Pagi
tadi (27/10/11) tidak biasa. Saya meninggalkan rumah pukul 8.20 (siang
amat ye?) menuju ke sekolah di mana saya mengajar. Anehnya, saya tidak
belok kiri untuk masuk gerbang sekolah, melainkan lurus terus ke utara,
ke arah kota Wonosobo. Saya sadar bahwa hari ini adalah Kamis, di mana
lembar Freez Kompasiana menyelinap di koran Kompas. Entah kenapa saya
ingin sekali melihat lembaran itu karena sebelumnya saya belum pernah
tahu, padahal sudah terbit 14 edisi. Saya tidak berlangganan koran,
sesuatu yang menyedihkan. Sementara sekolahan hanya langganan Suara
Merdeka. Saya juga jarang sekali ke kota untuk beli koran kecuali koran
Minggu. Tetapi Kamis ini lain, saya ingin sekali beli Kompas. Saya ingin
melihat lembaran Freez.
Menjadi Editor, Berani?
Jusuf AN *)
Pada dasarnya semua pekerjaan itu mudah jika
kita menguasai ilmunya. Begitu pula menjadi editor. Tidak sulit kok menjadi
editor, tetapi juga bukan berarti bisa diremehkan. Kita cuma perlu belajar dan
belajar dan mencoba.
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu digaris
bawahi bahwa tulisan ini hanya membicarakan mengenai editor di dunia buku
(penerbitan), bukan editor audio-visual.
Editor sering pula disebut dengan penyunting.
Tugasnya adalah menyiapkan naskah siap cetak dengan memperlihatkan segi
sistematika penyajian, isi dan bahasa (ejaan, huruf, diksi, tanda baca, frasa,
istilah, kalimat, dan wacana)
Di dunia penerbitan, kita lebih sering mengenal
editor secara umum. Padahal tugas editor ternyata berjenjang-jenjang dan
bermacam-macam. Kualifikasi editor itu sendiri muncul akibat luasnya cakupan
kerja editor. Namun demikian, kualifikasi editor yang berjenjang-jenjang sukar
dijumpai di penerbitan kecil dan lebih sering diterapkan oleh penerbitan besar
dan mapan. Kenapa? Karena mengingat efisiensi biaya produksi. Penerbitan kecil
seringkali hanya mempekerjakan satu dua orang editor untuk menjalankan tugas
yang bermacam-macam.
Sugihastuti, seorang dosen mata kuliah
Penyuntingan, di Fakultas Ilmu Budaya UGM menulis: Kedudukan paling tinggi pada
bagian penyuntingan adalah chief editor. Seorang chief editor
bertugas mengontrol, mengelola dan mengeluarkan kebijakan strategis berkaitan
dengan proses editorial. Misalnya, pembuatan seri penerbitan, perencanaan dan
pelaksanaan, persetujuan terbit, penentuan arah tematik penerbitan dan
sebagainya.
Kualifikasi lain selain chief editor
adalah managing editor. Editor ini bertugas mengatur semua kegiatan
teknis editorial yang dijalankan para editor. Dalam perusahaan umum, biasanya
status dan peranan managing editor dapat disejajarkan dengan manajer.
Kualifikasi lain adalah copy editor yang bertanggung jawab memeriksa dan memperbaiki naskah hingga
memenuhi tingkat kelayakan umum. Right editor, yaitu staff editor yang bertanggung jawab mengurusi masalah-asalah
khusus seputar hak cipta dan konvensi-konvensi administratif seperti KDT
(Katalog Dalam Terbitan) dan ISBN (Internasional Standard Book Number). Dan
tidak tertinggal pula editor bahasa. Editor bahasa bertanggung jawab khusus
mengenai bahasa naskah. Dalam menyelesaikan tugasnya editor bahasa bekerja sama
dengan editor ahli menangani penyuntingan naskah sampai dapat ditentukan
layak tidaknya naskah itu terbit. Jadi, gawang terakhir dari layak tidaknya
sebuah buku terbit terletak di editor bahasa.
Tatkala membaca sebuah buku kita kadang
kesusahan memahami ejaan dan penggunaan istilah bahasa. Nah, itu terjadi antara
lain karena kurangnya ketelitian editor bahasa. Karena itu, selain mesti
menguasai kaidah tata bahasa, seorang editor bahasa harus akrab dengan
kamus karena sepanjang tugas ia tak mungkin lepas darinya. Tidak terbatas pada
kamus bahasa Indonesia,
tetapi juga kamus istilah, leksikon, ensiklopedia. Sebab kerja editor bahasa
akan sering berhadapan dengan kesinoniman, kehiponiman, kehomoniman, dan
kepolisemian yang banyak berkaitan dengan penggunaan kamus.
