Sebelum Dua Ribu Sebelas Lepas!

Sebelum Dua Ribu Sebelas Lepas!

Suf, malam ini tidak ada terompet. Tidak ada kembang api. Tidak ada yang lebih hikmat menyongsong malam tahun baru selain bermuhasabah di tempat sunyi, sendiri atau berdua dengan ku, waktu. Ambilah sebuah cermin raksasa, letakkan di depan wajahmu, lalu mulailah kau hitung gores-mores luka di wajahmu.

Bolehlah kau nyalakan lampu, atau cukup lilin saja. Memandang luka sendiri tak membutuhkan bantuan penerang macam itu. Beratus-ratus, dan bahkan beribu luka harus kau temukan. Carilah secermat mungkin, melebihi cermat matamu ketika mencari receh yang hilang di jalan raya. Ingat-ingatlah, lagi dan lagi, bacalah lagi catatan-catatan harianmu, juga yang kau sembunyikan di dadamu.

Suf, berjalan dan berlari bersamamu sungguh tak pernah ku mengeluh. Melambat atau kencangnya jalanku, itu tergantung pula pada perasaanmu, tergantung medan yang kau lalui. Aku biasa saja tuh! Patuh! Mau kau ajak aku begadang, aku nurut. Kau ajak aku bangun siang-siang, aku ikut. Kau semarakkan aku dengan kerja, aku oke saja. Kau ingin aku menemanimu melamun, bermalas-malasan, aku agak keberatan, tapi karena kau memaksa ya gimana lagi.

Jika aku laksana pedang, kaulah tangan yang menggenggam ulu-ku. Mau kau tebaskan pedang itu ke lehermu sendiri, aku tak bisa berbuat apa-apa.

Dan sebentar lagi dua ribu sebelas akan lepas. Besok mungkin kau akan keliru menuliskan angka tahun. Itu biasa. Yang tidak biasa, yang jahat, yang parah, yang hina, yang jelek, yang buruk, adalah ketika kau tidak mencoba mengobati gores-mores luka di wajahmu itu. Lihatlah! Kau sudah menemukan berapa? 1032? Wow!

Sampai kiamat kurang tujuh hari pun ia tak akan hilang dan bahkan akan terus bertambah seiring napasmu, seiring langkahku. Itu jika tak ada tekadmu untuk mengobatinya dengan mengakhiri kebiasaan-kebiasaan burukmu. Mula-mula kau cuma butuh satu: Niat! Dan niat ini akan percuma saja jika tidak kau barengi dengan tekad! Tekad ini akan mentah tanpa action!

Meninggalkan kebiasaan buruk, menjaga dan menciptakan lebih banyak lagi kebiasaan yang baik. Jangan anggap kalimatku itu sebagai omong kosong, kecuali jika kau ingin benar-benar ia mewujud sebagai omong kosong!

Suf, teruslah bersyukur. Teruslah membaca abjad-abjadku tentang dirimu. Dan jangan sekali-kali kau menyalahkan nasib. Sebab itu artinya kau sedang menyalahkan dirimu sendiri.

Suf, teruslah menulis. Tetaplah belajar sembari menularkan ilmumu di sekolah dan di mana dan kapan pun selagi tepat. Tingkatkan kekuatakan-kekuatan yang kau meiliki, dengan itu maka kelemahan-kelemahanmu akan terkurangi.

Usah kau risaukan rezeki, Suf! Selama setahun ini, adakah kau dan keluargamu pernah merasakan kelaparan, kehabisan beras dalam satu hari, tidak bisa membelikan susu, mainan, jajan, dan membayar uang sekolah untuk anakmu? Pernahkah, hei!

Perbanyaklah dzikir, dan tata kembali cara berpikirmu! Niscaya hari-hari di depanmu akan lebih cemerlang: kita berjalan bergandengan sampai tiba masanya senja itu datang, dingin mengecupmu !
Membumikan Gagasan Buku-mLaku

Membumikan Gagasan Buku-mLaku

oleh: Jusuf AN

Mulanya, telah sejak lama, saya punya keinginan untuk membuka toko buku kecil-kecilan, lengkap dengan koran dan majalah. Saya suka buku, suka koran dan majalah. Saya telah menjalin keakraban dengan mereka cukup lama. Bahkan sebagian rejeki (uang) yang saya belanjakan selama ini berasal dari menulis buku (novel dan buku agama populer), dan menulis artikel (cerpen, puisi, essai) untuk koran dan majalah.

