Al-Ikhtilaf: Sejarah dan Sebab-sebab Kemunculannya

Al-Ikhtilaf: Sejarah dan Sebab-sebab Kemunculannya


      A.       Pengertian Ikhtilaf

Suatu ketika, Sultan Harun Ar-Rasyid meminta izin kepada Imam Malik untuk menggantungkan Kitab Al-Muwaththa’ di Ka’bah dan memaksa agar seluruh umat Islam mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: ”Jangan engkau lakukan itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah furu’(cabang), apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai negeri.”
Sengaja kami menempatkan catatan sejarah tersebut untuk membuka kran pembahasan seputar khilafiyah. Tanpa berpanjang-panjang menyusun kalimat sebenarnya dengan membaca kisah tersebut kita bisa memetik pelajaran tentang masalah khilafiyah. Namun demikian ada baiknya kita mengetahui apa itu khilafiyah, bagaimana sejarahnya, macam-macamnya, apa saja sebab-sebab yang melatarbelakanginya, dan bagaimana baiknya kita menyikapinya.
Khilafiyah dalam bahasa kita sering diartikan dengan “perbedaan pendapat, pandangan, atau sikap”. Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama. Perbedaan pendapat di antara kalangan umat Islam bukan hanya terdapat dalam masalah fiqih saja, tetapi khilafiyah juga melingkupi berbagai macam hal, seperti siyasah (politik), dakwah, dan lain sebagainya. Sebenarnya, ketidaksepakatan yang terjadi di kalangan umat Islam terkadang hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara halal dan haram.
Khilafiyah atau ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam perkara apa saja, termasuk dalam masalah-masalah pandangan agama adalah sangat wajar. Sesuatu yang mustahil dan akan menjadi suatu keajaiban apabila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, madzhab, dan sikap dalam masalah ushul, furu’, dan siyasah. Hanya sebuah mimpi jika semua umat Islam di seluruh penjuru dunia dapat bersatu padu dalam satu istimbat hukum Islam. Akan sangat sulit, dan mustahil bisa tercapai cita-cita orang yang ingin menyatukan umat Islam dalam masalah-masalah tersebut. Sebuah cita-cita yang akan mendapat banyak benturan, dan sia-sia belaka.
Bahkan Dr. Yusuf Al Qaradhawy mengatakan: ikhtilaf pun terjadi di kalangan Nabi dan Malaikat. Adalah Nabi Musa As. berikhtilaf dengan Nabi Harun As. hingga Nabi Musa As. menarik jenggot Nabi Harun As. ketika mendapatkan Bani Israil menyembah anak lembu buatan Samiry.
Begitu pula ikhtilaf Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab terhadap seorang pemuda yang sedang bertaubat yang meninggal dalam perjalanan menuju ke negeri yang baik, apakah diputuskan berdasarkan amalan zhahirnya, ataukah berdasarkan niyatnya.
Ikhtilaf adalah “kekayaan syari'at Islam”. Banyak pendapat dalam syri'at Islam merupakan mutiara-mutiara yang tidak ternilai harganya. Karena ia akan menjadikan ilmu fiqh itu terus tumbuh dan berkembang, karena setiap pendapat yang diputuskan berdasarkan kepada dalil-dalil dan qa'idah-qa'idah yang telah diambil istinbathnya, lalu diijtihadkan, ditimbang-timbang kekuatan dalilnya, ditarjihkan kemudian diterapkan pada masalah-masalah yang serupa dengannya (Qiyas).
Ummat Islam memang harus bersatu itu iya, tetapi persatuan tersebut bukanlah dengan cara menyatukan pendapat dalam masalah ushul, furu’, ataupun siyasah. Melainkan dengan berusaha sekuat mungkin agar ummat Islam bisa saling menghargai perbedaan di antara kalangan setauhid, agar ummat Islam bersatu padu dalam satu cita-cita yang yakni menegakkan dan menyebarluaskan agama Allah di muka bumi ini.
Bagaimana pun perbedaan adalah suatu kepastian, sunnatullah yang manusia tidak mungkin untuk merubahnya. Allah SWT sendiri telah menetapkan adanya perbedaan itu dalam firmanNya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 22)