Menjadi editor tidak harus menjadi sarjana
bahasa dulu. Yang terpenting adalah menguasai ilmu bahasa. Selain juga harus
bersikap sabar, luwes, menguasai berbagai bidang, dan keterampilan menulis.
Menyunting merupakan kerja yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran yang luar
biasa. Orang yang terburu-buru dan selalu ingin segera merampungkan kerja tidak
layak menjadi editor, khususnya editor bahasa.
Sebagai pegangan mungkin kita perlu membaca
beberapa buku. Seperti, Buku Pintar Penyuntingan Naskah karya Panusuk
Eneste, Konsep dan Teknik Penyuntingan Buku karya Ikapi Jaya (1980), Editor Bahasa, karya Suhastini, dan
lain-lain.
Keprofesionalan editor tidak dapat dicapai tanpa
usaha. Semuanya mesti dialui dengan proses yang cukup panjang. Jika profesi
editor adalah profesi yang menantang bagi Anda, maka gelutilah secara mendalam.
Sesungguhnya, jasa yang diberikan sang editor sungguh besar dan mulia. Meski
kadang banyak orang sering melupakan pahlawan di balik sebuah buku bernama
editor.
Aku, Paman, dan Firasat Kematian
Cerpen Jusuf AN
1.
“Jantung. Kamu harus cepat pulang, Anjar!” Cara Ibu menyuruhku
pulang begitu tegas. Menghentak. Padahal kalaupun ibu mengucapkannya dengan lembut
aku pasti akan nurut. Aku tak pernah lagi membantah Ibu, tepatnya sejak Masdar,
anakku yang pertama lahir. Kalaupun kemudian aku pulang naik bis, yang artinya
memakan waktu 5 hari untuk sampai di tujuan, itu disebabkan keuanganku yang
sempit.
Di atas bis itulah kembali kuterima telepon dari Ibu yang
mengabarkan Paman telah menghembuskan napas terakhirnya. Malam merangkak menuju
pagi sementara bis yang kutumpangi melaju begitu kencang menerobos kegelapan.
Hanya aku saja, dari sekitar empat puluh penumpang, yang tak memejamkan mata,
bahkan sejak bus berangkat empat hari silam.
Bayangan tenang Paman mengingatkanku pada banyak hal. Sudah sejak sebulan silam, sebelum Ibu menyuruhku
pulang, aku selalu teringat Paman. Terutama, pada kalimat yang dulu Paman
ucapkan saat aku pamitan pergi ke Kalimantan: “Rumah boleh berjauhan, tapi hati
kita tak berjarak. Ketika kau meninggatku, sangat mungkin pada waktu yang sama
aku sedang mengingatmu.”
2.
Begitu kakiku menjejak tanah kelahiran, aku merasakan ada sesuatu
yang menjalar ke sekujur tubuh. Matahari masih sayup-sayup membuka mata, seakan
malas untuk bangun pagi. Udara segar kota yang berada di lereng pegunungan,
semestinya melegakan napasku. Tapi aku malah terengah-engah, seperti baru
berlari marathon. Aku sudah tidak melihat wajah Paman sejak empat tahun silam,
tapi ketika aku mendongak ke langit yang remang muram, seperti kulihat wajah
paman tersenyum melambaikan tangan.
Kubayangkan, speaker toa Masjid di kampung telah mengumumkan
kematian Paman. Para pengkabar lelayu kemudian disebar ke berbagai kampung
tempat saudara-saudara kami tinggal. Orang-orang kemudian memenuhi rumah Paman.
Jenazah Paman mungkin sedang dimandikan, kubur paman sedang digali, dan keranda
sudah dipersiapkan.
Aku yang ingin melihat wajah paman terakhir kali sebelum ia
dirahasiakan dalam kafan, bergegas menuju pangkalan ojeg. Belum sampai di
pangkalan ojeg, seseorang mencegatku, menyodoriku helm, menyuruhku cepat naik. “Kamu
sudah ditunggu,” katanya. Aku yakin, orang yang mengenakan helm tertutup ini
suruhan Ibu untuk menjemputku.
Tak sampai setengah jam aku sudah sampai di depan gang masuk rumah
Paman. Bendera putih terikat di pokok pohon rambutan. Waktu kubuka helm dan
memberikan pada orang yang menjemputku tadi, seketika itu aku terkejut. Betapa
wajahnya mirip dengan Paman. Belum aku mengatakan sesuatu, orang itu sudah
melesat bersama motornya, hilang ditikungan jalan.
3.