Barangkali dari situlah keinginan saya untuk membuka toko buku muncul. Tetapi keinginan itu tak juga terwujud sampai detik ini, setidaknya sudah 7 tahun sejak keinginan itu lahir. Mungkinkah keinginan itu hanya angan-angan kosong, sebagaimana kaum fakir yang berharap memiliki pesawat tempur? Saya kira tidak. Keinginan saya tidak begitu kuat dan hanya sesekali terpikirkan. Dan sudah beberapa kali saya telah berusaha agar mimpi itu terwujud. Misalnya, saya sempat kulakan buku murah di Jogjakarta untuk kemudian saya jual kembali di kota saya. Saya juga pernah berjualan buku lewat facebook. Sering mencari tahu di google tentang bagaimana memulai “usaha toko buku”. Maka, meskipun belum terwujud, setidaknya saya telah memulai belajar mewujudkannya.

Jutaan Buku Teks Tidak Terpakai di Perpustakan Sekolah


Hari ini ada jutaan buku teks tidak terpakai di perpustakaan sekolah

Itu adalah foto yang saya ambil di sebuah perpustakaan sekolah. Ada lebih dari seribu buku dalam dus-dus itu. Buku-buku itu merupakan buku teks/paket pelajaran yang tidak lagi terpakai karena, selain tidak sesuai dengan kurikulum, juga karena sudah banyak buku baru, sedang ruangan perpustakaan tidak memungkinkan untuk menaruh buku-buku itu di rak. Kalau pun tetap ditaruh di rak, untuk apa? Mungkin hanya akan mengganggu pemandangan. 

Saya yakin, apa yang saya jumpai di perpustakaan sekolah tersebut juga terdapat di sekolah-sekolah lain. Dan kita bisa menyimpulkan, “Hari ini ada jutaan buku teks tidak terpakai di perpustakaan sekolah.”

Pertanyaannya, bagaimana cara agar buku-buku itu lebih bermanfaat, tidak hanya menumpuk digudang? Apakah ada peraturan pemerintah berkaitan dengan buku-buku yang dibelanjakan dengan uang negara?

“Mungkin buku itu bisa diberikan kepada siswa, satu siswa mungkin akan dapat sepuluh atau minimal satu buku.” Ujar saya kepada petugas perpustakaan. “Meski sudah tidak sesuai dengan kurikulum, tentu masih ada ilmu yang relevan. Atau disumbangkan saja ke sekolah yang kekurangan buku. Minimal bisa mengisi perpustakaan mereka yang kosong. Atau, jual saja buku-buku itu ke tukang rongsok, lalu uangnya kita belikan buku-buku bacaan. Dapat 100 buku bacaan, itu kan lumayan!”

“Masalahnya, aturan pemerintah tidak membenarkan untuk mengalihkan manfaat buku-buku itu,” sanggah petugas perpustakaan. “Itu adalah aset negara, pertanggung jawabannya harus sesuai aturan.”

Saya kurang paham dengan aturan  pemerintah. Tetapi saya tahu, aturan pemerintah seringkali membelenggu. Aturan yang dibuat untuk kemaslahatan seringkali justru menjadi sumber bermulanya kemudhzaratan (keburukan), atau setidaknya menjadi penghambat terwujudkan kebaikan.

Sekarang ini—kalau tidak salah sejak 2006—sudah ada Bantuan Operasional Siswa (BOS) Buku. Setiap tahun sekolah berbelanja buku. Buku apa? Tidak lain adalah buku teks pelajaran. Dan lagi-lagi, karena negeri ini senang berganti kurikulum pendidikan, maka buku-buku paket itu berusia sangat pendek. Bahkan sangat mungkin, BOS Buku dimanfaatkan oleh para punggawa sekolah, dengan hak mereka bekerja sama dengan rekanan, mereka bisa memanipulasi harga buku. Itu sangat gampang diatur! 

Negeri ini kaya, tapi boros. Siapakah yang menjadi teman pemboros?

Proyek dan proyek. Penerbit, Pejabat, dan Pengurus Sekolah. Siapa yang paling diuntungkan? Yang jelas bukan siswa!