Ada banyak sekali ikhtilaf dalam Islam, namun yang macam-macam secara umum bisa dibagi menjadi dua golongan besar:
1.              Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan; dan
2.              Ikhtilaf yang bisa dibenarkan.
Ikhtilaf yang tidak bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah aqidah yang prinsip. Masalah yang prinsip atau pokok itu seperti aqidah yang paling dasar, tauhid yang esensial serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak pernah terjadi perbedaan pendapat.  Ikhtilaf sebenarnya sedikit menyentuh masalah kerangka dasar ibadah. Namun, ketika para fuqoha mulai memasuki teknis dan operational yang tidak prinsipil ikhtilaf tidak bisa dibendung kemunculannya.
Ikhtilaf yang bisa dibenarkan adalah ikhtilaf dalam masalah furu’ dan dalam masalah i’tiqod yang tidak prinsip, seperti masalah membaca Basmalah Fatihah Shalat Jahar, masalah Qunut Shubuh, amaliyah kalangan tradisionalis seperti Tahlil, dan lain sebagainya.
Ikhtilaf dalam masalah furu’ adalah boleh. Rasulullah SAW telah bersabda: ”Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mewajibkan sejumlah kewajiban, maka janganlah kamu abaikan, telah mengharamkan banyak hal, maka janganlah kamu melanggarnya, telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu – bukan karena lupa – maka janganlah kamu mencari (kesulitan) di dalamnya.” (HR Imam Daruquthni)
Mari kita cermati baik-baik hadist di atas. Di sana jelas sekali tersirat bahwa Allah tidak lupa ketika membiarkan masalah-masalah yang muncul tanpa diiringi dengan aturan atau ketetapan yang jelas. Allah mendiamkannya dan menetapkan masalah yang didiamkan itu sebagai rahmat bagi kita. Dan karenanya ketika kita mencoba mencari jawaban atas apa yang tidak diterangkan secara rinci dalam kitab suci maka tak boleh kita mencari kesulitan. Artinya, tidaklah kita perlu memaksakan penyatuan pendapat atas masalah-malasah furu’ tersebut.
Betapa seringkali kita menemukan suatu masalah yang tidak kita temukan jawabannya secara rinci di dalam al-Qur’an maupun hadist. Ini kemudian mengharuskan dilakukannya suatu ijtihad. Ijtihad adalah bersungguh-sungguh dalam menggali hukum agama setelah memperhatikan sekalian ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Ijtihad merupakan perkara yang dibenarkan dalam Islam. Sebuah hadis berikut ini memberikan penjelasan kapan dan bagaimana semestinya ijtihad dilakukan:
Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaimana kamu akan memutuskan perkara yang dibawa ke hadapanmu?” Muadz menjawab: “Saya putuskan berdasarkan Kitabullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah?” Muadz menjawab: ”Saya putuskan berdasarkan sunnah Rasul.” Rasulullah bertanya lagi: “Apabila kamu tidak mendapatkannya dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya?” Muadz menjawab: “Maka saya akan berijtihad (ra’yi) dan saya tidak akan ragu sedikit pun.” Rasulullah kemudian meletakkan tangannya ke dada Muadz dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah, sesuatu yang menyenangkan hati Rasulul-Nya.” (HR Imam Tirmidzi dan Abu Dawud).
Jadi, ijtihad sudah dilakukan sejak Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah sendirilah yang menyuruh ummatnya untuk berijtihad. Dalam sabdanya yang lain, Nabi menyuruh Amr ibn Nash untuk memutuskan suatu perkara. Namun Amr Ibn Nash menolak karena ada Nabi di hadapannya. Kemudian Nabi menjawab, “Ya, Berijtihadlah, apabila hakim hendak memutuskan perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala dan apabila hakim hendak memutuskan perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya salah maka mendapat satu pahala.”
Perkara masih dibuka atau ditutupnya pintu ijtihad di masa sekarang membutuhkan tulisan yang panjang, dan tidak akan kami kemukakan pada kesempatan ini. Kami Cuma ingin menggaris bawahi bahwa lantaran ijtihad dari para pendahulu, baik mufasir, fiqoha, dan para pembesar Islam yang lain itulah kemudian ikhtilaf tidak bisa dihindari.
Ikhtilaf  berbeda dengan Iftiraq. Iftiraq menurut bahasa berasal dari kata mufaraqah  yang artinya perpecahan dan perpisahan. Sedangkan menurut istilah para ulama' iftiraq  adalah keluar dari Sunnah dan Jama'ah pada salah satu ushul (pokok) dari perkara-perkara ushul yang mendasar, baik dalam aqidah ataupun amaliyah.
Salim bin Shalih Al-Marfadi sangat menyayangkan, ada sebagian thalabatul ilmi (penuntut ilmu syar'i) yang menghukum pada beberapa masalah ikhtilaf  yang diperbolehkan sebagai iftiraq. Ini adalah kesalahan yang fatal. Penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka tentang prinsip-prinsip iftiraq, kapan dan bagaimana bisa terjadi iftiraq ? Demikian juga (penyebabnya adalah -pent) ketidaktahuan mereka tentang masalah yang diperbolehkan ikhtilaf  dan masalah yang tidak diperbolehkan ikhtilaf. Keterangan berikut ini akan membuat perbedaan antara ikhtilaf yang diperbolehkan dengan iftiraq menjadi jelas.
1.   Iftiraq tidak akan terjadi kecuali pada ushul kubra kulliyah (pokok-pokok yang besar dan mendasar) yang tidak ada peluang untuk diperselisihkan. Pokok-pokok yang telah jelas berdasarkan nash qathi atau ijma' atau telah jelas sebagai manhaj ilmiah Ahlus sunnah wal Jama'ah  yang tidak lagi diperselisihkan (oleh Ahlus Sunnah) mengenainya. Berdasarkan hal itu, maka seorang muslim tidak boleh dicela sebagai yang termasuk firqah  binasa (sesat) kecuali jika perbuatan bid'ah-nya pada masalah-masalah berikut :
    1. Pada masalah yang bersifat mendasar dalam agama, atau pada salah satu kaidah syari'ah, atau pada pokok syari'ah, baik secara total atau dalam banyak bagian-bagiannya, dimana ia terbiasa bersikap menentang terhadap banyak persoalan syari'ah.
    2. Syaikhul Islam pernah ditanya tentang batasan bid'ah  yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa' (pengekor hawa nafsu), beliau menjawab: "Bid'ah  yang mengakibatkan orangnya dianggap ahlul ahwa' (pengekor hawa nafsu) adalah bid'ah  penyimpangannya dari Al-Qur'an dan Sunnah masyhur dikalangan ahli sunnah, seperti bid'ah-nya Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji'ah ...."  [Majmu Fatawa XXXV/414]
2.   Ikhtilaf  yang diperbolehkan itu bersumber dari ijtihad dan niat yang baik, dan orang yang salah akan diberi pahala apabila ia mencari kebenaran. Sementara Iftiraq (perpecahan) tidak terjadi dari kesungguh-sungguhan dalam mencari kebenaran dan niat yang baik, dia timbul dari mengikuti hawa nafsu.
3.   Iftiraq  berkaitan erat dengan ancaman Allah, dan semua iftiraq  menyimpang serta binasa, adapun ikhtilaf yang diperbolehkan tidaklah seperti itu betapapun hebat ikhtilaf  yang terjadi diantara kaum muslimin. (Perbedaan diantara keduanya telah dijelaskan oleh Syaikh Nashr Al-Aql dalam muhadharah (ceramah) yang sangat berharga "Mafhumul Iftiraq” kemudian muhadharah itu dicetak dalam bentuk buku)
Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah: Seputar Tawasul

Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah: Seputar Tawasul

       Oleh: M. Yusuf Amin Nugroho
Tawasul adalah berdoa kepada Allah dengan melalui wasilah (perantara). Dalam arti lain tawasul merupakan sesuatu yang dijadikan perantara untuk mendekatkan diri (tawajjuh) kepada Allah swt guna mencapai sesuatu yang diarapkan dari-Nya.
Bagi warga NU berdoa dengan cara bertawasul (melalui perantara) bukan lagi hal yang dianggap aneh. Sementara kaum Muhammadiyah tidak sependapat dengan cara berdoa dengan bertawasul.
Berdoa dengan wasilah itu sendiri ada beberapa macam, antara lain bertawasul dengan amal sholih, dengan asma’ul husna, orang sholih yang masih hidup, dan bertawasul dengan Nabi dan wali yang sudah meninggal.

Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah: Shalat Tarawih

Oleh: M. Yusuf Amin Nugroho

Shalat tarawih adalah ibadah yang khusus dikerjakan pada bulan Ramadhan, waktunya adalah setelah shalat Isya. Shalat Tarawih bisa dikerjakan berjamaah, maupun dengan cara munfarid (sendiri). Shalat Tarawih hukumnya sunnah muakad. Semua keterangan diatas tidak terdapat ikhtilaf atau disepakati oleh jumhur ulama, termasuk dari kalangan NU maupun Muhammadiyah. 
Ikhtilaf bab shalat Tarawih terdapat pada cara pelaksanaannya, lebih khusus lagi pada jumlah raka’atnya. Di kalangan warga NU shalat tarawih biasa dikerjakan dengan 20 raka’at dan diakhiri dengan 3 raka’at witir. Sementara di kalangan warga Muhammadiyah tarawih biasa dilaksanakan 8 raka’at, dan diakhiri dengan 3 raka’at witir. Pada pelaksanaan shalat witir yang menutup shalat tarawih pun terdapat ikhtilaf. Kalangan Muhammadiyah melakukan shalat witir tiga raka’at sekali salam, dan tidak ada qunut pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan NU melakukan shalat witir 3 raka’at dengan dua raka’at salam, dan satu raka’at salam, juga qunut witir pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Apa yang sudah dipraktekkan di kalangan Muhammadiyah tersebut sebenarnya berbeda dengan apa yang diterangkan dalam kitab Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai jumlah raka’at shalat tarawih. Dalam HTP diterangkan bahwa jumlah rakakat shalat tarawih plus witir tidak harus 11 raka’at (sudah termasuk witir), tetapi bisa kurang dari itu, asalkan jumlah raka’atnya gasal. Demikian pula untuk shalat witir, Tarjih Muhammadiyah memberikan beberapa pilihan, tidak hanya 3 raka’at saja.
Berbeda dengan Muhammadiyah, kalangan NU juga memiliki ciri khas tersendiri dalam mengerjakan shalat tarawih dan witir, khususnya yang dikerjakan berjamaah. Ciri khas, meski tidak dikerjakan oleh semua warga NU, yakni ada pada suratan yang dibaca setelah membaca al-Fatihah, biasanya dimulai dari surat at-Takastur sampai al-Lahab untuk shalat tarawih.
Pada bab ini, penulis hanya akan membahas ikhtilaf shalat tarawih dan witir, beserta raka’at serta suratan yang dibaca pada shalat tarawih dan witir. Untuk pembahasan mengenai qunut witir sudah kami bahas pada bab tersendiri, bersama-sama dengan qunut subuh dan qunut nazilah. 
perbedaan shalat tarawih