Paman sudah seperti kakakku sendiri, usianya 3 tahun lebih tua
dariku. Kami teman main, teman sekolah, pernah juga teman sekerja. Tapi sejak
kecil aku memanggilnya Paman, dan paman memanggilku Dek, meski namaku bukan
Adek.
Wajah paman sendiri mirip dengan wajahku. Hanya saja, nasib kami
berbeda, dan nasib, barangkali juga turut membentuk guratan-guratan wajah,
sehingga kemiripan kami menjadi semakin jauh. Setelah Lulus SMA paman memilih
menjadi sopir truk, sementara aku memilih menganggur. Impianku waktu itu adalah
kuliah di Jogja, tetapi itu tak mungkin. Bapak sudah meninggal, adikku masih
enam.
Aku berjuang mati-matian melupakan mimpiku dengan menemani Paman
mengangkut kayu, pasir, batu, atau kentang ke luar kota. Sampai ibu menyuruhku
bekerja, karena pensiunan Bapak tak cukup lagi untuk menyekolahkan adik-adikku.
Aku menjadi sopir angkutan kota dan sebulan kemudian menikah dengan karyawati supermarket
yang dulunya adalah penumpang langgananku. Sedang Paman sendiri belum menikah
sampai bisa membeli truk sendiri, dan baru punya anak setelah truknya bertambah
satu.
Paman menjalani hidupnya dengan penuh keprihatinan, sebab sudah
menjadi yatim piatu sejak kecil. Paman merasa berhutang banyak dengan Ibuku
yang telah merawatnya sejak kecil, dan berniat membelikanku mobil puck up. Ibu
menolak. Aku yang malu karena pencapaian hidupku begitu lambat, dan istriku
yang iri melihat kemajuan Paman, membuatku memutuskan merantau ke Kalimantan, menjadi
sopir perkebunan kelawa sawit.
Jenazah Paman ternyata telah dibawa ke Masjid. Artinya, sudah dimandikan
dan dibalut kafan. Keinginanku untuk melihat wajah paman terakhir kali tak
mungkin lagi. Selesai menshalatinya, dan kupandang jenazah Paman sambil berdiri,
yang terlintas di kepalaku adalah wajah orang yang mengantarkanku tadi.
4.
Usai pemakaman, baru aku tahu ternyata Ibu tidak menyuruh
siapa-siapa untuk menjemputku. “Mungkin, adik-adikmu yang menyuruhnya,” kata
Ibu. Sementara adik-adikku menggelengkan kepala saat kutanya.
Jangan-jangan, orang yang menjemputku itu…. Ah, sudahlah. Banyak
kemungkinan lain yang lebih masuk akal kukira. Dan sekarang tidak tepat untuk
terus memikirkannya. Tarub sudah didirikan, meja kursi sudah tertata, para
pelayat membanjiri rumah Paman. Aku, Ibu, serta istri Paman menyalami tamu-tamu
yang datang untuk meneguhkan kesabaran.
Aku yang baru tiba tadi pagi, tak tahu apa-apa tentang keadaan Paman
menjelang meninggalnya. Setiap kali orang bertanya, Paman sakit apa, usianya
berapa, dikurburkan jam berapa, aku masih bisa menjawabnya. Tapi aku tak bisa
bercerita sebagaimana Ibu dan istri paman menceritakan hari-hari menjelang
kematian Paman.
“Padahal kemarin sudah mau pulang dari rumah sakit. Makannya lahap
sekali, sampai-sampai jatah rumah sakit masih kurang.” Lalu istri paman
menunduk, tak kuasa meneruskan ceritanya. Para pelayat tak barani bertanya
lebih jauh.
“Habis shalat isya masih nonton berita sama saya. Lalu ia minta teve
dimatikan karena mau tidur. Tapi sebentar-sebentar terbangun dan menanyakan jam
berapa.” Di meja lain ibu bercerita juga. “Seakan-akan sudah mendapat firasat.”
Lama-kelamaan, aku pun menceritakan apa yang kudengar dari Ibu dan
istri Paman kepada para pelayat. Selain, tentu menyuruh tamu-tamu mencicipi
permen dan minuman kemasan di atas meja. Dari ratusan tamu yang datang sedikit
saja yang menyentuh dua jenis hidangan itu. Kalau pun ada, mereka cuma meminum
sedikit saja, lalu pamit pulang, seperti tengah menghayati bahwa hidup cuma
mampir minum. Beberapa mencicipi permen, meski mungkin rasa permen itu hambar
di mulutnya.
5.
“Sehari sebelum masuk rumah sakit, Badrus menyuruh Ibu menelponmu,”
terang Ibu suatu pagi, beberapa saat setelah aku terbangun dari tidur yang lelap.