Ketika Karya Kita Dikaji untuk Skripsi



Kabar itu datang pagi-pagi. Kabar yang cukup mengagetkan. Seseorang mengirimkan pesan lewat FB, mengaku berniat mengangkat novel saya yang kedua, “Burung-burung Cahaya” untuk Skripsi. Ia kuliah di Fakultas Tarbiyah UIN Sunankalijaga, rumahnya masih satu kota dengan saya, orang Wonosobo. Tetapi karena tak bisa pulang ia kemudian meminta saya untuk diwawancarai lewat chat FB saja.
“Nanti malam, sekitar jam 10-an.”
Sesuatu yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Ketika launching novel “Mimpi Rasul” di Surabaya, seorang kawan pernah menganjurkan untuk menyumbang buku itu ke Perptakaan Universitas Airlangga, barangkali ada mahasiswa yang berminta mengangkatnya sebagai skripsi. Tetapi saya tidak melakukan anjuran itu. Pikir saya, novel saya bisa dijumpai di toko-toko buku, dan perpustakaan kampus, jika minat tentu akan membelinya.
Maka, saya senang sekali mengetahui niat baik mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu.
Tetapi pada sore yang hujan, saudara saya menelpon mengabarkan kalau dirinya ada di Puskesmas yang tempatnya 30 meter dari rumah saya. Ia terkena infeksi batu ginjal. Sementara istrinya yang bendahara sekolah sedang mengikuti diklat di Semarang. Saya disuruh tidak mengabarkan ke istrinya, begitulah umumnya suami, selalu berusaha menyembunyikan kabar sedih ketika berjauhan dengan istri karena tidak ingin membuatnya gelisah.
  Sebenarnya sudah ada yang menungguinya, tetapi saya yang rumahnya dekat tidak enak hati untu tidak ikut menjaganya. Maka, malam yang dingin itu, saya tidur di kamar Sakinah, ruang rawat inap yang berisi 4 pasien.
Janji saya untuk melayani wawancara sang mahasiswa terpaksa tidak saya penuhi. Ketika buka FB ia sudah mengirimkan pesan. Berikut ini pesannya:
Assalamualaikum, mohon maaf sebelumnya, mungkin kalau mas jusuf belum ada waktu, untuk mempermudah proses wawancara dan tanpa mengganggu waktu mas, bagaimana kalu saya buatkan list pertanyaan saja, nanti tinggal mas jawab pertanyaan yang ada bila ada waktu luang, walau tidak selengkap wawancara, namun secara umum bisa mendapatkan materi yang saya inginkan.

wawancara dengan pengarang novel burung-burung cahaya

1. yang pertama ingin saya tanyakan adalah nama lengkap mas, karena setelah browsing kesana kemari, hanya tertulus nama Jusuf A. N., sebenarnya nama lengkap mas siapa?

2. kapan dan dimana mas dilahirkan?

3. siapakah nama orang tua mas? serta saudara, kalau ada? kemudian apa pekerjaan beliau?

4. untuk mengetahui corak pemikiran seseorang, tentu harus melihat latar belakang seseorang, seperti apakah lingkungan tempat mas dibesarkan? bagaimana pendidikan yang orang tua mas berikan?

5.setiap orang tentu memiliki cita-cita yang ia kejar, cita-cita mas menjadi apa? serta hobi yang mungkin dari kecil hingga saat ini masih dilakukan?

6. bagaimana riwayat pendidikan mas dari tk hingga saat ini? kalau melihat latar novel yang mas tulis, begitu mengetahui seluk-beluk pondok pesantren, apakah mas pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren?

7. saat ini bagaimana kehidupan mas? pekerjaan dan keluarga?

8. mas saat ini tinggal dimana? mungkin bisa mencantumkan alamat lengkapnya?

9. tentu telah banyak karya yang mas ciptakan, apakah ada sebuah karya atau beberapa mungkin yang menurut mas merupakan karya terbaik? apa judulnya dan tengtang apa karya tersebut?

10. berkarya tentu tidak akan berhenti ya mas, apakah saat ini mas sedang manggarap suatu karya?

kita mulai masuk membahas novel burung-burung cahaya ya mas

11. berapa lama mas menulis noel tersebut?

12. sebenarnya apa yang melatar belakangi mas untuk menulis novel tersebut? adakah alasan khusus, misalnya karena melihat akhlak bangsa saat ini yang tidak jelas mengarah kemana?

13. berdasarkan latar belakang, tentu mas punya tujuan yang ingin dicapai dengan adanya novel tersebut. apa harapan yang mas inginkan dari novel tersebut?

14. sebenarnya, inspirasi penulisan novel tersebut datang dari mana? apakah nevel tersebut diangkat dari kisah nyata seseorang, atau memang murni hasil pemikiran mas yang elihat realita yang terjadi?

15. pertama saya membaca novel tersebut, saya langsung merasakan sesuatu yang lain dari novel-novel lain, yaitu tentang pondok pesantren dan tahfidz Qur'an, sesuatu yang bagi saya mungkin belum menemukan dalam novel lain, mengapa mas mengambil setting pondok pesantren dan tema tahfidz Qur'an?

terimakasih mas, mungkin cukup demikian pertanyaan dari saya, mohon maaf sebelumnya bila ada yang kurang berkenan di hati mas. wassalamualaikum.

