Abah Kiai Entah

Abah Kiai Entah


Cerpen Jusuf AN
(Pernah dimuat di Minggu Pagi)

SUDAH aku katakan pada Abah, meski Nina tak cantik tapi hatinya baik. Abah tetap tak setuju. "Abah tak ingin setelah kamu menikah masih plerak-plerok sama wong wedok," katanya sembari mengembalikan foto Nina padaku.
            "Abah senang punya menantu berhari busuk?" suaraku mengambang di antara puji-pujian yang menggema dari menara masjid samping rumahku.
            "Qalbu masih bisa dibersihkan, Frengky." Abah menepuk betisku. "Kau tidak malu dengan Robert, kalau bojomu seperti itu?"
            "Kenapa mesti malu? Frengky tresno Nina, Bah." 
            "Kalau kau ga' bisa cari yang lebih ayu, biar Abah yang carikan…" Abah beranjak dari duduknya setelah melihat jam dinding. Sebelum ia hilang di balik pintu aku mengejarnya.
            "Jangan! Jangan, Bah! Frengky bisa cari sendiri… ."
          
Perempuan Yang Ingin Gelengkan Kepala

Perempuan Yang Ingin Gelengkan Kepala


Cerpen: Jusuf AN
Bayang-bayang pohonan telah rebah ke timur, kian lama kian panjang. Bumi perlahan meremang. Ia menutup kios bunganya dan berjalan pulang. Serakan dedaun kelengkeng di halaman rumahnya memberi sambutan yang meriah. Sejenak ia menggerayangi halaman rumahnya lalu bergegas membuka pintu. Di ruang tengah ia mendapati Fajar, anak bungsunya, tertidur di sofa. Mainannya berserakan di mana-mana. Farid dan Fatih, kakak Fajar, tak nampak di rumah. Di meja makan, nasi dan lauk-pauk yang ia masak tadi pagi tak tersisa lagi. Menuju ruang belakang, ia mendapati setumpuk piring gelas kotor dan seabreg pakaian penuh lumpur. Ia hanya tersenyum. Meminum segelas air putih, duduk sebentar membelai Fajar, ia kemudian memulai mencuci gelas-piring.
Dadanya berdesir ketika teringat bahwa malam nanti Ghani akan datang meminta jawaban. Sebentar-sebentar ia terdiam dan meggeleng. Ragu. Bagaimana mungkin ia menolak lamaran Ghani, lelaki yang selama ini telah banyak membantunya? Betapa semua akan berantakkan jika ia menolak lamaran lelaki kaya bersitri dua itu? Ia ingin marah, ketika memikirkan hal itu. Tetapi ia sadar, marah tak akan menyelesaikan masalah. Ah, kenapa selama ini ia selalu menghindar untuk memikirkan itu dan membiarkan waktu berjalan. Tinggal beberapa jam lagi Ghani akan datang, ia mesti tentukan keputusan.
Warung, Kalung, Tenung

Warung, Kalung, Tenung


Cerpen Jusuf AN

Siapa pun bisa memulai usaha warung kelontong meski dengan modal sedikit. Sungguh gampang. Kerjanya cuma kulakan ke pasar, menunggu dan melayani pembeli, dan bisa membuka dan menutup warung sesuka hati. Cukup buka warungnya, layani pembeli dengan santun, tetap tersenyum meski dagangan diutang, maka usaha kita akan dapat bertahan lama. Ya, siapa pun bisa melakukannya. Tetapi di kampung kecil macam ini, ada saja yang tega membuka warung baru persis di sebelah warung yang telah sepuluh tahun lamanya berdiri. 
“Dasar tidak tahu malu! Harusnya mikir, kalau di sebelahnya sudah ada warung, kenapa harus buka warung juga?!” Istriku seketika menggerutu waktu melihat warung Mujib dibuka untuk pertama kalinya.
Ssstttt! Tembok rumah kita tipis, tidak enak kalau didengar orang lewat,” kataku dengan suara mendesis.
“Biarkan saja semua orang tahu kalau Mujib memang tidak tahu malu!”
“Sudahlah, sayang! Sabar! Rezeki ‘kan sudah diatur, jadi tak perlu kuatir. Di pasar, bukankah berderet-deret orang jualan pakaian, berderet orang jual buah, jual daging, jual bumbu, jual VCD, tetapi semuanya laku, dan tidak ada yang menggerutu,” kataku mencoba menenangkannya.
“Tapi di sini kampung, Mas. Bukan pasar. Apa begitu cara mencari rezeki di kampung?”
Perempuan Peramal

Perempuan Peramal


Cerpen Jusuf AN

Subuh hari. Sebelum aku dan Liana di arak menuju serambi masjid dengan diiring tabuh rebana membelah jalan desa. Di telinga kananku suaramu bergetar, menyuruhku membatalkan akad perkawinan yang sebentar lagi dilangsungkan. Kau bilang, Liana bukan jodohku. Sebab hakikat jodoh bukanlah akad perkawinan, melainkan kuatnya menjaga ikatan kasih sayang. Terangmu, perahu kami tak akan bertahan lama oleh amuk badai yang telah menghadang di depan.
Kau kira aku main-main dengan prosesi sakral ini, Melva? Kau sangka aku sekedar ingin menyenangkan orang tuaku dan tak berpikir panjang sebelum memutuskan. Sudah, Melva! Bahkan, aku telah menyediakan banyak penangkal, banyak cara agar perahu kami langgeng dan kekal.
Karena Kenangan Kembali Mekar

Karena Kenangan Kembali Mekar


Cerpen Jusuf AN

Matahari pagi menerobos kaca jendela, jatuh berpendaran di lantai keramik biru tua ketika Satria mengulang tanya untuk ketiga kalinya:
"Ma, kenapa Satria tidak mirip dengan Papa?"
Zie yang lama termangu akhirnya menjawab, "Kau kurang teliti, Satria. Lihatlah bola matamu, hitam kecoklatan seperti punya Papa. Hidungmu yang mancung itu, bukankah mirip dengan punya Mama?"
"Kalau rambut Satria? Kenapa pirang kecoklatan, tidak seperti punya Mama atau Papa."
Liana

Liana

Cerpen Jusuf AN

Di hari ulang tahun Liana kedua puluh empat, beberapa menit setelah aku memberinya sekuntum mawar dan senyuman, Liana mengatakan padaku bahwa dua belas tahun lalu dirinya pernah menikah. Senyum kulepas, secepat kilat mengurangi angka dua puluh empat dengan angka dua belas.
“Aku seorang janda, dan baiknya, kau pikirkan lagi rencanamu untuk menjadikanku istri.” Itulah kalimat terakhir yang ia ucapkan sebelum akhirnya pergi membiarkan sekuntum mawar dan secangkir cappuchino yang masih penuh, meninggalkanku dalam pikiran yang gaduh.