Sejarah Munculnya Fiksi Sains di Indonesia

Sejarah Munculnya Fiksi Sains di Indonesia

Nyoman Tusthi Eddy pernah menyatakan bahwa sastra Indonesia belum memiliki fiksi ilmiah. Menurutnya, para penulis fiksi Indonesia belum ada yang memiliki dua faktor yang dibutuhkan untuk menghasilkan karya fiksi sains, yakni “terampil sekaligus berselera tinggi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi” dan “kebebasan berpikir.” (Suara Karya, 28-2-2009). Pendapat tersebut, menurut saya terkesan terburu-buru dan tidak berdasar. Tusthi seakan tidak mau melihat perkembangan sastra Tanah Air, mengingat ketika tulisan tersebut diterbitkan, kesusasteraan Indonesia sudah melahirkan beberapa fiksi ilmiah.

Meskipun di negeri ini fiksi ilmiah atau sains masih belum tumbuh sebagaimana genre prosa fiksi yang lain, tetapi kehadirannya telah banyak memberikan warna baru pada khasanah kesusasteraan kita. Kemunculan fiksi sains di Indonesia telah diteliti oleh M.V. Wresti Budiaju A.P dalam penelitian berjudul Kajian Perkembangan Fiksi Ilmiah Anak dan Remaja Karya Pengarang Indonesia 1968–1991. Penelitian tersebut menyatakan bahwa fiksi sains yang muncul pertama kali di Indonesia adalah karya Djokolelono dengan judul Jatuh ke Matahari yang telah terbit tahun 1976. (Maulana, 2010: 30) Tidak heran jika kemudian Djokolelono dikenal sebagai Master Fiksi Ilmiah Indonesia.

Namun demikian gaung mengenai fiksi sains di Indonesia baru terdengar sejak lahirnya novel Supernovakarya Dee (Dewi Lestari) yang terbit pada tahun 2001. Sebelum Dee menulis Supernova, sebenarnya sudah ada seorang penulis muda yang begitu gigih membuahkan fiksi sains, yakni Eliza V. Handayani. Eliza mengaku telah menulis naskah dengan judul Area X: Hymne Angkasa Raya pada tahun 1998 ketika dia masih duduk di Sekolah Menengah Atas. Naskah tersebut memenangi Lomba Penulisan Naskah Film/televisi pada tahun 1999, dan kemudian baru diterbitkan dalam bentuk novel pada tahun 2003.

Selain karya-karya tersebut masih ada beberapa prosa fiksi sains lain karya anak negeri. Ada novel Anomali(2004) karya Santopay yang banyak memuat konsep-konsep fisika. Ada pula novel Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata yang ditulis dengan gaya saintifik dan banyak mengekplorasi istilah-istilah sains. Novel Lanang, Yonathan Rahardjo (2006) yang bercerita tentang virus yang diakibaktkan hasil rekayasa transgenik; dan novel ORB karya Galang Lutfiyanto yang mencoba menggabungkan sains dan mistikisme juga digolongkan dalam fiksi sains.

Untuk mempertegas bahwa fiksi sains di Indonesia sudah banyak bermunculan mungkin perlu dideretkan lebih banyak lagi contoh: Quantum Leap (2008) karya Bimo dan Gerry Nimpuno, Lesti, Nyatakah Dia? (2006) karya Soehario Padmodiwirio, Chimera (2008) karya Donny Anggoro, Seribu Tahun Cahaya (2009) karya Mad Soleh, dan banyak karya fiksi sains lain yang kurang terekspos ke publik.

Sependapat dengan Sandya Maulana (2010: 33) fiksi sains di Indonesia memang masih berada dalam fase yang sangat awal, belum tiba pada pengertian bahwa sains yang terdapat dalam fiksi sains murni bersifat spekulatif dan keakuratannya terbuka untuk dipertanyakan. Pengkajian fiksi sains di Indonesiapun mesti perlu diperluas untuk melihat fiksi sains sebagai karya yang memiliki potensi kritis dan dapat berfungsi sebagai cermin tempat berkacanya dunia nyata.

Apa pun itu, kenyataan bahwa fiksi sains telah mendapat ruang dan penggemar di Indonesia merupakan hal yang baik. Supernova, misalnya, merupakan karya pertama Dee dan langsung meledak di pasaran. Demikian pula Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, dan Area-Xkarya Eliza V. Handayani banyak mendapatkan apreasiasi dari kalangan pembaca dan kritikus sastra.

Komunitas penggemar dan penulis fiksi sains di Indonesia juga telah terbentuk. Di internet kita dapat berselancar dan menemukan beberapa blog dan group penggemar dan penulis fiksi sains. Salah satunya komunitas Indo-Star Trek yang profilnya telah dimuat di berbagai koran dan majalah. Komunitas Star-Trek Indo ini terlihat unik dan bergairah. Komunitas yang berdiri secara formal tahun 2006 ini telah memiliki website, mailing list, juga forum dan grup di situs jejaring sosial Facebook. Anggota Indo-Star Trek bahkan sudah mencapai lebih 500 orang. Kegiatannya mencakup diskusi sains, pembuatan kostum, wargames, pameran di World Book Day, dan kegiatan bermanfaat lainnya. Pada tahun 2012 Indo-Star Trek bahkan mengadakan lomba penulisan cerpen bergenre fiksi sains yang memotivasi publik sastra untuk meramaikan fiksi sains tanah air.