1.      Muhammadiyah

Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah pembahasan masalah shalat tarawih dimasukkan pada sub bab tersendiri, disatukan dengan tuntunan mengenai shalat lail. HTP menjelaskan bahwa shalat lail adalah shalat sunat yang biasa dilakukan oleh Nabi saw pada waktu malam hari. Menurut Muhammadiyah shalat lail disebut juga shalat tahajjud, qiyamul-lail dan qiyamu Ramadlan. Di samping itu juga sering disebut dengan shalat witir. Shalat lail hukumnya sunnah, tetapi tarjih lebih senang menggunakan istilah ‘tathawwu’ untuk ragam shalat semacam ini. 
Dalam tanya jawab masalah agama di Majalah suara Muhammadiyah pernah disinggung masalah shalat tarawih. Di sana ditulis, bahwa shalat lail disebut shalat tahajjud karena, shalat tersebut dilaksanakan setelah bangun tidur. Disebut shalat witir karena dalam melaksanakan shalat tersebut diakhiri dengan witir (bilangan ganjil). Disebut qiyamul-lail karena, shalat tersebut dilaksanakan hanya pada waktu malam. Disebut qiyamu Ramadlan karena shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadlan dan istilah yang sering digunakan untuk shalat lail di bulan Ramadlan adalah shalat tarawih karena, dalam shalat malam tersebut dilaksanakan dengan bacaan yang bagus dan lama dan setelah empat raka’at pertama dan kedua ada istirahat sebentar.

Untuk mempermudah kita memahami pembahasan shalat lail karena dalam HPT diterangkan dengan panjang lebar, maka alangkah baiknya pembahasannya ini kita pecah menjadi tiga, yakni, shalat tarawih, dan shalat witir.

a.      Shalat Tarawih

Jumlah raka’at yang dituntunkan Tarjih dalam shalat tarawih adalah 11 raka’at, dikerjakan dengan cara dua-dua raka’at (sebanyak 4 kali) ditambah tiga raka’at witir.
Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Rasulullah saw yang artinya:

Beralasan hadis Ibnu Umar yang mengatakan: “Seorang lelaki bangkit berdiri lalu menanyakan: “Bagaimana cara shalat malam, hai Rasulullah?” Jawab Rasulullah: “Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir akan terkejar shubuh, hendaklah negkau kerjakan witir atau satu raka’at saja.” (HR. Jama’ah)

Juga berdasar pada hadist Ibnu Abbas, yang artinya:

“Lalu aku berdiri di samping rasulullah; kemudian ia letakkan tangan kanannya pada kepala saya dan digangnya telinga kanan saya dan ditelitinya, lali ia shalat dua raka’at kemudian dua raka’at lagi, lalu dua raka’at lagi kemudian dua raka’at, lalu shalat witir, kemudian ia tiduran menyamping sehingga datang bilal menyerukan adzan. Maka bangunlah ia dan shalat dua raka’at singkat-singkat, kemudian pergi shalat shubuh. (HR. Muslim)

Juga hadis Rasulullah yang artinya:

“Diriwayatkan dari Zaed bin Khalid al-Juhany ia berkata, sungguh saya mencermati shalat Rasulullah saw. pada suatu malam, beliau shalat dua raka’at yang ringan-ringan, kemudian shalat dua raka’at yang panjang (lama) sekali, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari dua raka’at sebelumnya, lalu kemudian melakukan witir. Maka demikianlah, shalat tigabelas raka’at.” [HR Abu Dawud, bab fi Shalat al-Lail]

Dalil lain yang digunakan Dewan Tarjih Muhammadiyah adalah hadist dari Abu Salamah yang artinya sebagai berikut:

“Diriwayatkan dari Abu Salamah Ibn ‘Abdul Rahman bahwa, ia bertanya kepada ‘Aisyah r.a bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan. ‘Aisyah menjawab: Baik di bulan Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail) tidak lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at; dan jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi empat raka’at; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga raka’at.” (HR al-Bukhari, Kitab Shalat at-Tarawih, Bab Man Qama Ramadlan)

Mengenai cara pelaksanaannyanya, tentang berapa raka’at lalu salam, HPT menyatakan: “Jika engkau hendak mengerjakan shalat dengan cara lain, maka yang sebelas raka’at itu boleh engkau kerjakan dua-dua raka’at, atau empat-empat raka’at seperti di atas, atau di enam raka’at.” Di samping juga dinyatakan: “Atau delapan raka’at terus menerus dan hanya duduk pada penghabisan salam.”

