Asyiknya Bercerita

Kita tahu, gaya belajar seorang guru sangat menentukan gayanya dalam mengajar. Karenanya, guru harus mengetahui gaya belajarnya dan kemudian menyadari bahwa siswa memiliki gaya belajarnya masing-masing yang belum tentu sama dengan gaya belajar yang disukai olehnya.

Sejauh ini saya belum pernah mengetahui ada seorang guru yang membagikan angket kuisioner gaya belajar kepada siswa. Seringnya, meski sudah mengetahui gaya belajarnya sendiri, guru tidak pernah peduli dengan gaya belajar siswa. Akibatnya, ketika guru mengajarkan sesuatu, belum tentu siswa turut belajar tentang sesuatu tersebut.

Saya sendiri, terus terang tidak pernah mengetahui secara pasti gaya belajar masing-masing siswa saya. Kalaupun saya mengetahui gaya belajar mereka barangkali akan sangat sulit bagi saya untuk bisa mengingat masing-masing anak, sebab saya mengajar 13 kelas yang tiap kelas berkisar 35-38 siswa. Kalaupun saya bisa mengingatnya, pastilah saya akan kerepotan luar biasa untuk bisa mengajar dengan berbagai gaya sesuai kecenderungan gaya belajar mereka.
Saya kemudian berpikir, adakah cara mengajar yang mengasyikkan yang bisa diamalkan untuk mempermudah proses belajar siswa yang notabene memiliki gaya belajar berbeda-beda? Jika ada, apakah cara tersebut sesuai dengan gaya belajar saya sendiri?
***
Saya pernah mencoba mengisi kuisioner di dalam buku Genius Learning Strategy karya Adi W. Gunawan (2003) untuk mengetahui gaya belajar saya sendiri. Setelah centang-centang dan membaca hasilnya, diketahui bahwa saya lebih suka membaca dari pada mendengarkan penjelasan, senang menulis surat dan catatan harian. Ketika mendengar orang lain bercerita, maka saya akan membuat bayangan benda-benda dan gerakan-gerakan di kepala saya. Saya tidak suka bicara kepada diri sendiri saat mengerjakan sesuatu, tidak begitu suka berpenampilan rapi, dan sangat mudah terganggu oleh keributan, tidak seperti para pembelajaran auditori. Saya senang dan merasa mudah untuk menulis dan saya suka mendongeng atau bercerita, tidak seperti para pembelajar kinestetik yang merasa kesulitan menulis tetapi pintar bercerita. Saya tahu gaya belajar saya: Visual.
Dan pada akhirnya, saya berhasil menemukan jawaban dari dua pertanyaan di atas tadi. Saya tahu metode yang tepat—metode yang sesuai dengan gaya belajar saya sendiri dan mengasyikkan bagi para pembelajar auditori dan kinestetik. Dan ternyata saya sudah menggunakan metode itu jauh sebelum saya mengisi kuisioner di buku Genius Learning Strategy. Metode itu adalah “bercerita”.
Sebenarnya, metode bercerita sangat dekat dengan ceramah, meski ada perbedaan-perbedaan yang prinsip antara keduanya. Metode ceramah cenderung bersifat formal, kaku, dan teacher centered sehingga siswa kerap mengalami kebosanan dan kejenuhan dan pada akhinya tertidur. Sementara itu, metode bercerita cenderung non-formal dan bebas. Jika kita bisa memilih dan menceritakan sebuah kisah dengan baik dipastikan semua siswa terpancing untuk menyimak.
Ketika guru bercerita bisa jadi siswa terpaku dan terdiam, tetapi bukan berarti mereka pasif. Otak mereka bekerja merespon alur, gambar-gambar, dan dialog dalam cerita yang didengar oleh telinga. Alhasil imajinasi siswa jadi terasah. Imajinasi adalah mother of science. “Imajinasi lebih penting dari pada ilmu pengetahuan,” demikian menurut Einstein. Ungkapan tersebut mungkin tidak berlebihan, mengingat pernah ada penelitian yang menyatakan bahwa intelegensi anak-anak yang kurang atau tidak pernah didongengi ternyata lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang sering didongengi.
Oleh karena itu, kurang tepat kiranya menganggap kebiasaan mendongeng atau bercerita hanya sebagai aktivitas meninabobokan anak-anak atau sekadar untuk selingan proses pembelajaran. Memang anak-anak kita suka didongengi dan biasanya mereka kemudian tertidur setelah didongengi. Benar bahwa bercerita atau mendongeng bisa dijadikan sisipan atau selingan dalam proses pembelajaran. Meski begitu, anggapan mendongeng atau bercerita hanya untuk meninabobokan atau untuk selingan proses pembelajaran sama saja mempersempit manfaat dari kegiatan tersebut.
Selain mengasah imajinasi, metode bercerita sangat tepat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada siswa. Untuk menasehati siswa, dan mengaktifkan kesadaran moral mereka, tidak cukup hanya dengan kalimat-kalimat yang verbal, semisal, “Korupsi itu dosa, oleh sebab kalian jangan coba-coba untuk korupsi!” Siapapun sudah tahu hal itu termasuk juga para koruptor. “Orang tua wajib kita hormati dan patuhi karena mereka telah banyak berkorban untuk kita.” Kira-kira bagaimana respon siswa mendengar kalimat itu? Biasa saja, dan sangat mungkin mereka menganggapnya sebagai nasehat basi. Berbeda misalnya ketika guru menceritakan legenda Malin Kundang, atau kisah Antara Ayah dan Burung Gagak.
Ada seorang Ayah bertanya kepada anaknya tentang sebuah benda yang dilihatnya. Si Anak menjawab bahwa itu adalah burung gagak. Tapi sang Ayah bertanya lagi, sampai tiga kali, hingga membuat si Anak marah dan membentak ayahnya. Kemudian sang Ayah memberikan buku diary kepada anaknya dan menyuruhnya membaca. Ketika membaca buku itu si Anak tercengang. Ia baru tahu, bahwa dulu, ketika masih anak-anak, ia pernah menanyakan hal yang sama kepada ayahnya sebanyak 25 kali.
Cerita tersebut hanyalah ringkasan kisah Antara Ayah dan Burung Gagak. Guru bisa mengembangkan sendiri ceritanya. Dengan menghadirkan kisah tersebut, saya ingin meyakinkan, bahwa kisah tersebut di atas lebih bisa menyadarkan seorang anak untuk berbakti kepada orangtuanya dari pada ajakan atau nasehat yang sifatnya verbal, atau bahkan ancaman yang menakutkan.
Tugas seorang guru, selain sebagai edukator dan fasilitator, juga sebagai inspirator dan motivator. Untuk bisa memerankan tugas-tugasnya dengan baik dibutuhkan metode yang baik. Sayangnya kadang-kadang sarana dan prasarana sekolah tidak mendukung metode yang ingin diterapkan sang Guru. Maka dari itu, bercerita bisa menjadi pilihan metode yang tepat tanpa harus terkendala dengan sarana dan prasarana.
Tuhan pun Bercerita
Saya yang mengampu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam akan sangat sulit menyentuh wilayah afektif dan psikomotor siswa jika hanya terpaku menyampaikan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadist. Agar siswa termotivasi mengamalkan ajaran-ajaran agama bukan sebatas memahaminya, dibutuhkan metode pembelajaran yang bervariasi. Selain metode tanya-jawab, diskusi, bermain peran, dan ceramah, saya kerap menggunakan metode bercerita.
Ternyata kitab suci al-Qur’an (demikian pula Injil, Tripitaka, Wedha, dll) memuat berbagai kisah. Ini menunjukkan bahwa metode bercerita adalah metode yang juga digunakan oleh Tuhan dalam rangka membumikan ajaran-ajaran-Nya. Dan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Tuhan memahami sifat manusia yang senang mendengar atau membaca cerita.
Memang, kebanyakan orang tidak suka digurui. Ketika seorang guru bercerita, siswa akan berusaha memetik hikmah (pelajaran) darinya, meski seringkali mereka tidak menyadarinya. Itulah luar biasanya cerita: menggurui tanpa membuat orang merasa digurui.
Teknik Memaksimalkan Metode Bercerita