Dalam tidurku tadi, aku bermimpi bertemu Paman. Paman merangkulku, membawaku
memasuki lorong cahaya. “Badrus ingin kau pulang segera. Ia merasa kau
tak akan mau jika dirinya yang menyuruh.”
“Kenapa Ibu baru menelponku ketika Paman sudah di Rumah Sakit?”
“Badrus tak mengatakan apa-apa tentang keinginannya untuk bertemu
kamu, karenanya Ibu menganggapnya bercanda saja. Betapa jauh Kalimantan.” Ibu
menghela napas panjang. “Tapi begitulah. Ibu menyesal sampai sekarang.
Barangkali, waktu Badrus meminta Ibu
menelponmu, ia ingin segera ketemu kamu untuk pamitan.”
“Apa Paman mengatakan sesuatu tentangku sebelum meninggal?”
Ibu tak menjawab. Ia beranjak setelah menatapku dengan mata yang
seakan menyimpan rahasia.
6.
Tujuh hari setelah kematian Paman, ketika aku tengah berkemas hendak
kembali ke Kalimantan, Ibu menangis di kamar. Isaknya begitu jelas sehingga aku
memberanikan untuk masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu.
“Sebaiknya kau dan keluargamu pindah ke kampung saja. Biar Tholib
adikmu, menjemput istrimu dan Masdar.”
Baru kali ini kudengar suara Ibu demikian menggetarkan dadaku.
“Masih ada Tholib, Sukri, dan Trimo menemani Ibu.”
Ibu memelukku. Dua tangannya lalu mencengkram kepalaku. Ibu
menatapku dengan bibir yang gemetar. Ketika kutatap matanya yang berkaca-kaca,
kembali kuingat pertanyaanku sehari lalu yang tak dijawab Ibu.
“Sehari sebelum Badrus meninggal, kau tahu Anjar? Badrus mengatakan
kalau dirinya ingin mengajakmu pergi. Kemana? Badrus bilang, kamu sudah tahu tujuannya. Katanya lagi, mau tidak
mau kamu harus pergi, dan akan ada yang menjemputmu...” Ibu melepas cengkraman tangannya di kepalaku. Isaknya kembali pecah.
Sejenak kemudian, ia berkata terbata-bata: “Sebaiknya kamu pindah ke kampung
saja, Anjar!” Kembali Ibu memelukku dengan tangis sesenggukan.
Entah kenapa, mendadak aku merasa ada ribuan mata kini tengah
melirikku dari berbagai sudut.
Wonosobo, 2010-2011
Belajar Bertanya!
M. Yusuf AN
Lebih sulit mana, menjawab atau bertanya? “Bertanya,” jawab saya. Ketika Anda menghadapi soal ujian yang benar-benar tak tahu jawabannya, maka jawab saja, “maaf, saya tidak tahu”. Itu lebih baik dari pada harus repot-repot meminta bantuan teman. Ketika ada guru menghadapi pertanyaan siswa sementara ia tidak tahu jawabannya, maka jawab saja, “saya tidak tahu, tetapi saya tahu cara mendapatkan jawaban pertanyaanmu.” Itu jawaban paling tepat ketimbang berpura-pura bisa atau menjawab sesukanya.
Begitulah, sebenarnya kita bisa menjawab semua pertanyaan. Benar atau salah jawaban kita, memuaskan atau tidak bagi si penanya, itu soal lain. Sebaliknya, tidak semua orang bisa bertanya.
Maka, ‘belajar bertanya’ merupakan sesuatu yang tidak boleh disepelekan. Bertanya adalah sebuah kecakapan yang mesti diasah dan dibiasakan, khususnya bagi insan pembelajar. Kemampuan seseorang bisa diukur dari kemampuannya bertanya. Orang yang tidak biasa bertanya, meskipun sekadar bertanya dalam batinnya sekalipun, maka perkembangan intelektualitas maupun spiritualnya akan berjalan lambat.
Sayangnya, di negeri ini bertanya sering dianggap sebagai aib, atau memalukan. Bahkan, kultur bertanya sudah dibius—kalau tidak dimatikan—sejak kita masih sekolah dasar. Beberapa guru bahkan ada yang merasa diremehkan ketika mendapatkan pertanyaan rumit dari siswanya. Dan parahnya lagi, karena bertanya merupakan suatu kenanehan, maka sering terjadi siswa yang bertanya dianggap sok oleh teman-temannya.
“Anak-anak, silahkan buat soal atau pertanyaan yang jawabannya tidak ditemukan di buku pelajaran kalian.”
“Soal macam apa itu, Pak?”
Langganan:
Postingan (Atom)