Kumpulan Cerpen "Gadis Kecil yang Mencintai Nisan"

Kumpulan Cerpen "Gadis Kecil yang Mencintai Nisan"


Gadis Kecil yang Mencintai Nisan
Pengarang : Jusuf AN
Tebal : x + 94 halaman
Ukuran : 14 x 21 cm
Penerbit : Indie Book Corner
Tahun terbit : 2012

Jusuf AN kembali melahirkan sebuah karya sastra, kali ini merupakan sebuah kumpulan cerpen. Antologi cerpen ini merupakan salah satu naskah yang menjadi pemenang Sayembara Buku Indie 2011 yang diselenggarakan oleh Indie Book Corner.

Kumpulan cerpen yang diberi judul Gadis Kecil yang Mencintai Nisan ini memang banyak mengeksplorasi perempuan di dalam karyanya, terutama cerpen. Terbukti, hampir semua cerpen dalam buku ini memiliki keterkaitan dengan dunia dan persoalan perempuan. Perempuan-perempuan di dalam cerpen Jusuf AN bukanlah perempuan yang pasif, tapi juga bukan perempuan yang terlalu agresif. Jusuf AN bertutur dengan gaya realis tentang dunia perempuan pada umumnya. Ia tak menggarap gaya hidup perempuan kelas atas, affair, perselingkuhan kelas mewah, atau kecanggihan mereka di dunia kerja. Jusuf AN menampilkan sisi-sisi yang tampak pada perempuan, sabar, namun juga pemberontak, keras tapi juga penurut, penuh kenangan dan memiliki sisi romanisme.
Orang-orang Hebat di Desa Saya

Orang-orang Hebat di Desa Saya


Enah bagaimana caranya, desalah masa depan kita.
Keyakinan ini datang begitu saja karena aku, tak mau celaka.
(Iwan Fals)

Desa saya terletak dua kilometer dari jalan raya Wonosobo-Banyumas. Meski jalan sudah diaspal sejak setahun silam, tetapi angkutan yang tersedia sampai sekarang cuma ojek. Selain terdapat dua TK, satu SD, dan satu MI, di desa saya juga sudah berdiri SMP swasta yang telah berhasil meluluskan siswa dua angkatan. Bersyukur karena SMP tersebut kini sudah memiliki 3 ruang sebagai sarana belajar mengajar. Dulu, awal tahun 2007  saya pernah menjadi guru di SMP tersebut. Waktu itu baru ada dua kelas, dan masing-masing kelas jumlah siswanya tak sampai sepuluh anak. Kami belajar di rumah berdinding kayu yang sudah tidak dihuni, di atas permadani lusuh, tak ada kursi kecuali dampar (sejenis meja pendek yang panjang).

Kini, meskipun sudah punya gedung, tidak semua orangtua tertarik menyekolahkan anaknya di SMP yang itu. Mereka yang sekolah di luar desa, kecuali yang membawa sepeda motor mau tak mau mesti berjalan kaki membelah desa, menyusuri ladang, menyeberang jembatan, empat kilo meter pulang-pergi. Ongkos ojek Rp. 4.000 sekali jalan, sedangkan jalan kaki tentu lebih menyehatkan.

Menyehatkan? Memang. Tetapi ketika musim hujan, aduh, mereka mesti melepas sepatu dan memakainya kembali ketika hampir tiba di jalan raya. Dan jika sedang naas, terpeleset misalnya, maka bisa urung berangkat sekolah karena pakaian belepotan lumpur. Saya pernah mengalami masa-masa ketika pulang-pergi sekolah berjalan kaki sejauh itu. Kenangan tentang itu masih melekat kuat, dan secara tidak sadar membuat saya tegar ketika ditimpa masalah-masalah sulit.

Anak-anak itu, yang menempuh perjalanan jauh demi ilmu saya tempatkan di posisi pertama sebagai orang hebat di desa saya.