Dalil yang dijadikan rujukan adalah hadis Abdullah bin Abu Qais dan hadist Abi Salamah, yang artinya:

Abdullah bin Abu Qais bertanya kepada Aisyah “Berapa raka’at Rasulullah shalat witir?” Ia menjawab: “Ia kerjakan witir empat lalu tiga atau enam lalu tiga, atau delapan lalu tiga atau sepuluh lalu tiga, ia tak pernah berwitir kurang dari tujuh raka’at dan tidak lebih dari tiga belas.” (HR. Abu Dawud)

Selain itu juga berdasar pada hadis Abu Salamah, yang artinya:

Pernah Abu Salamah bertanya kepada Aisyah tentang shalat Rasulullah, maka ia menjawab: “Ia kerjakan tiga belas raka’at. Ia shalat delapan raka’at kemudian shalat witir lalu shalat dua raka’at sambil duduk kalau ia hendak ruku’ ia bangkit lalu ruku’. Kemudian dari pada itu ia shalat dua raka’at antara adzan dan iqamah pada shalat shubuh. (HR. Muslim)

Diterangkan riwayat Abu Dawud dari Qatadah, kadanya: “Nabi shalat delapan raka’at dengan tidak duduk (tahiyat) kecuali pada raka’at yang kedelapan. Dalam duduk itu membaca dzikir dan doa kemudian membaca salam dengan salam yang terdengar sampai kepada kami; lalu shalat dua raka’at sambil duduk setelah ia baca salam, kemudian ia shalat lagi satu raka’at. Itulah sebelas raka’at semuanya, hai anakku.” (HR. Abu Dawud)

Mengenai hadis Abdullah bin Qais, Tarjih memberi catatan penjelasan bahwa yang dimaksud Shahabat Abdullan bin Abi Qais pada pernyayaannya ialah bilangan raka’at yang dikerjakan oleh Nabi sepanjang malam hari.

Sedangkan mengenai surat yang dibaca setelah al-Fatihah di setiap raka’at shalat lain, Tarjih tidak menentukan nama suratnya, melainkan hanya menyebutnya surat dari Al-Qur’an.

Dasarnya ialah hadis dari Aisyah, yang artinya:

Aisyah pernah ditanya tentang shalat Rasulullah di tengah malam lalu ia mengatakan: “Ia kerjakan shalat Isya dengan berjamaah kemudian ia kembali kepada keluarganya, lalu shalat empat raka’at kemudian ia pergi ke peraduannya lalu tidur, di arah kepalanya terletak tempat air wudhu yang ditutupi dan sikat gigi, sampai ia dibangunkan Allah pada saat ia dibangunkan pada tengah malam, ia lalu menggosok giginya dan berwudhu, dengan sempruna kemudian pergi ke tempat shalat lalu ia shalat delapan raka’at.

“Dalam raka’at-raka’at itu ia membaca fatihah dan surat al-Quran dan ayat-ayat lainnya. Ia tidak duduk (untuk tahiyat awal) selama itu kecuali pada raka’at ke delapan dan tidak menutup dengan salam. Pada raka’at ke sembilan ia membaca seperti seblumnya lalu duduk tahiyat akhir membaca doa dengan macam-macam doa dan mohon kepada Allah serta menyatakan keinginannya kemdian ia membaca salam sesekali dengan suara keras yang hampir membangunkan isi rumah karena nyaringnya. Kemudian ia shalat sambil duduk dengan memabca Fatihah dan ruku’ sambil duduk lalu ia kerjakan raka’at kedua serta ruku’ dan sujud sambil duduk kemudian membaca doa sepuas hatinya dan akhirnya menutup dengan salam dan lalu bangkit pergi.

“Demikianlah selalu shalat Rasulullah sampai akhirnya bertambah berat badannya. Maka lalu yang sembilan raka’at itu dikurangi dua sehingga menjadi enam dan tujuh ditambah dua raka’at yang dikerjakan sambil duduk. Demikianlah dikerjakan sampai Nabi wafat. (HR Abu Dawud)

Tarjih menerangkan mengenai bilangan enam dan tujuh dalam hadis di atas, yaitu bahwa Nabi mengerjakan shalat enam raka’at lalu duduk untuk tahiyat awwal kemudian berdiri dan pada raka’at ketujuh menutupnya dengan salam lalu shalat dua raka’at sambil duduk”. Dari hadis tersebut di atas itulah didapati pengertian mengenai mudahnya mengerjakan shalat lail, sehingga tidak mengharuskan bilangan raka’at sebelas, tetapi asalkan gasal.

Abdul Munir Mulkhan menulis, apa yang tercantum di HTP Muhammadiyah dalam masalah shalat lail berbeda dengan praktik kebiasaan di kalangan warga Muhammadiyah, khusunya yang menyangkut jumlah raka’at. Hal ini juga bisa dilihat pada putusan Tarjih mengnai jumlah raka’at witir.

b.     Shalat witir

Kalau dalam praktik dan kebiasaan warga Muhammadiyah melakukan witir 3 raka’at, dalam HTP diterangkan bahwa witir tidak harus 3 raka’at. Melainkan, bisa 1, 3, 5, atau 9 raka’at. Dasar pelaksanaan witir 3 raka’at adalah sebagaimana hadis dari Aisyah tersebut di atas.