Lima belas pertanyaan. Mesti segera saya jawab, guna memperlancar tugasnya. Sayang sekali, ia tidak memberi tahu saya judul skripsinya. Tetapi tetap, doa saya teriring, semoga skripsi itu cepat selesai bermanfaat bagi ummat manusia, tidak semata memenuhi syarat sarjana. Amin
Menulis untuk Hidup dan Mati

Menulis untuk Hidup dan Mati


Menulis untuk Hidup dan Mati

Wahai Maut, wahai Kematianku
Berbisiklah kepadaku
Hanya karena dirimulah aku berjaga-jaga
Dari hari ke hari
(Rabindranath Tagore)

Saya diam saja ketika istri saya kaget melihat saya pulang dengan membawa empat buku dalam plastik hitam. “Beli buku lagi, Mas?”
        Mumpung ada pemeran, saya cuma membatin. Saya tak berani mengeraskan suara, sadar benar bahwa keuangan kami sedang kurang sehat sehingga istriku tidak begitu senang dengan kenekatanku membeli buku. Tapi sungguh, saya tidak menyesal. Pikirku, nanti juga pasti ada rejeki. Belum ada sejarahnya kami, yang hidup pas-pasan ini, tidak makan dalam sehari. Selalu ada. Saya sering teringat apa yang dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani ketika terpikir soal rejeki: “Rejeki itu berlari lebih kencang ketimbang larimu mengejarnya.”
        Dan soal buku tidak bisa saya tunda. Belum tentu setahun sekali, di kota saya ada pameran buku. Inilah kesempatan mendapatkan buku bermutu dan murah. Maka, begitu masuk ruang pameran, saya langsung menuju lapak buku yang diobral.
        Ampun! Bejibun buku. Pemandangan itu menggairahkan jiwa saya, sekaligus membuat saya merinding ngeri. Teringat, betapa sebuah buku yang digarap dengan susah payah oleh penulisnya, pada akhirnya di jual begitu murah. Teringat, dengan nasib novel saya yang entah bagaimana. Teringat, seorang kawan yang belum berani menerbitkan buku karena giris dengan pemandangan di pameran seperti yang sedang saya lihat itu.
         Empat buku akhirnya saya dapatkan. Dua buku Rabindranath Tagore, Pantai Keabadian dan Masa Kecilku. Sebuah buku karya Beni Hidayat berjudul Datuk Hitam. Tiga buku itu masing-masing cuma Rp. 5000,-. Lalu, karena kebutuhan referansi untuk novel yang sedang saya garap, saya tergoda lagi untuk membeli buku Hitam-Putih FPI karya Andri Rosali, cuma Rp. 10.000.
       Pasar buku memang misteri. Betapa banyak buku yang telah ditulis baik dan dirancang sedemikian rupa, tetapi tidak mendapat sambutan baik dari publik. Ada juga buku yang isinya biasa saja, tetapi publik begitu antusias menyambutnya. Ah, saya jadi teringat juga akan Parodi Samuel Mulia di Kompas Minggu (4/12/2011) ini: “Jika bisa menabur sedikit tetapi menuai banyak, kenapa tidak?”
        Menulis biasa saja, dengan gaya yang umum, cerita yang biasa, perspektif yang lumrah, tetapi berharap buku bisa laku keras, bisakah? Sangat mungkin bisa. Tetapi masing-masing penulis tentu memiliki kepuasan yang berbeda dari setiap karya yang dihasilkan, tidak semata urusan materi, faktor buku laris atau tidak.
        Menulis (bagi saya) adalah untuk hidup dan mati!
        Bagaimana dengan engkau, Kawan?
Ibu, ajari anakmu menulis yang ikhlas!

Ibu, ajari anakmu menulis yang ikhlas!