Anak-anak Petani yang Sarjana

Petani adalah mayoritas di desa saya. Petani yang kebanyakan hanya tamatan SD. Meski begitu, semangat mereka dalam mendidik anak-cucu luar biasa. Tak heran, kini desa yang terpencil di mana saya lahir sudah banyak yang sarjana. Orang-orang tua itu, yang perhatian dengan pendidikan anaknya, merupakan bagian dari orang-orang hebat di desa saya.

Sekarang, selain pengajian rutin malam Jumat, diskusi-diskusi kecil kelompok pemuda juga sudah bukan lagi sesuatu yang asing. Mereka biasa berdiskusi tentang berbagai hal, di mana pun, lebih sering di kamar-kamar para pemuda di mana mereka berkumpul sambil minum kopi.

Pemuda-pemuda di desa saya tentu saja mengenal musik rock, punk, reagge, bahkan terdapat beberapa kelompok band yang sering manggung di pentas kabupaten dan telah memiliki album indie. Tetapi, mereka, pemuda-pemuda itu saya golongkan juga termasuk bagian dari orang-orang hebat di desa saya. Mereka telah berhasil menciptakan suasana desa nyaman, salah satunya adalah dengan menghalau masuknya minuman keras. Mungkin ada yang pernah mencicipinya, tetapi jika sampai ada yang ketahuan mabuk di desa, maka semua warga, khususnya pemuda tak segan-segan menghardiknya.

Rumah Baca

Di desa saya juga terdapat rumah baca. Istana Rumbia namanya. Sebuah rumah baca yang diprakarsai oleh mantan TKW dan suaminya yang Sarjana Filsafat UGM, Maria Boniok dan Stevi Sengkarut. Mereka termasuk orang hebat yang berjodoh. Kiprah mereka, khususnya Maria Boniok, sudah berkali-kali disorot media masa, dan bahkan pernah masuk televisi. Berkat mereka, anak-anak dan Ibu-ibu di desa saya kini melek baca, dan mereka dimotivasi juga untuk belajar menulis.


Korupsi Buku, Jateng Nomor Satu

Korupsi Buku, Jateng Nomor Satu

Judul tulisan ini tentu tidak mengada-ada. Jika mau mencermati pemberitaan media berkait dengan kasus korupsi buku yang terjadi di negeri ini, maka kita akan menganggukinya. Jumlah kasus korupsi buku yang terjadi di beberapa Kabupaten/Kota di Jateng ternyata memang terbanyak dibanding propinsi lain.

Pada tahun 2003-2004 saja kita mencatat setidaknya ada 5 kasus korupsi buku, yakni di Purworejo, Pemalang, Brebes, Salatiga, dan Magelang. Mantan Bupati Purworejo Marsaid, disidangkan dalam perkara yang merugikan negara sebesar Rp 4,6 miliar. Di Pemalang, ada kasus dugaan korupsi proyek pengadaan buku ajar sebesar Rp 26,5 miliar yang melibatkan mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemalang, Bambang Sukojo Kepala Tim Pengadaan Barang Josaphat Soenarjo, Pimpinan Kegiatan I Agus Sukisno, dan Pimpinan Kegiatan II Kartijan. Sementara itu Bupati Brebes Indra Kusumah, Ketua DPRD Brebes Sare’i Abdul Rossyid, dan Kepala Dinas Pendidikan Tarsun juga tersandung kasus di mana ketiganya dituduh menggelapkan uang buku Rp 8,3 miliar. Salatiga tidak ketinggalan, terdapat kasus dugaan korupsi pengadaan buku ajar yang merugikan negara sebesar Rp 7,4 miliar. Ada 25 pejabat yang dituding harus bertanggung jawab terhadap kerugian tersebut.

Masih tahun 2004, Mantan Wali Kota Salatiga Totok Minarto (alm.), mantan Kadinas Pendidikan Bakrie, dan Pimpinan DPRD Sri Utami Djatmiko dan Sutrisno disidangkan dalam kasus korupsi buku ajar dengan kerugian negara sebesar Rp 17,6 miliar. Mantan Bupati Kendal telah divonis tujuh tahun penjara, denda Rp. 200 juta dan membayar uang pengganti Rp. 3,47 miliar oleh KPK karena menjadi aktor “rayap buku” menggerogoti uang sebesar Rp. 47 miliar.

