Sedikit Sakit Untuk Banyak Kesehatan

Sedikit Sakit Untuk Banyak Kesehatan


Siapa pun pernah sakit, fisik atau psikis. Dan sakit gigi tidak juga lebih baik dari sakit hati. Memang tidak ada yang menginginkan diri untuk sakit, lebih-lebih sakit gigi, meski dalam beberapa kasus banyak orang menyakiti jiwa, pikiran, atau tubuhnya sendiri, sadar atau pun tidak. Tetapi memang sakit terkadang diperlukan biar kita bisa tahu sebenar-benarnya apa yang disebut sebagai sehat.
Tenanglah. Setiap sakit ada obatnya. Silahkan dipikirkan atau tidak usah dipikir sama sekali tentang lebih dulu mana, obat atau sakit? Yang jelas kita semua ingin sehat. Dan konon, rahasia sebuah kesehatan berawal dari pikiran. Maka, katakanlah, “aku sehat maka aku sehat”.
Anda katakan itu seribu kali, atau tuliskan itu di cermin bagi engkau yang suka bercermin, maka sakit dan penyakit akan menyingkir pelan-pelan dan anda dapat hidup nyaman bergelimang kesehatan. Ini bahasa seorang motivator, bung! Dan saya yang bukan tetangga motivator itu, sudah menarapkannya dan memang ada betulnya juga.
Suatu hari, atau sekitar sebulan silam, saya mengalami sebuah penyakit yang aneh. Aneh, karena sebelumnya saya tidak pernah mengalaminya. “Kesemutan”, itulah dia nama rakyatnya. Jadi tanganku, betis sampai ujung kakiku, bahuku, juga perut dan punggungku, terasa tidak beres. Terasa griming-griming kalau menyentuh atau bersentuhan dengan sesuatu. Apapun sesuatu itu.
Saya mendiamkan. Tapi tak bisa juga mencegah untuk ngomel sama teman-teman. Beberapa saran saya dapatkan. Banyak minum air putihlah, olah ragalah, istirahat yang cukuplah, stop kopilah, tak satupun saya terapkan. Diam-diam, karena penasaran, saya coba juga search di google. Lalu muncul beberapa artikel mengerikan. “hati-hati dengan kesemutan” dan lain-lain sejenis itu. Ya srokelah, ya diabetes, syarat terjepitlah, reumatiklah, kankerlah, waduh, waduh! Takut juga tentunya.
Lalu saya konsultasikan ke saudara saya yang perawat. Dan saya diberinya obat, neurobion. Saya langsung untal. Saya juga tidak lagi ngopi setelah saya baca salah satu artikel dari dokter siapa. Heran, saran dari teman saya kurang percaya. Tapi dari dokter yang entah siapa saya kok percaya.
Paginya masih saja jutaan semut menyerbu tubuh saya. Lalu berangkatlah saya ke tukang pijat. Tukang pijat di sebuah kampung, belum terkenal memang, tetapi saya toh tetap pergi ke sana berdasarkan pengalaman teman yang pernah jadi pasiennya. Saya dipijat lebih dari satu jam, dengan baby oil. Menjerit-jerit saya tidak bisa menahan. Malamnya tubuh saya njarem, paginya semut-semut sialan itu belum pergi juga.
Keesokan harinya, saya dipaksa istri untuk periksa ke dokter. Ampun. Saya benar-banar takut. Tetapi tidak ingin istri terus ngomel, karena khawatir dengan kesehatan saya, berangkatlah saya ke dokter syaraf di RSUD Setjonegoro Wonosobo.
Dokter itu ngapak, dan belakangan saya tahu ia orang Banjarnegara. Sudah empat hari ini saya kesemutan, Dok? Sudah tidak ngopi dan sudah minum neruobion. Tapi kenapa masih saja ya, Dok? Saya sadar sesasar-sadarnya saya kalau Dok berbeda dengan Dog.
“Merokok tidak?” saya mengangguk. “Nah! Jangan ngerokok kalau ingin sehat. Kurangi makan-makan yang enak. Dan berolah raga.”
Tapi sebenarnya sakit saya apa, Dok? Indikasi apa? Apa penyebabnya?
“Sudah, ini saya kasih obat. Kalau seminggu belum sembuh juga, nanti test laborat.”
Saya keluar ruang praktek si Dok dengan membawa tulisan acakadut, menuju ke Apotik, lalu kasir, lalu dompet.
Seminggu kemudian, setelah pagi, siang, malam saya menelan obat, tidak ngopi, tetap udud, ditambah jalan pagi bersama anak, dan bulutangkis bersama isteri, alhamdulillah kesemutan saya lenyap. Saya pun lalu berani ngopi lagi, mengira semut-semut itu tidak akan datang kembali. Tetapi, dua hari kemudian, datanglah kembali kesemutan itu. Saya mendiamkannya, tidak mengatakan kepada siapapun. Sebab saya pernah baca dan mungkin saya keliru menafsirkannya, “mengeluhkan penyakit yang kita rasakan tidak akan membuatnya sembuh. Sebaliknya, menganggap diri sehat, akan mengusir penyakit itu pelan-pelan.” Itu petuah dari kitab mashyur The Secret kalau tidak salah.
Sampai lebih dari dua minggu saya selalu mengatakan sehat dan sehat, setiap istri atau teman-teman menanyakan kabar. Meski saya masih rutin nguntal neurobion, obat yang mengandung vitamin B1 dan B-B yang lain. Obat itu konon untuk kesehatan syaraf.
Tapi istri selalu tidak percaya kalau saya sudah pulih benar dari kesemutan. Dan suatu ketika saya keceplosan juga. Langsung kesesokkan harinya, saya diseretnya kembali ke Dokter yang kemarin. Di ruang praktek si Dok saya dimarah-marahi karena tidak mengindahkan nasehatnya untuk tidak merokok. Saya diberi lagi tulisan acakadut lagi, dan disuruh cek laborat.   
Aduh! Saya disuntik. Tepatnya di bagian lengan, diambil darahnya. Satu jam kemudian keluarlah hasilnya: Gula darah normal, asam urat normal, cholesterol normal meski di angka 184 mg/dL (saya tidak paham mg/dL itu apa), dan tulisan Trigliserida cetak tebal, 220  mg/dL. Saya bawa hasil pemeriksaan laborat itu kembali Poli Syarat.
Apakah ada obat tambahan lagi, Dok?
“Tidak perlu, yang penting kurangi makan yang enak-enak dan berolah raga.”
***
Melalui note ini saya ingin berterimakasih kepada Tuhan yang telah mengingatkan saya dengan cara yang bijak. Saya diberi-Nya kesemutan untuk terhindar dari penyakit “gajah”.  
Lebih Baik Juara Tiga