“Aku ingin jadi penulis, Ibu. Dan aku sudah memulai. Dan kau sudah pula membaca tulisan-tulisanku. Katamu, teruslah menulis, sampai napasmu habis. Napasku masih, Ibu. Tapi kata-kataku? Tak tahu lagi apa yang harus kutulis. Tak bisa lagi aku menulis.”
“Bagaimana bisa, Anakku? Bukankah kau sudah menerbitkan buku praktis cara mudah menjadi penulis?”
“Jangan keras-keras, Ibu. Tak enak jika didengar orang.”
“Memangnya Ibu bukan orang?”
“Maaf, Ibu. Itulah yang aku alami. Aku nyaris gila karena tak bisa menulis lagi. Karenanya aku datang kepadamu. Mandikan aku dengan petuahmu, Ibu!”
“Ibu bukan penulis, tapi ibu tahu di mana pusat sakitmu.”
“Aku sakit, Ibu?”
“Di dadamu.”
“Kenapa dengan dadaku. Merah-merah ini? Ini karya istriku, Ibu. Semalam ia mengerakku dengan sendok!”
“Persis di dalam situ.”
“Bagaimana Ibu tahu?”
“Ibu tidak akan tahu jika kau tak mengeluhkan masalahmu. Kau sedang mengalami apa yang disebut writer block!”
“Ibu tahu istilah itu?”
“Kan ibu baca bukumu.”
“Ah, ya. Bahkan aku sendiri sudah lupa apa yang pernah kutulis. Kok Ibu geleng-geleng?”
“Semoga Tuhan mengampunimu, Nak. Sekarang pulanglah, dan menulislah lagi. Kau sudah tahu sakitmu, sudah tahu pula obatnya.”
“Aku sudah baca buku banyak-banyak. Berkali-kali datang melepas penat ke pantai. Berbatang-batang rokok kuhisab, bercangkir-cangkir kopi kutenggak. Tetap saja aku tak bisa mengatasi writer block sialan itu, Ibu.”
“Barangkali di dadamu ada racun, Anakku. Untuk itu, kau harus tambah satu obat lagi. Antibiotik.”
“Aku harus segera beli di apotiek?”
“Tidak.”
“Di masjid?”
“Kau bisa meraciknya sendiri.”
“Bagaimana caranya, Ibu?”
“Kau mesti belajar ilmu ikhlas.”
“Ajarkan kepadaku ilmu itu, Ibu.”
“Sebelum kau menulis, tata kembali niatmu. Benar-benar ditata. Ditata benar-benar. Luruskan pada satu tujuan saja. Jika perlu, kau pejamkan matamu yang lama, tanpa bersandar pada bantal lho! Niatkan bahwa kau menulis bukan untuk mengharapkan pujian dari makhluk. Bukan pula untuk mencari keuntungan duniawi. Bukan untuk gagah-gagahan. Bukan untuk pamer intelektual. Bukan untuk cari hadiah. Bukan untuk meremehkan yang lain.”
“Lalu untuk apa?”
“Niatkan, bahwa tujuanmu menulis semata untuk mencari ridha Tuhan. Jika antibiotik itu sudah merasuk dalam dadamu, kau sungguh beruntung. Karena dengannya, kau akan bahagia. Meski tulisanmu tidak mendatangkan uang, pujian, hadiah, tetapi justru dihina banyak orang. Kau tidak akan stess lagi, meski tidak lagi bisa menulis.”
“Ridha Tuhan bersama ridhamu, Ibu.”
“Ridha ibu bersama ridha Tuhan, anakku.”


Sesuatu dari Indie Book


Kawan, pernah dengar Indie Book Corner (IBC)? Ia adalah sebuah gerakan sadar yang dibangun untuk memfasilitasi penerbitan karya penulis mencari solusi. IBC sudah mengawal banyak penulis dalam mempublikasikan karyanya berupa buku. Siapa yang berminat cukup mengantarkan naskahnya pada tim IBC, lalu proses penyuntingan dilakukan, ketika layout dan desain selesai kemudian naskah segera dipublikasikan (dicetak) menjadi buku. Sudah cukup banyak buku yang diterbitkan lewat jalur IBC, di antaranya ada yang masuk dalam nominasi 5 besar Khatulistiwa Award 2012.

Sekitar 2 bulan lalu, dalam rangka syukurnya bernapas dua tahun, IBC menyelenggarakan sayembara dengan menyediakan 140 juta untuk 5 orang pemenang terpilih. Sayembara ini terbilang unik, karena yang dinilai bukan hanya kualitas karya yang bisa berupa buku apa saja, tetapi juga kemasan (sampul, ilustrasi, dll) dan kerapian isi.

Menurut keterangan dari panitia, ada 60 lebih naskah yang masuk. Dan berikut adalah pengumuman pemenang yang saya copas dari situsnya (indiebook.com):

Setelah beberapa kali bersidang, Indie Book Corner kembali mengadakan sidang penilaian naskah Sayembara Buku Indie pada hari Jumat, 4 November 2011 lalu. Sidang kemarin juga menjadi sidang final untuk menentukan 5 pemenang setelah sebelumnya dipilih 10 naskah terbaik. Dewan juri melakukan penilaian berdasarkan kriteria yang telah dibuat sebelumnya (kualitas naskah, kemasan buku, dan kerapian isi). Kesepuluh naskah terpilih memiliki keunggulan masing-masing sehingga membuat penilaian menjadi cukup ketat.

Dengan terpilihnya 5 naskah berikut, bukan berarti naskah lain tidak layak terbit. Namun karena dari awal memang hanya akan dipilih 5 pemenang, maka lewat serangkaian proses seleksi yang ketat dewan juri memutuskan 5 naskah berikut sebagai pemenang Sayembara Buku Indie:
1. Pendamping - Ardy Kresna Crenata (Kumpulan Cerpen)
2. Gadis Kecil yang Mencintai Nisan - Jusuf AN (Kumpulan Cerpen)
3. Kupukupu-Kupukupu di dalam Perutku - Dadan Erlangga (Kumpulan Cerpen)
4. Republik Rimba - Ryan Sugiarto (Fabel)
5. Baju Bertuah Nabi Yusuf: Menguak Sisi Lain dari Kisah-Kisah Alquran Hadits - M. Fathoni Mahsun (Kumpulan Esai)
*(nomor urut bukan merupakan deret peringkat)


