa I:
Betapa selama ini kita lebih sering berangan-angan
Ketimbang bekerja

Guru:
Kelak bijih-bijih yang kau sebar
di halaman belakang rumahmu
akan tumbuh penuh buah
Kau pun terperangah
lalu mendendangkan kasidah
mengenang masa lalu yang susah

Siswa I dan II:
Duh Gusti ...

Siswa II:
Halaman bekalang? masa lalu?
Gusti Allah...
Telah banyak terhambur masa lalu kami untuk yang tak tentu
Apa yang akan kami panen
Sementara yang kita sebar cuma biji-biji kemalasan

Siswa I:
Buah macam apa yang akan dipetik
Dari seorang yang masa lalunya penuh senang-senang ini
Air mata
Air mata

Siswa II:
Air mata
Air mata


Guru:
Kelak doa-doa yang
kau kirimkan kepada Langit
akan kembali lagi padamu
Membantumu mengurai masalah sulit
dan di dalam kuburmu nanti
ia akan menjadi cahaya menerangi

Siswa I dan II kembali duduk di kursi, menunduk, menangis penuh isak, tersedu-sedu. Sesekali menyeka air mata dengan sapu tangan.

Guru:
Yang terpenting dari pertaubatan
Adalah usaha untuk tidak mengulang kesalahan

Dan karena jalan kalian masih panjang
Lekaslah cuci hati
Di depan, akan kalian temui jalan-jalan bercecabang
Bunuhlah rasa khawatir
Impian menunggu kalian ukir

Siswa I dan II masih menunduk. Lalu mengalun musik, shalawat simtuddurar
(Ya rabbi bil Musthafa...)
Selesai shalawat itu satu putaran, seseorang di belakang membacakan puisi, terjemahan dari shalawat tersebut:
Maulaaya Shalli wa sallim daa iman abadaa
‘alaa khabibika choiril cholqi kullihimi...

Ya Tuhanku, berilah Rahmat dan Salam untuk selama-lamanya
atas kekasihku yang terbaik dari seluruh makhluk yang ada

Huwal khabibul ladzi turjaa syafaa ‘atuhu
Likulli haulim minal ahwaali muqtakhimi...

Dialah Muhammad, kekasih yang selalu diharapkan syafaatnya
untuk setiap kerupekkan, untuk semua kesulitan yang datang

Ya Rabbi bil Musthofaa balligh maqosshidanaa
Waghfir lana maa madla yaa waasi’al karomi....

Ya Tuhanku, dengan washilah al-Musthafa, sampaikanlah maksud kami
Ampuni, ampuni, ampuni ya Dzat yag maha luas kemurahannya
Leburlah dosa-dosa kami yang telah lalu

setelah shalawat rampung, Siswa I dan II kembali menyeka air matanya dengan sapu tangan lalu mengambil ember di bahwa kursi, memerasnya. Lalu mereka pergi meninggalkan panggung.



Siswa III masuk panggung, membaca puisi dengan gaya monolog.

Siswa III:
Kenalkan, namaku Siswa
Usiaku, hemmm
Alamatku, hemmm
Tidak penting!
Yang terang aku kelas 8 sekarang

Orangtuaku membawaku ke sini, ke sekolahan ini
Untuk tahu itu ini
Supaya bisa membaca ini itu
Agar paham air api
Biar tidak seperti dia atau mereka
Berharap menjadi seperti si anu
Lalu aku disuruh begini dan begitu
Pokoknya banyak

Yah,  mungkin sebanyak harga minyak
Dan karena harga minyak terus melonjak
Harga kebutuhan pokok kian merangkak
Maka Bapak kian hari kian galak

Begini katanya:
“Nak, belajarlah yang serius
Makan dan tidur janganlah rakus
Kelak, tugasmu adalah membasmi tikus-tikus!”

Ibuku lain lagi
Menjelang subuh, aku sering mendengar ibu menangis
Cukup keras. Tapi katanya,
“dengan menangis hati menjadi lembut
Dan pada akhirnya lebih bisa memaknai hidup”

Ibuku memang aneh
Betapa tampak jelas gurat ketakutan di wajahnya
Ketika suatu kali ia melihat lipstik di dalam tasku
Ketika parfum aroma jasmin meruap dari tubuhku
Ketika memergokiku bersolek di muka cermin
Lalu begini katanya,
“Di luar rumah berkeliaran singa dan buaya
Ibu khawatir kau masuk ke dalam perangkap mereka.”

Ah, sudahlah
Itu semua tidak penting!
Tapi barangkali kau lupa
Kenalkan, namaku Siswa
Dua tahun sekolah di sini
Sedikit mengerti itu ini
Membaca beberapa ini itu
Masih jauh untuk menjadi seperti si anu
Dan aku tenang-tenang saja
Hahaha...

Tidak penting banget tho...!