Tentu saja guru tidak boleh asal dalam mengamalkan metode bercerita. Selain bisa membuat cerita yang sebenarnya bagus menjadi buruk, cerita yang disampaikan begitu saja tanpa persiapan bisa jadi tidak disukai oleh siswa yang memiliki gaya belajar visual. Solusinya, sembari bercerita guru bisa membuat gambar-gambar di papan tulis, seperti gaya Pak Raden, atau bisa juga membawa alat peraga seperti boneka dan poster.
Meski bercerita membutuhkan keterampilan (agar lebih menarik pendengar), tetapi keterampilan bercerita bisa dilatih dan dikembangkan. Untunglah ketika mahasiswa saya pernah bergabung dengan kelompok teater sehingga ekpresi, mimik, intonasi, dan gestur yang sangat dibutuhkan bagi seorang guru saat bercerita cukup saya kuasai. Tetapi untuk bisa bercerita bukan berarti seorang guru harus latihan teater terlebih dulu. Selain kesungguhan, Guru hanya membutuhkan perencanaan yang baik: cerita apa yang akan disampaikan, bagaimana alurnya, tokohnya, dan apakah cerita tersebut bersesuaian dengan materi yang tengah dibahas? Selain itu, guru juga harus bisa melibatkan siswa dalam cerita. Di sinilah guru harus tetap komunikatif, mengatur intonasi suara, mimik, dan gerakan-gerakan tubuh sehingga cerita yang disampaikannya menjadi berkesan dan menarik perhatian siswa.
Meski bercerita disukai oleh semua tingkatan usia, tetapi bercerita terus dari awal sampai akhir jam pelajaran akan sangat melelahkan dan membuat siswa lama-kelamaan bosan. Dalam satu tatap muka, sah-sah saja bagi guru untuk menggunakan berbagai metode pembelajaran sekaligus. Mungkin guru bisa juga memberikan tugas kepada siswa untuk menulis ulang, meminta tanggapan siswa, atau memberikan pertanyaan-pertanyaan seputar cerita yang baru disampaikan.
Berbagi Cerita
Ya, bukan hanya guru yang mesti pandai bercerita, siswa juga mesti belajar untuk bisa bercerita. Dengan belajar bercerita diharapkan siswa akan lebih mudah untuk mengungkapkan apa yang dilihat, dibaca, didengar, dan dirasakannya. Selain itu, belajar bercerita juga akan melatih siswa berani berbicara dan tampil di depan umum, sehingga daya kritisnya dalam menyuarakan pendapat tidak terkubur. Dan bukankah para siswa kelak juga akan punya anak. Maka mereka harus bisa mendongeng agar keturunan yang dihasilkannya menjadi manusia dengan imajinasi yang terasah.
Kendala ketika seorang guru mengajak siswa berbagi cerita biasanya adalah keengganan siswa karena malu dan takut. Untuk mengatasi hal itu, mungkin mula-mula guru bisa mengajak siswa untuk membuat cerita mereka sendiri di atas kertas, kemudian membacakannya di depan kelas.
Demikianlah, ketika guru dan siswa telah membiasakan saling bertukar cerita, saat itulah pembelajaran menjadi benar-benar mengasyikkan.**

























Share this

Related Posts

Previous
Next Post »