Berikut akan dikemukakan penjelasan Tarjih mengenai ragam jumlah raka’at witir, sebagaimana telah ditulis Abdul Munir Mulkhan (2007):
a.   Satu atau tiga raka’at. Ragam jumlah raka’at witir satu atau tiga demikian berdasarkan dua buah hadis Aisyah yang artinya sebagai berikut:
“Adapun Rasulullah mengerjakan shalat pada waktu antara ia selesai shalat Isya yaitu yang orang namakan ‘atamah hingga fajar sebelas raka’at dengan membaca salam antara dua raka’at lalu shalat witir satu raka’at, kemudian apabila muadzin telah selesai seruan shubuhnya, dan terlihat olehnya akan fajar dan Bilal menghampirinya ia lalu shalat dua raka’at singkat-singkat kemudian berbaring pada lambung kanan sampai muadzin datang kepadanya untuk seruan iqamah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dasar lainnya adalah:

“Asisyah menerangkan: “Adapun Rasulullah mengerjakan shalat witir tiga raka’at dengan tidak dipisah-pisahkan (HR. Ahmad, Nasai, Baihaqi, dan Hakim mengatakan bahwa hadis shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim)

b.  Lima atau tujuh raka’at. Penjelasan tarjih mengenai jumlah raka’at witir menyatakan bahwa bilangan raka’at witir dpat terdiri dari lima atau tujuh raka’at dengan duduk pada penghabisannya. Dasar dari ragam jumlah raka’at witir di ata ialah hadis Abu Hurairah, Airyah, Ummi salamah dan Ibnu Abbas.

Hadis Abu Hurairah, yang artinya:

Dari Nabi Saw, ia berkata: “Jangan mengerjakan witir tiga raka’at seperti shalat maghrib (dengan tahiyat awal). Hendaklah kamu kerjakan lima atau tujuh raka’at”. (HR. Daraquthni, Ibu Hibban, dan Hatim dengan kata-kata yang berbeda. Kata al Iraqi sanadnya shohih)

Hadist Aisyah, yang artinya:

Rasulullah sering mengerjakan shalat malam tiga belas raka’at dengan perhitungan lima daripadanya selaku witir yang ia kerjakan terusan tanpa duduk kecuali pada akhirny” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadist Ummi Salamah, yang artinya:

“Rasulullah selalu mengerjakan witir tujuh atau lima raka’at tanpa dipisah antara semuanya dengan bacaan salam atau lainnya.(HR. Nasai dan Ibnu Majah)

Dan hadis Ibnu ‘Abbas, yang artinya:
“Kemudian Nabi shalat tujuh atau lima raka’at dengan pengertian witir, yang tidak ia memabca salam kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Abu Dawud)

c.   Tujuh raka’at. Penjelasan tarjih mengenai ragam bilangan witir menyatakan bahwa berjumlah tujuh raka’at dengan duduk tasyahud awwal pada raka’at keenam dan diakhiri pada raka’at ketujuh dengan duduk untuk salam. Dasarnya ialah hadis Sa’ad bin hisyam, yang artinya sebagai berikut:

“Maka setelah ia bertambah berat badannya karena usia lanjut, ia kerjakan witir tujuh raka’at dengan hanya duduk antara yang keenam dan yang ketujuh untuk hanya membaca salam pada raka’at yang ketujuh.” (HR. Ahmad, Nasai, dan Abu Dawud)

d.     Sembilan Raka’at. Tarjih menyatakan bahwa ragam jumlah bilangan raka’at witir ada yang mencapai sembilan raka’at. Dalam hal ini tarjih menyatakan bahwa jumlah witir ialah sembilan raka’at dengan duduk tasyahud awwal pada raka’at kedelapan dan diakhiri pada raka’at kesembilan dengan duduk untuk salam.

Penjelasan mengenai jumlah raka’at sebanyak sembilan raka’at tersebut didasarkan sumber dalil dari hadis Aisyah sebagaimana telah dikutip dalam bahasan mengenai ketentuan membaca fatihah dan surat dari al-Qur’an sebagaimana telah tersebut di atas.

Kemudian, mengenai surat-surat yang dibaca dalam shalat witir sebagaimana kebiasaan Rasulllah, dalam HTP dijelaskan bahwa surat yang dibaca ialah surat al-A’la sesudah membaca al-Fatihah pada raka’at pertama. Selanjutnya, membaca surat al-Kafirun pada raka’at kedua, sementara itu surat al-Ikhlas dibaca pada raka’at ketiga. Cara demikian ini berdasarkan hadis Ubai Bin Ka’ab yang artinya:

Bahwasannya, Nabi saw pada shalat witir, ia membaca: “Sabbihisma rabikal a’la dan “Qul ya-ayyuhal kafirun” pada raka’at kedua dan: “Qulhuwallahu ahad’ pada raka’at ketiganya.” (HR. Nasai dan Tirmidzi serta Ibnu majah)

Demikianlah pendapat Muhammadiyah berkaitan dengan shalat lail, qiyamu Ramadhan, atau tarawih dan juga shalat witir. Ternyata memang cukup panjang sehingga dimasukkan dalam sub bab khusus, tidak digabung dengan shalat sunnah atau ‘tathawwu’ yang lain.