Untuk melengkapi pembahasan mengenai fiksi sains di Indonesia penting pula untuk dihadirkan ringkasan dan ulasan karya fiksi sains di sini. Tujuannya adalah, pertama, pembaca akan memperoleh pemahaman yang lebih luas melalui ringkasan kisah dan ulasan karya fiksi sains; kedua, memberikan semacam panduan bagi pecinta sastra, khususnya pelajar yang ingin menekuni fiksi sains; ketiga, menarik minat masyarakat khususnya generasi muda untuk mencintai sastra, dalam hal ini fiksi sains; dan keempat, menimbulkan sikap cinta Tanah Air.
Fiksi Sains sebagai Motivasi Inovasi

Fiksi Sains sebagai Motivasi Inovasi

Sebelum jauh mengungkap peran fiksi sains sebagai motivasi inovasi, terlebih dulu marilah kita ketahui masalah yang berkaitan dengan IPTEK dan inovasi. Khususnya IPTEK dan inovasi di Indonesia itu sendiri.

IPTEK dan inovasi bisa diibaratkan sekeping mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu pengetahuan terus berkembang, dan teknologi-teknologi baru terus ditemukan.

IPTEK telah dan sedang menjadi sebab utama dari dinamika umat manusia, demikian dikatakan Suryohardiprojo  (1995: 148) dalam bukunya Membangun Peradaban Indonesia. Naluri manusia untuk hidup telah melahirkan berbagai macam penemuan teknologi. Artinya, perkembangan IPTEK tidak bisa dibendung melainkan akan terus berinovasi atau mengalami pembaruan sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia.

Manusia berbeda dengan makhluk hewan. Manusia dibekali akal pikiran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga berhasil menciptakan apa (baca: teknologi) yang membuat kehidupan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Jadi, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan merupakan prasyarat bagi terciptanya teknologi modern. Suryohardiprojo (1995: 309) mengungkapkan bahwa penguasaan ilmu pengetahuan adalah kunci utama bagi lahirnya inovasi-inovasi di bidang teknologi. Jika sebuah negara ingin maju, maka satu yang harus di utamakan adalah bidang pendidikan.

IPTEK dan inovasi belum menjadi budaya yang menyatu dalam iklim pendidikan kita. Mungkin kita telah akrab dengan berbagai macam teknologi, namun masih belum bisa membuat terobosan-terobosan inovasi.

Bahkan, IPTEK dan inovasi sendiri masih terdengar cukup asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Menyikapi hal tersebut, Menteri Teknologi dan Informasi Tifaul Sembiring (Jawapos, 24-6-2012) menghimbau agar generasi muda saat ini harus terjun dalam perkembangan teknologi, sebab perkembangan teknologi ke depan akan semakin maju. “Teknologi tidak akan mengalami mundur, makanya generasi muda sekarang jangan hanya jadi penonton teknologi, tapi harus kreatif untuk menciptakan inovasi baru,” ungkapnya.

Kenyataannya memang benar, generasi muda masih gagap teknologi. Banyak teknologi hanya digunakan untuk having fun saja. Seperti akses sosial media yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk banyak hal masih sering digunakan sebagai untuk mempercakapan sesuatu yang tidak bermutu dan menghambur-hamburkan waktu dan biaya.

Berkaitan dengan itu, sastrawan sekaligus budayawan Radhar Panca Dahana (2007: 294) mengatakan bahwa Indonesia sedang dalam proses mencari bentuknya. Karena ia semata mozaik yang disusun dari kepingan-kepingan masa lalu, masa depan, harapan, jadiri-jatidiri, pengaruh-pengaruh, kelebihan, kekurangan dan berbagai hal yang semestinya dapat segara terindentifikasi. Untuk menjadi Indonesia yang maju dan kuat, maka kita harus menerima segala kekuarangan kita dengan lapang dada dan terbuka, dengan spirit kerja yang lebih kuat demi menyongsong kemajuan.

IPTEK dan inovasi adalah dua hal yang bisa membawa bangsa ini maju dan sejahtera. Tetapi untuk menjadikan IPTEK dan inovasi  sebagai sebuah budaya diperlukan proses yang tidak mudah dan memakan waktu yang tidak pendek. Generasi muda adalah tumpuan dan harapan bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu, generasi muda harus dibekali informasi dan pemahaman sejak dini terkait dengan IPTEK dan inovasi.

Sastra, khususnya fiksi sains, selain bisa menjadi media yang baik menyosialisasikan IPTEK khususnya kepada generasi muda, juga bisa memberikan spirit bagi pembacanya untuk maju. Letupan-letupan imajinasi yang ditimbulkan ketika membaca fiksi sains akan mendorong pembaca tergugah, tertantang, dan termotivasi untuk mengembangkan IPTEK lebih jauh.

Di dalam fiksi sains seringkali dihadirkan juga logika-logika spekulatif yang belum dibuktikan dalam uji coba laborat atau lapangan. Spekulasi-spekulasi sains yang masih fiksi tersebut bukan tidak mustahil menjadi suatu kenyataan. Siapa yang menyangka komputer saku sebagaimana yang dibayangkan Larry Niven Larry Niven The Mote in God’s Eye tahun 1974 bisa tercipta? Tidak ada yang menyangka. Tetapi bertahun-tahun setelah itu, kamu bisa lihat, teknologi sebagaimana digambarkan oleh Larry tersebut benar-benar tercipta.

Maka, untuk membuat terobosan di bidang sains kita mesti memiliki imajinasi saintifik yang tinggi. Pada titik inilah, membaca dan menciptakan fiksi sains bisa dijadikan batu loncatan untuk mengembangkan dan menguatkan imajinasi saintifik yang dimiliki seseorang. Jika imajinasi saintifik sudah berhasil diasah, maka kepekaan untuk menginovasi IPTEK berupa ide-ide segar akan mudah terlahir.