Siswa IV naik ke pentas, dengan hidung mengendus-endus seperti mencium sesuatu

Siswa IV:
Air mata
air mata
Aku mencium bau air mata
Di mana?
(Sambil terus mengendus-endus)

Siswa III:
(Menyahut, sambil memandang Siswa IV)
Sinting!

 Siswa IV:
(menemukan seember air mata di dekat kursi)
Hei, aku menemukannya
Seember air mata
Wangi sekali...
(mencelupkan jari, menjilatnya)
Anyir
Wangi dan anyir
Kesenangan dan kesedihan menjadi satu
Hei, siapa telah menumpahkannya

Siswa III:
Bukan aku
Mungkin anak-anak cengeng itu
Atau siapa, entahlah
Tidak penting!
(kemudian mengambil bedak, bersolek)

Lalu terdengar suara dari luar panggung
Guru:
Anakku....

Siswa IV:
Guru?

Siswa III:
Tidak penting

Guru:
Memang tak penting kau tahu
Siapa telah menumpahkan air mata sebanyak itu

Siswa III:
Nah, benar kan. Apa kataku...

Siswa IV:
Katakan padaku, Guru
Mana lebih dulu ada
Tawa atau air mata

Kenapa air mata mesti dicipta
jika orang-orang hanya berburu tawa





Guru:
Kita cuma debu
Sedikit saja tahu sesuatu

Barangkali tawa dan air mata dicipta bersamaan
Keduanya kita butuhkan
Keduanya tak terpisahkan

Tawa dan air mata
Seperti juga bahagia dan derita
Derita itu niscaya
Bagi dada yang ingin bahagia

Siswa IV:
Aku ingin menangis, Guru

Guru:
Menangislah!
Dan jangan lupa
Sebab kita tak tahu batas usia
Maka, baiknya kita anggap diri sudah tua
Dengan itu, akan kita rasa benar degub jantung
Nikmat udara yang berembusan lewat hidung

Siswa III:
Aku ingin tertawa saja ah...

Siswa IV:
Kelak, jika sudah tiba masanya
Kau akan menangis juga
Lebih riuh dari tawamu itu

Siswa IV:
Oya?

Guru:
Ingatlah, Nak
Usia tak seperti matahari
jelas datang dan pergi
Kita pernah pagi, pernah menjadi bayi
Tapi kita tak tahu apakah telah senja
Hampir habis ini usia?

Siswa III:
Tapi begini, Guru...
Hemmm, maksudku...
Hemm, dan karena disebabkankan tetapi bukankah ini itu begini begitu....

Guru:
Kita terbiasa mengarang alasan
Mencoba mengelak dari kesalahan
Anakku
Kita tak tahu batas usia
Baiknya kita anggap diri sudah tua
Pandai-pandailah membaca peta
Waspadai tiap tanda
Mana jurang dan arah menuju Cahaya

Terdengar sirine tanda masuk kelas. Siswa IV segera keluar panggung sambil membawa seember air mata. Sementara Siswa III masih duduk bersolek.

Ending:
Musik+ Shalawat badar+Lir Iler+Puisi*

Lir iler lir iler tandure wus sumiler tak ijo royo-royo
 Tak sengguk temanten anyar
Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi
lunyu lunyu pengekno kanggo mbasuh dodot tiro kanggombasuh dodot tiro
dodot iro dodot tiro kumintir bedahing pinggir
dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore kanggo sebo mengko sore
mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane
yo suraho sura’hiyo

Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Senyampang masih terang benderang cahaya bulan yang isa menyembuhkan segala penyakit
Mumpung wilayah kita masih lebar masih luas masih jembar
Mumpung propinsi ini masih belum diinterfensi orang
Mumpung kita masih menjadi satu
Mumpung kita masih diberi napas
Mumpung kita masih diberi Allah kesempatan untuk kembali menata semua ini menjadi 
Iler iler tandure wus sumiler tak ijo royo-royo di mana-mana
Indonesia masih sangat kaya
Kita masih bisa membangun kembali negeri ini
Dengan memulai membangun diri sendiri

Allahummaghfirlana
Allahummaghrhfirlana ya ghaffar ya ghaffar
Allahummaftahlana abwabarrahmah
Allahummaftahlana abwaba barakah
Abwabanni’mah abwabal quwwah
Abwaball ‘afiyah
Wa abwabal khairat wa abwabal khairat wa abwabal khairat
Allahummaghfirlana ya ghaffar ya ghaffar ya ghaffar

Reff:
Shalatullah salamullah ‘ala thaha rasululillah
Shalatullah salamullah ‘ala yasin khabibillah
Tawassalna bibismillah wabil hadi rasulillah
Wakulliuja hidilillah biahlilbadriya Allah

Ilahissallimil ummah minal afatiwaniqmah
Wamin hammiwwamin ghummah
Biahlilbadri ya Allah

Kembali ke reff


____________________________
catatan: *) diadaptasi dari Emha Ainun Nadjib.