Mantan Kabag Keuangan Setda Magelang Sureni Adi dituntut 18 bulan pidana penjara dan denda sebesar Rp 100 juga subsider 6 bulan kurungan atas tuduhan terlibat dalam korupsi proyek buku ajar Kota Magelang tahun 2003. Kasus ini juga menyeret Mantan Wali Kota Magelang H Fahriyanto yang dituntut hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp. 100 juta. Dalam kasus ini negara dirugikan 5, 6 miliar.

Tahun 2006 mantan Bupati Semarang Bambang Guritno telah divonis pengadilan dua tahun penjara karena terbukti korupsi uang buku sebesar Rp 620 juta. Sementara pada tahun 2007 giliran Mantan Bupati Wonosobo Trimawan dimejahijaukan karena terlibat korupsi buku ajar sebesar Rp. 7 miliar. Trimawan melakoni menjadi “rayap buku” bersama Kepala Dinas Pendidikan Wonosobo Johari dan staf PT Balai Pustaka Muradi. Baru Januari 2012 lalu ia resmi divonis 5 tahun penjara dan harus membayar uang pengganti Rp. 200 juta.

Serentetan kasus di atas, jika tidak mencengangkan, tentu ia sangat menyakitkan. Ratusan miliar uang negara, yang sebagian bahkan merupakan utangan dari Bang Dunia, telah digerogoti rayap buku rakus bernama koruptor. Dampak dari korupsi buku ini tentu sangat besar bagi dunia pendidikan. Dan kita tahu, tahun 2011 Jateng menjadi Propinsi tingkat pertama se-Indonesia dalam hal ketidaklulusan siswa tingkat SMP. Apakah “prestasi” itu ada kaitannya dengan korupsi buku yang marak terjadi di wilayah ini? Bisa jadi.


Serahkan ke KPK

Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah belum lama ini menyatakan tentang masih adanya 16 kasus dugaan korupsi yang ditangani Kepolisian Daerah Jawa Tengah penanganannya macet. Dari ke-16 kasus tersebut didominasi oleh kasus korupsi buku ajar, yang di dalamnya terdapat 9 kasus macet.

Penanganan kasus korupsi memang terbilang sangat lamban. Bahkan kasus korupsi buku ajar Kota Magelang sudah sejak tahun 2003 disidangkan dan sampai sekarang masih belum tuntas. Mestinya, korupsi buku ajar yang kerap macet di Kepolisian dan seret di Pengadilan bisa dilimpahkan ke KPK. Lebih-lebih jika itu melibatkan pejabat setingkat Bupati/Wali Kota.

Korupsi memang tidak mengenal jabatan dan tempat. Karenanya korupsi bisa menjangkit, bahkan menular ke mana saja dan bisa dilakukan siapa saja. Korupsi buku yang terjadi di Kabupaten/Kota di Jateng dan beberapa daerah di luar Jateng seperti Sleman, Karawang, dan Garut  adalah bentuk pengkhianatan terhadap bangsa ini.


Siapa Aktor “Rayap Buku”


Dari berbagai kasus korupsi buku, aktor rayap buku yang paling dominan melakukan penyimpangan pengadaan buku pelajaran adalah dari Dinas Pendidikan dan Wali/Bupati. Hal ini dikarenakan secara struktural Dinas Pendidikan dan Bupati/Wali Kota sebagai atasannya memiliki otoritas untuk menentukan sekolah mana yang layak untuk mendapat proyek.

Namun, sejak 2006 bantuan buku sudah diwujudkan melalui Bantuan Operasional Siswa (BOS) Buku sehingga kesempatan menjadi “rayap buku” aktor-aktor di atas cukup terganjal. BOS Buku, meski besarnya tidak sampai miliaran, mestilah penting pula dilakukan pengawasan. Sebab, para punggawa sekolah, dengan hak mereka bekerja sama dengan penerbit rekanan, rentan pula untuk memanipulasi harga buku.