Lebih Baik Juara Tiga


Ada yang pernah nonton Children Of Heaven? Aku pernah. Dua kali. Pertama nonton cuma sekilas. Hanya sepotong, tidak begitu mengamati, dan aku lupa menontonnya di mana. Baru beberapa malam lalu, setelah tadi pagi aku mendapat copy film itu dari teman, aku menuntaskan menghabiskan malam bersamanya, dilanjutkan menulis catatan ini.

Film tersebut dibuka dengan adegan seorang tukang sol sepatu tengah menjahit sepasang sepatu imut perempuan berwarna ungu. Ya, ini kisah tentang sepatu. Tentang sebuah keluarga miskin yang hidup di sebuah dataran kampung di Timur Tengah sana. Namanya Ali. Ia membawa sepatu ungu punya adiknya yang baru disol. Mampir di warung sayuran, Ali meletakkan sepatu itu di emperan. Ketika sedang memilih kentang, seorang tukang sampah datang meminta ijin untuk mengambil sampah-sampah plastik di emperan warung tersebut. Naas, sepatu milik Zahra, adiknya Ali turut diangkut juga. Dari situlah drama mengharukan ini dimulai.

Zahra dan Ali adalah kakak beradik yang begitu rukun. Zahra baru kelas lima sekolah dasar. Ia masuk sekolah pagi, entah jam berapa, film ini tidak sekali pun menunjukkan gambar jarum. Hanya bunyi bel dan bel sekolahan. Sementara Ali, masuk agak siang, mungkin sekitar jam 10 atau jam 11 waktu setempat.