Alhamdulillah, buku saya menjadi salah satu pemenang. Tak terduga. Sebab sebelumnya, saya sempat pesimis karena mengetahui peminatnya yang cukup banyak. Untunglah saya memiliki teman-teman yang baik. Saya merangkul seorang yang lihai membuat ilustrasi, yakni Agus Handoko, Guru Seni Budaya yang masih sejawat dengan saya. Untuk  layout saya meminta bantuan kawan Indrian Koto. Selain cerpenis dan penyair, doi memang sudah ahli dalam hal layout. Kemudian untuk kover ada kawan yang beraik hati membuatkan, yakni Ibed Surgana Yoga, penyair dan ahli teater dari Bali yang kuliah di ISI Jogjakarta.

Setelah ilustrasi, kover, dan dilayout selesai, file kemudian dibawa dibawa ke Kanisius untuk dicetak. Kanisius selain menerbitkan buku, juga mau membantu siapa saja yang ingin mencetak buku, tidak banyak tidak masalah. Buku saya cuma dicetak empat, dengan biaya tak lebh dari seratus ribu. Dua dikirimkan ke Indiebook, dan sisasanya sebagai arsip.

"Membaca kumpulan cerpen di buku ini, kita diajak untuk kembali menjadi 'orang awam', yang melihat keseharian tanpa pretensi apa-apa. Kita disuguhi kisah-kisah romantic dan menikmatinya di sudut kamar. Kita seperti diingatkan bahwa sebetulnya kehidupan ini sederhana saja, kitalah yang membuatnya rumit dan penuh prasangka.." (Yanusa Nugroho, Cerpenis)

Jusuf adalah seorang pencerita dengan gaya yang sederhana. Menulis dengan bahasa sederhana nan lancar, plot sederhana minim tikungan, penokohan sederhana tak melangit, konflik sederhana tanpa debar, dan pesan sederhana dalam siratan. Dengan kesederhanaan itu pembaca yang sibuk mengejar dunia seakan diajaknya untuk sejenak 'pulang' dan beristirah, merenung kembali akan hakikat tujuan perjalanannya. (Diana AV Sasa, Kerani d-Buku, Surabaya)

"Gadis Kecil yang Mencintai Nisan" memuat 11 cerpen, pertama-tama akan dicetak sebanyak 300 eksemplar, dengan pendanaan sebesar 3 juta rupiah. Naskah akan dipasarkan dengan royalti sebesar 15 persen dari total harga buku yang terjual. Jika 300 buku habis dalam jangka waktu 75 hari, maka penulis akan mendapatkan kontrak penerbitan buku sejumlah 5000 eksemplar, dengan total pendanaan 25 juta rupiah dan dipasarkan secara luas dan merata ke seluruh Indonesia, serta jaringan penjualan Indie Book Corner di luar negeri.

Maaf, kawan. Tujuan tulisan ini, selain ingin berbagi kabar kebahagiaan, juga untuk memohon doa tulus dari kawan-kawan. Semoga buku kumpulan cerpen  "Gadis Kecil yang Mencintai Nisan" dapat mendatangkan manfaat bagi pembaca, dan cetakan pertama sejumplah 300 buku itu habis sebelum 75 hari. Salam.
-----------------------------------------------
Setelah buku terbit, insya Allah akan segera diadakan launchingnya.
Kalau ada yang mau pesan sekarang, boleh juga. :)
Pohon Iman (Sebuah Renungan)

Pohon Iman (Sebuah Renungan)




Bismillah.
Pohon iman. Apakah pohon iman itu? Ia adalah sebuah pohon yang tumbuh di hati. Akarnya adalah kepercayaan kepada Penguasa Yang Maha Tinggi. Dahan-dahannya menjalar ke mata, hidung, telinga, tangan, dan kaki. Buah-buahnya adalah kebaikan tak terperi. 