rakaat shalat tarawih

2. Nahdhatul Ulama (NU)
  1. Shalat tarawih
 NU memiliki basis massa tidak hanya dipelosok-pelosok pedesaan, tetapi juga di pesantren-pesantren. Praktik shalat tarawih di lingkungan pesantren dan luar pesantren yang nota bene masih sama-sama NU ternyata memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Jumlah raka’atnya kalangan NU menyepakati yang 20 raka’at ditambah dengan 3 raka’at witir. Ciri khas tersebut terletak pada suratan yang dibaca setelah fatihah. 
Sebelum lebih jauh ke sana, barangkali lebih tepat jika kita bahas lebih dulu mengenai dasar-dasar yang digunakan NU berkaitan dengan shalat tarawih. Bahwa shalat tarawih secara berjamaah adalah mengikuti tuntunan dari shahabat Umar bin Khaththab r.a. dan Sahabat Umar beserta pada shabat yang lain menjalankannya 20 raka’at ditambah 3 raka’at witir. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Muwaththa’, juz I, yang artinya sebagai berikut:

Dari Yazid bin Hushaifah, “Orang-orang (kaum muslimin) pada masa Umar melakukan shalat tarawih di bulan Ramadhan 23 raka’at.”

Selain dasar di atas, sebagaimana ditulis KH Munawwir Abdul Fattah dari Pesantren Krapyak Yogyakarta, bahwa Warga Nahdliyyin yang memilih Tarawih 20 raka’at ini berdasar pada beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II, disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat dengan riwayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar, Utsman dan Ali sebanyak 20 raka’at.

Juga berdasar dari hadis Ibnu Abbas yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW shalat Tarawih di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Raka’at ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani).

Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa Rasulullah shalat bersama kaum muslimin sebanyak 20 raka’at di malam Ramadhan. Ketika tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun Rasulullah tidak keluar. Kemudian paginya beliau bersabda:

Aku takut kalau-kalau tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu melaksanakannya.”

Hadits tersebut di atas disepakati kesahihannya dan tanpa mengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan raka’atnya. (Dalam hamîsy Muhibah, Juz II, hlm.466-467)

Hadis lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Pada suatu malam Rasulullah saw. keluar dan shalat di masjid, maka ada beberapa bermakmum padanya dan pada pagi harinya orang bicara, bahwa ia telah shalat bersama Rasulullah semalam, maka berkumpullah orang-orang dan ikut shalat bersama Nabi saw. Dan pada pagi hari mereka juga memberitahu kepada kawan-kawannya sehingga banyak orang yang shalat di malam ketiga, dan Rasulullah saw. tetap keluar untuk shalat bersama mereka, kemudian pada malam keempat penuhlah masjid sehingga tidak muat masjid karena banyaknya orang, tetapi Rasulullah saw sengaja tidak keluar kecuali setelah adzan subuh untuk shalat subuh, kemudian setelah shalat subuh menghadap kepada Shahabat dan membaca dua kalimat syahadat lalu bersabda: Amma ba’du, sebenarnya keadaanmu semalam telah aku ketahui, tetapi sengaja aku tidak keluar karena kuatir kalau-kalau shalat malam ini diwajibkan atas kalian sehingga kalian mereasa tidak kuat melaksanakannya.” (HR. Bukkhari dan Muslim)

Demikianlah dasar shalat tarawih di kalangan NU, meskipun tidak terlalu panjang tetapi sudah dianggap cukup untuk mengambil cara pelaksanaan shalat tarawih yang 20 raka’at.
Ciri khas pelaksanaan shalat tarawih di “masjid-masjid NU” yakni biasanya ada seorang petugas yang dikenal dengan istilah bilal yang tugasnya adalah akan mengumumkan tibanya shalat tarawih.

Shalat tarawih dikerjakan dengan cara dua raka’at salam. Pada tiap raka’at pertama biasanya setelah al-Fatihah membaca surat-surat pendek, yang diawali dengan surat at-Takastur, demikian seterusnya hingga pada surat al-Lahab. Sementara untuk raka’at yang kedua suratan yang dibaca adalah surat al-Ikhlas.

Para imam Tarawih NU umumnya, demikian Munawir Fattah  memilih shalat yang tidak perlu bertele-tele. Sebab ada hadits berbunyi: "Di belakang Anda ada orang tua yang punya kepentingan.” Maka, 23 raka’at umumnya shalat Tarawih lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit.

Tetapi di lingkungan pesantren terkadang berbeda. Ada beberapa “pesantren NU” yang mengerjakan tarawih dengan membaca surat-surat yang panjang. Dalam 20 raka’at tarawih ada yang sampai menyelesaikan 2 juz al-Qur’an. Apa yang dilakukan di pesantren tidak berbeda jauh dengan shalat tarawih di Masjidil Haram, Makkah. Di sana, 23 raka’at diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci Al-Qur’an dari awal, terus berurutan menuju akhir Al-Qur’an.

b.     Shalat Witir

Shalat witir sebagai penutup shalat tarawih di kalangan NU dikerjakan 3 raka’at dengan cara dua raka’at salam dan diteruskan dengan satu raka’at salam.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang tertulis dalam kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram bahwa shalat Tarawih di Masjidil Haram sejak masa Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Usman, dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 raka’at dan 3 raka’at Witir.

Untuk suratan yang dibaca setelah al-Fatihah dalam shalat witir, pada raka’at pertama dianjurkan surat al-A’la dan raka’at kedua adalah surat al-Kafirun. Hal ini senada dengan Muhammadiyah dan dasar yang digunakan juga sama. Yang berbeda adalah raka’at witir yang ketiga.

