Enah bagaimana caranya, desalah masa depan kita.
Keyakinan ini datang begitu saja karena aku, tak mau celaka.
(Iwan Fals)
Desa saya terletak dua kilometer dari jalan raya Wonosobo-Banyumas.
Meski jalan sudah diaspal sejak setahun silam, tetapi angkutan yang
tersedia sampai sekarang cuma ojek. Selain terdapat dua TK, satu SD,
dan satu MI, di desa saya juga sudah berdiri SMP swasta yang telah
berhasil meluluskan siswa dua angkatan. Bersyukur karena SMP tersebut
kini sudah memiliki 3 ruang sebagai sarana belajar mengajar. Dulu, awal
tahun 2007 saya pernah menjadi guru di SMP tersebut. Waktu itu baru
ada dua kelas, dan masing-masing kelas jumlah siswanya tak sampai
sepuluh anak. Kami belajar di rumah berdinding kayu yang sudah tidak
dihuni, di atas permadani lusuh, tak ada kursi kecuali dampar (sejenis meja pendek yang panjang).
Kini, meskipun sudah punya gedung, tidak semua orangtua tertarik
menyekolahkan anaknya di SMP yang itu. Mereka yang sekolah di luar desa,
kecuali yang membawa sepeda motor mau tak mau mesti berjalan kaki
membelah desa, menyusuri ladang, menyeberang jembatan, empat kilo meter
pulang-pergi. Ongkos ojek Rp. 4.000 sekali jalan, sedangkan jalan kaki
tentu lebih menyehatkan.
Menyehatkan? Memang. Tetapi ketika musim hujan, aduh, mereka
mesti melepas sepatu dan memakainya kembali ketika hampir tiba di jalan
raya. Dan jika sedang naas, terpeleset misalnya, maka bisa urung
berangkat sekolah karena pakaian belepotan lumpur. Saya pernah mengalami
masa-masa ketika pulang-pergi sekolah berjalan kaki sejauh itu.
Kenangan tentang itu masih melekat kuat, dan secara tidak sadar membuat
saya tegar ketika ditimpa masalah-masalah sulit.
Anak-anak itu, yang menempuh perjalanan jauh demi ilmu saya tempatkan di posisi pertama sebagai orang hebat di desa saya.
Anak-anak Petani yang Sarjana
Petani adalah mayoritas di desa saya. Petani yang kebanyakan hanya
tamatan SD. Meski begitu, semangat mereka dalam mendidik anak-cucu luar
biasa. Tak heran, kini desa yang terpencil di mana saya lahir sudah
banyak yang sarjana. Orang-orang tua itu, yang perhatian dengan
pendidikan anaknya, merupakan bagian dari orang-orang hebat di desa
saya.
Sekarang, selain pengajian rutin malam Jumat, diskusi-diskusi kecil
kelompok pemuda juga sudah bukan lagi sesuatu yang asing. Mereka biasa
berdiskusi tentang berbagai hal, di mana pun, lebih sering di
kamar-kamar para pemuda di mana mereka berkumpul sambil minum kopi.
Pemuda-pemuda di desa saya tentu saja mengenal musik rock, punk,
reagge, bahkan terdapat beberapa kelompok band yang sering manggung di
pentas kabupaten dan telah memiliki album indie. Tetapi, mereka,
pemuda-pemuda itu saya golongkan juga termasuk bagian dari orang-orang
hebat di desa saya. Mereka telah berhasil menciptakan suasana desa
nyaman, salah satunya adalah dengan menghalau masuknya minuman keras.
Mungkin ada yang pernah mencicipinya, tetapi jika sampai ada yang
ketahuan mabuk di desa, maka semua warga, khususnya pemuda tak
segan-segan menghardiknya.
Rumah Baca
Di desa saya juga terdapat rumah baca. Istana Rumbia namanya. Sebuah
rumah baca yang diprakarsai oleh mantan TKW dan suaminya yang Sarjana
Filsafat UGM, Maria Boniok dan Stevi Sengkarut. Mereka termasuk orang
hebat yang berjodoh. Kiprah mereka, khususnya Maria Boniok, sudah
berkali-kali disorot media masa, dan bahkan pernah masuk televisi.
Berkat mereka, anak-anak dan Ibu-ibu di desa saya kini melek baca, dan
mereka dimotivasi juga untuk belajar menulis.