Indonesia adalah sebuah negeri dengan manusia-manusia beriman kepada Tuhan. Cek saja KTP kita, di sana tertulis nama agama yang kita anut. Tapi tentu, keimanan tidak butuh tanpa pengenal semacam KTP atau pun jubah, surban, dan bahkan jambang. Meski begitu kita sebenarnya bisa mengukur keimanan seseorang dari perbuatannya. Waduh mengukur? Apakah sempat? Yang paling baik marilah kita ukur sendiri keimanan kita masing-masing.
Keimanan seseorang setidaknya mesti meliputi tiga aspek, yakni kepercayaan yang tertanam di hati, diucapkan lewat lisan, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap hamba yang beriman maka di dalam hatinya seumpama tumbuh sebuah pohon. Jika iman seseorang baik, maka pohon iman di dalam hatinya akan tumbuh subur dan rimbun dengan dahan dan ranting yang menjalar ke mata, telinga, tangan, kaki, dan organ-organ tubuh lainnya. Pohon iman yang baik akan berbuah kebaikan (amal shaleh) di setiap ranting-rantingnya. Maka, seorang yang kuat imannya ia akan bisa menjaga matanya, lidahnya, telinganya, mengaplikasikan ajaran-ajaran Tuhannya dalam setiap perbuatan, menjauhi setiap pantang.
Sebaliknya, pohon iman seseorang bisa jadi hanya sebatas pohon yang meranggas, dengan ranting-ranting kering dan patah, tak ada buah dihasilkan darinya. Atau bisa jadi, pohon iman seseorang sebatas tonggak, tanpa apa-apa, menunggu mati pada waktunya.

Tetapi percayalah, selama hati masih hidup dan tidak terkunci, maka masih ada asa pohon itu kelak bisa bersemi, tumbuh, rimbun, menjalarkan dahan-dahan, berbuah kebajikan tak kenal musim.
Salam
-----
sumber gambar: klik
Dari Sandal Kembali ke Sandal

Dari Sandal Kembali ke Sandal

Alkisah, ada sepasang sandal kesayangan milik raja yang terparkir di kolong ranjang. Sepasang sandal yang mirip suami istri itu cemas ketakutan karena tengah diintai oleh tikus setiap malam. Maklum, sandal itu terbuat dari kulit lembu, mungkin masih amis sehingga tikus suka sekali. Dengan penuh harap dan cemas, sepasang sandal itu berdoa, berharap Tuhan menjelmakannya menjadi tikus saja. Menjadi tikus, pikir mereka, pastilah lebih enak dibanding menjadi sandal yang terancam. Dan Tuhan mengabulkan!


Dalam sekerdipan mata, mereka berubah menjadi sepasang tikus. Mereka kemudian pergi keluar kamar, berlari-larian, merayakan kegembiraan. Tetapi malang, di luar kamar mereka bertemu seekor kucing. Nyawa mereka kembali terancam. Untungnya mereka bisa menghindar dari kejaran sang kucing.
Di tempat pesembunyiannya, mereka kembali memohon kepada Tuhan agar Tuhan sudi menjelmakannya menjadi kucing. Dengan begitu mereka akan merasa lebih aman dan bisa menjalani hidup dengan tentram. Begitulah, Tuhan kembali mengabulkan doa mereka yang diiringi tangisan. Tetapi apa yang mereka harapkan setelah menjadi kucing-hidup nyaman tanpa ancaman-tidak mereka dapatkan. Mereka kembali terancam, di kejar-kejar anjing. Untungnya mereka masih bisa menyelamatkan diri setelah memanjat pohon.
Di atas pohon itulah mereka kembali memohon untuk dijadikan sebagai anjing. Dan lagi-lagi Tuhan mengabulkan permohonan mereka sehingga mereka terbebas dari ancaman anjing yang menunggunya di bawah pohon.

Menjadi anjing ternyata tak seindah yang mereka bayangkan. Ke sana kemari mereka mencari makan, keluyuran dari rumah ke rumah penduduk. Tetapi yang didapat justru cibiran, bahkan nyaris mati karena dikejar-kejar manusia.

Di tengah kelaparan dan ancaman, mereka bertemu dengan orang tua misterius. Untuk ke sekian kalinya, mereka kembali bermunajat kepada Tuhan. Inilah yang mereka inginkan: "Tuhan, jadikan kami manusia saja!"
Dan, kuasa Tuhan tak ada yang bisa menahan. Jadilah mereka manusia. Satu perempuan dan satu laki-laki. Cantik dan tampan. Lalu muncullah keinginan mereka selanjutnya: menjadi Raja!

Mereka berdua kemudian berusaha memprovokasi masa, berniat memberontak Raja yang lama. Tapi sayang, kekuatan mereka tak sebanding, sehingga pemberontakan mereka berhasil ditaklukkan. Mereka berdoa lari ke hutan. Ketakutan. Pada saat-saat itulah, sebagaimana yang sudah-sudah, mereka kembali teringat Tuhan. Mereka kembali menyembah, meminta kepada yang Maha Berkehendak. "Tuhan, jadikan kami sepasang Tuhan." Kira-kira apakah keinginan mereka terkabul!