Raka’at witir yang ketiga dikerjakan sendiri, atau dengan 1 raka’at. Biasanya surat yang dibaca secalah al-Fatihah adalah surat al-Ikhlas, ditambah al-Falaq, dan an-Nas. Selain itu pada separuh terakhir bulan ramadhan, pada raka’at yang ketiga ini, setelah bangun dari rukuk dilakukan pembacaan qunut, biasa disebut dengan qunut witir. 

-------
Berkaitan dengan Shalat Tarawih anda juga bisa membaca juga: Perbedaan NU dan Muhammadiyah dalam Menentukan Awal Ramadhan dan 1 Syawal. Anda juga bisa mengunduh dan membaca buku saya tentang persoalan ikhtilaf lain antara NU dan Muhammadiyah. Silakan unduh: Fiqh Al-Ikhtilaf: Nu-Muhammadiyah. 

Demikian semoga bermanfaat 
Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah: Seputar Masalah Qunut

Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah: Seputar Masalah Qunut

      Oleh: M. Yusuf Amin Nugroho

Terdapat tiga poin yang akan kita bicarakan dalam masalah Qunut, yakni Qunut Subuh, Qunut Nazilah, dan Qunut Witir. Tiga macam qunut ini adalah masalah khilafiyah yang tidak asing lagi di kalangan umat Islam, perbedaan itu juga terjadi di antara NU dan Muhammadiyah.
Dalam masalah qunut subuh, NU bermadzhab kepada Imam Malik dan Syafi’i yang mana qunut subuh dimasukkan dalam perkara sunnah ab’adh, sunnah yang apabila lupa tidak dikerjakan maka disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi. Sementara Muhammadiyah, tidak membenarkan adanya qunut (berdoa “allahummah dinii.. dst) di shalat subuh.
Untuk masalah qunut nazilah, NU menghukuminya sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi), karena Nabi juga melakukannya. Sementara Muhammadiyah, memutuskan tarjihnya bahwa qunut nazilah tidak lagi boleh diamalkan, sebab sudah terjadi mansukh, tetapi qunut nazilah juga boleh dilakukan selama tidak menggunakan kutukan dan permpohonan pembalasan dendam terhadap perorangan.
Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah: Seputar Shalat Jumat

Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah: Seputar Shalat Jumat

      Oleh: M. Yusuf Amin Nugroho

Shalat jum’at adalah ibadah fardhu ‘ain bagi laki-laki yang mukallaf, tak ada ikhtilaf di titik ini. Perbedaan di kalangan ulama fiqih baru muncul pada tata cara pelaksanaannya. Kita tidak perlu terkejut ketika shalat Jumat di kampung orang lain, yang mana cara pelaksanaannya berbeda dengan shalat jumat di kampung kita. Dan kita tak perlulah terburu-buru menganggap bahwa shalat Jumat di kampung “B” salah, bid’ah, atau telah keluar dari syariat, hanya karena berbeda tata cara pelaksanaannya dengan yang biasa kita lakukan.
Muhammadiyah dan NU, sebagai organisasi Islam yang memiliki massa terbesar di Indonesia, memiki pendapat yang berbeda dalam hal tata cara pelaksanaan shalat Jumat. Perbedaan tersebut, antara lain terletak pada pertanyaan, apakah adzan Jumat dilakukan satu kali atau dua kali? Apakah dalam shalat jumat perlu adanya shalat qobliyah? Apakah petugas khotib perlu menggunakan tombak sewaktu khotbah?
Ringkasan pada bab ini adalah, sebagai berikut:
a.      Dalam masalah adzan Jumat, Muhammadiyah berpendapat bahwa adzan Jumat hanya satu kali yakni setelah khatib naik ke mimbar dan menguapkan salam. Sementara NU berpendapat bahwa adzan Jum’at dilakukan dua kali, sebelum khatib naik mimbar, dan setelah khatib naik mimbar dan mengucapkan salam.
b.   NU berpendapat bahwa shalat qabliyah Jumat adalah sunnah, sebagaimana shalat qabliyah dhuhur, sementara Muhammadiyah tidak menganggapnya bagian dari sunnah.
c.  Petugas Khotib di masjid-masjid NU biasanya memegang tombak ketika khotbah, bagi Muhammadiyah itu tidak perlu.

Memang, kita tidak bisa seketika menyimpulkan; misal jika di sebuah masjid adzan shalat Jumat dilakukan dua kali berarti masjid tersebut di kuasai warga NU, dan sebaliknya, jika adzan Jumat cuma satu kali berarti “dikuasai” warga Muhamamdiyah. NU dan Muhammadiyah hanya mengeluarkan fatwa, dengan harapan bisa dijadikan rujukan bagi kaum Muslimin, khususnya bagi kelompoknya. Fatwa-fatwa tersebut akan kami jabarkan satu persatu, bukan dengan maksud untuk mengotak-kotakkan. Melainkan agar kita semakin dapat memahami perbedaan pendapat seputar pelaksanaan shalat Jumat.