Ali merasa sangat berdosa karena telah menghilangkan seputu Zahra. Untunglah Zahra baik hati sehingga tidak memberitahukan kabar buruk itu kepada ayah atau ibunya. “Nanti kau dan aku dipukuli ayah.” Demikian Ali menakut-nakuti adiknya. Ya, ayah Zahra memang keras, tetapi sebagaimana kebanyakan Ayah, ia sesungguhnya memiliki hati yang lembut dan sayang kepada anaknya. Ia bekerja sebagai pembuat minuman di sebuah kantor dengan penghasilan yang lebih sering kurang-sudah beberapa kali pemilik kontrakan datang menagih, dan meski ia punya pekerjaan lain sebagai tukang pecah gula, tetap saja masih kurang untuk menghidupi seorang istri yang terkena tumor dan tiga anaknya. Tapi, sungguh keren, ia pantang meminta-minta bahkan untuk mengambil sedikit gula yang ia pasrahkan kepadanya.

Kembali ke seputu. Zahra yang tidak lagi punya sepatu akhirnya rela bergantian dengan Ali. Setiap pagi ia berangkat ke sekolah dengan sepatu milik Ali yang kebesaran dan pulangnya ia mesti berlari. Sebab, di sudut sebuah lorong Ali sudah menunggu giliran sepatu itu. Begitu Zahra tiba, Ali segera memakai sepatu itu dan kencang berlari menuju sekolahan.

Bertukar sepatu dengan sandal. Berlari dan berlari. Adegan yang sama tersebut diulang lebih dari lima kali. Ini film bagus, dan meskipun banyak adegan sama diulang-ulang, itu tidak menjadikannya membosankan, bahkan justru menjadi salah satu kekuatan film ini.

Suatu ketika ada sebuah perlombaan lari jarak jauh di kota. Ali yang belum cukup umur ngeyel untuk ikut. Sebab salah satu hadiahnya adalah sepatu. Akhirnya, setelah ditest, Ali diperbolehkan ikut. Sebelum berangkat berlomba Ali mengatakan kepada Adiknya bahwa ia akan ikut lomba lari dan berjanji akan menjadi juara tiga.
“Kenapa juara tiga, tidak juara pertama saja?”
“Sebab juara tiga hadiahnya sepatu. Juara pertama lain lagi. Aku akan juara tiga dan memberikan sepatu itu untukmu.”
“Itu kan sepatu laki-laki.”
“Aku akan menukarnya dengan sepatu perempuan.”

Berangkatlah Ali ke kota untuk ikut perlombaan. Sampai di sini sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi. Bahwa Ali pasti juara. Tetapi juara berapa? Ia ingin juara tiga, dan membawa pulang sepatu olah raga dan menukarkannya dengan sepatu perempuan untuk adiknya. Tetapi apa yang terjadi? Kejadian apa yang dipilih oleh penulis skenario? Ali gagal, sebab ia justru juara pertama. Ia pulang ke rumahnya yang didepannya terdapat sebuah kolam. Zahra tengah mencuci dot di situ. Mereka berpandangan. Ali tampak pucat dan sedih. Lalu terdengar suara bayi menangis. Zahra segera belari dengan dotnya. Sementara Ali melepas sepatunya yang sudah jebol dan kumuh. Kakinya lecet-lecet. Ia lalu merendam kakinya di kolam yang kemudian disambut oleh ikan-ikan merah. Khatam!

Sebuah ending yang sangat menyedihkan dan membuat hatiku meneteskan air mata-jika aku perempuan tidak mustahil mataku akan menangis basah. Mestinya Ali juara tiga saja. Ya, mestinya begitu dan ending bahagia dengan Ali pulang membawa sepatu baru untuk Zahra. Tetapi demikianlah, kita penonton hanya bisa menonton. Kisah dalam film ini adalah sebuah ironi tentang sebuah negara dengan instansi sekolah yang kurang memperhatikan para siswa. Ali yang notabene merupakan siswa cerdas dan berprestasi tetapi miskin, mestinya mendapatkan bantuan. Ia dan keluarganya bukanlah tipe peminta-minta belas kasihan orang lain. Jika pihak sekolah atau mau membuka mata dan kesadarannya, tentu mereka akan memberi bantuan tanpa terlebih dulu diminta atau diusulkan.

Ah, sasaran kritik film ini tentu bukan hanya pemerintah dan instansi sekolah, tetapi juga hati setiap penonton. Sebuah ajakan halus supaya kita bersyukur dan menebarkan semangat untuk terus berbagi.