Mustahil! Justru sebaliknya, Tuhan mengembalikan mereka ke wujud mereka semula: sandal!
Sandal=>Tikus=> Kucing => Anjing => Manusia => Sandal
------------------------------------

Sekadar berbagi dengan sesuatu yang mendekam kuat diingatan. Cerita tersebut adalah ringkasan dari cerita rakyat yang berasal bumi Lombok: Lelampak Lendong Kao. Ada banyak hikmah yang bisa kita petik. Dan akan lebih menarik jika setiap cerita, dongeng, cerpen, atau apa, tak perlu diakhiri dengan kalimat penutup, semisal, cerita tersebut mengandung hikmah bla...bla...bla.... .
Biarlah pembaca berimajinasi dan memetik hikmahnya sendiri!
Salam
Masa Depan Anak-anak "Generasi Z"

Masa Depan Anak-anak "Generasi Z"

Perkembangan teknologi dan informasi terus menggila. Wajah dunia sekarang diliputi dengan teknologi digital hampir di semua lini. Kita tak mampu membendungnya. Dan lari darinya justru akan menyusahkan dan kerepotan diri sendiri.

Sekarang kita hidup di era cyber atau era digital yang unik, aneh, dan penuh tantangan. Berbagai peralatan super canggih, khususnya handphone, komputer, game (gadget) secara tidak langsung telah merubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Akibat dari penggunaan gadget-gadget tersebut tidaklah melulu positif, tergantung siapa dan bagaimana menggunakannya. Karena itulah, dibutuhkan upaya prefentif agar "generasi Z" yang sedang tumbuh dapat terkontrol dalam menggunaan gadget.

Generasi Z merupakan generasi terkini yang lahir sesudah tahun 1994 dan sebelum tahun 2004. Apabila kita amati, anak-anak generasi Z ini menunjukkan ciri-ciri di antaranya memiliki kemampuan tinggi dalam mengakses dan mengakomodasi informasi sehingga mereka mendapatkan kesempatan lebih banyak dan terbuka untuk mengembangkan dirinya. Secara umum, generasi Z ini merupakan generasi yang banyak mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan bersosialisasi.

Generasi Z, yang sekarang sudah berusia pra-remaja, dalam banyak hal berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, yakni generasi Baby Boomers (lahir 1946-1964), generasi X (lahir 1965-1980) dan Y (lahir 1981-1995). Salah satu perbedaan yang mencolok adalah ketertarikan mereka kepada perangkat gadget di saat usia mereka masih sangat muda.

Melihat gejala-gejala dan tingkah laku yang ditujukkan oleh generasi Z tersebut, para ahli sebagian menamakan generasi Z sebagai generasi digital, ada pula yang memberikan terminologi lain, seperti net generation, naturally gadget generation, platinum generation, dan silent generation.
Sebagaima ditulis Tuhana Taufiq Andrianto (2011), diperkirakan akan terjadi booming "Generasi Z" sekitar tahun 2020, di mana aktifitas-aktifitas generasi Z ini sangat mengandalkan gadget berformat digital. Disamping dampak positifnya, ketergantungan berlebihan terhadap peralatan canggih secara otomatis juga akan membawa dampak negatif bagi mereka, antara lain: anak cenderung berkurang dalam komunikasi secara verbal, cenderung bersikap egosentris dan individualis, cenderung menginginkan hasil yang serba cepat, serba-instan, dan serba-mudah, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses. Kecerdasan Intelektual (IQ) mereka mungkin akan berkembang baik, tetapi kecerdasan emosional intelligence mereka jadi tumpul.
Maka, yang paling penting dilakukan sekarang, khususnya oleh orang tua dan pendidik, adalah mengajari dan memberikan pengertian yang gamblang mengenai seluk belum dunia gadget dan cara memanfaatkannya dengan benar.

Dedeh Kurnasih (2010) memberikan beberapa kiat yang dapat diterapkan oleh orang tua dan guru agar tidak salah langkah dalam mendidik anak, antara lain: Pertama, mendekati anak lewat gadget. Dengan langkah ini, orangtua atau pun guru menjadi setara denga si anak dan nyambung dengan kemampuan si anak. Kedua, memberikan keseimbangan kepada anak. Menurut para ahli aneka gadget hanya akan membuat salah satu sisi otak manusia yang terstimulasi. Padahal seharusnya kedua belahan otak, baik belahan otak kanan maupun kiri distimulasi secara seimbang. Cara menyeimbangkannya antara lain dengan melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni, seperti melukis, menari, musik dan lain sebagainya. Ketiga, menumbuhkan kebersamaan si anak dalam keluarga. Kita tidak boleh membiarkan anak berlarut-larut dalam kesendirian dan terlalu akrab dengan gadget-nya. Oleh karena itu orang tua harus menciptakan suasana yang hangat dalam keluarga sehingga anak menjadi pribadi yang peduli, dan senang bersosialisasi dengan orang lain.
---------
Sumber Referensi:

Tuhana Taufik Andrianto, Mengembangkan Karakter Sukses Anak Di Era Cyber (Ar-Ruzz Media, Yogyakarta: 2011)