Beragam Cara Meningkatkan Potensi Non-Akademik Siswa


Penyaluran bakat menari tradisional
Penyaluran bakat menari tradisional

Ada seorang ayah, sebutlah bernama Ronal, sangat berharap kelak anak lelakinya menjadi pemain sepak bola internasional. Maklum, Ronal begitu tergila-gila dengan bola dan pernah pula bercita-cita menjadi pemain sepak bola yang mendunia. Maka, ketika anak lelakinya lahir, ia menggepalkan tangan sembari membayangkan cita-citanya yang kandas. “Aku boleh gagal, tetapi Dinho anakku tidak! Dinho akan meneruskan cita-citaku, harus!”

Sejak Dinho hingga SMA segala upaya Ronal dilakukan agar anaknya bisa berlaga di pentas dunia. Mulai dari memasukkannya ke sekolah sepak bola, sampai mengajaknya menonton langsung Final Piala Champion di London. Sayang, Dinho tidak begitu tertarik dengan sepak bola. Kalau pun ia selalu menurut setiap kali dibangunkan malam-malam oleh ayahnya untuk nonton sepak bola, bukan karena ia ingin mengamati teknik permaianan tingkat tinggi klub-klub dunia, tetapi karena diam-diam Dinho sudah bertaruh dengan teman sekelasnya. Dan meskipun Dinho mengikuti sekolah sepak bola, bukan semata-mata ia menuruti kehendak ayahnya, tetapi karena banyak teman-temannya juga ikut.

Sebenarnya, sang Ayah sendiri cukup menyadari bahwa anaknya kurang berbakat dalam bermain sepak bola. Sebab selama ini, Dinho sering kalai hanya digunakan sebagai pemain cadangan ketika klubnya berlaga dan Dhinho merasa enjoy saja.

Lalu, seperti apa masa depan Dinho?

Hem, Kawan tentu bisa menebaknya. Sebab toh kisah tersebut hanya fiksi, dan saya membuka peluang selebar-lebarnya kepada Kawan untuk membuat dugaan atas masa depan Dinho.

Meski fiksi, bukan berarti kisah tersebut lahir dari ruang hampa. Betapa sering kita mendengar kisah-kisah serupa, di mana orang tua atau guru yang memaksakan kehendaknya. Memang masa depan anak bisa diarahkan, tetapi keliru jika kita memaksakan.

“Pokoknya kau harus menjadi Dokter!” Padahal si Anak lebih berbakat melukis, dan berakibat anak tersebut jadi pasien. “Kau harus jadi Hakim!” Tapi si Anak memilih jadi pengusaha. “Kau harus begini!” Sementara si Anak ingin begitu, dan seterusnya.

Demikian pula seorang Guru, tidak patut untuk memaksakan siswa agar sejalur dengan kehendaknya. Bagaimana pun seorang siswa adalah manusia. Manusia yang secara fitrah begitu membutuhkan rasa kasih sayang, harga diri, dan kebebasan. Pengekangan terhadap cita-cita, bakat, dan minat anak, adalah bagian dari upaya pemberangusan kebutuhan dasar manusia. Wah, serius amat nih! Maaf, tapi ini penting, sebab Guru adalah juga manusia, tempatnya salah dan lupa.  :)

Betapa kita kerap tercengang ketika mendengar siswa yang dulu bengal di sekolah, yang nilai matematikanya jauh di bawah rata-rata siswa lain, ternyata sekarang menjadi dosen, bupati, atau pengusaha yang berhasil. Kerap pula kita mendapati siswa-siswa kita yang nilainya top, selalu naik kelas, dan rajin menabung di koperasi, tetapi ternyata kini menjadi buronan polisi. Bukankah begitu, Kawan?

Artinya apa? (Stop dulu! Dipikirkan dulu sebelum lanjut membaca! Hehe) Yup, kesuksesan akademis, angka-angka dalam ijazah, belum tentu membawa seseorang meraih masa depan yang gemilang. Lalu kenapa banyak sekolah lebih sering hanya mengembleng siswa untuk meraih prestasi akademis? Bukankah, seturut penelitian di Harvard University tahun 2000, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh pengetahuan dan 80 persen oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain. Dalam arti lain, kemampuan non-akademis siswa lebih bisa membawa siswa sukses di masa depan ketimbang kemampuan akademis.

Mungkin kita akan menyalahkan kurikulum. Boleh-boleh saja. Dan memang sangat masuk akal. Kurikulum, sebutlah KTSP (tahulah kepanjangannya apa?) memang terlampau memberikan banyak beban akademis kepada siswa, sehingga siswa lupa belajar mengelola diri sendiri dan orang lain—yang sebenarnya sangat dibutuhkan dalam kehidupan.

Lalu bagaimana semestinya seorang guru bersikap, dan apa yang mesti diusakan untuk mengembangkan karakter sukses siswa berupa kemampuan non-akademis? Kita memang pantas berkata “wow” menyambut pertanyaan besar tersebut. Dan sebagai guru, saya punya pandangan dan kegelisahan yang semuanya bertumpu pada apa yang saya lihat, dengar, rasakan, dan alami.

Inilah beberapa kegelisahan, saran, dan hal-hal kecil yang saya lakukan untuk meningkatkan kemampuan non-akademis siswa:

Ada Dusta di Brosur PPDB

 Ada banyak siswa yang kecewa karena sekolah mereka yang baru tidak sesuai dengan apa yang yang dilihat di brosur promosi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ya, brosur atau poster PPDB memang kerap dibuat serupa iklan yang menawarkan janji-janji palsu dan penuh polesan yang menyimpan dusta-dusta. Di brosur PPDB biasanya tertera berbagai kegiatan ekstrakulikuler yang bisa diikuti secara gratis oleh siswa, tetapi pada kenyataannya hanya ada satu ekskul saja, yakni Pramuka.

berperan sebagai setan (kebetulan saya pembimbing teaternya. hehe)
berperan sebagai setan (kebetulan saya pembimbing teaternya. hehe)
Ini kerap kita temui, tetapi untungnya di sekolah saya tidak. Maksudnya tidak persis benar. J Selain Pramuka ada juga ekskul lain yang bisa mengembangkan potensi non-akademis siswa, seperti musik, teater, rebana, sepak bola, PMR, dan KIR. Sedangkan untuk pencak silat dan TIK, tak pernah tercium baunya, meskipun ekskul itu tertera di brosur PPDB. Terus terang, saya kecewa, juga kasihan terhadap banyak siswa yang berminat ingin mendaftar ekskul tersebut.

Seolah hal itu sepele, tetapi diam-diam banyak siswa yang frustasi dan pada akhirnya melupakan bakat dan minat yang rencananya akan mereka kembangkan di sekolah yang baru.

Mendidik Wali Siswa

Memang kurang tepat melimpahkan gagalnya pendidikan hanya kepada Guru dan sekolah. Sebab pendidikan yang paling utama dan sangat berpengaruh adalah pendidikan di keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, Guru dan Wali Siswa harus berjuang bersama. Untuk menyatukan langkah tersebut, dibutuhkan kesepahaman bersama, salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan bagi wali siswa.

Kita tahu, terkadang orangu tua kurang paham bagaimana cara mendidik anaknya dengan baik. Orang tua juga kerap tidak peduli dengan bakat atau kemampuan non-akademis yang dimiliki sang anak. Dan kalaupun ada orang tua tahu bakat non-akademis anak, mereka tidak pernah melaporkan ke sekolahan.

Maka dari itu, sesekali, atau setahun dua kali, wali siswa perlu dihadirkan di sekolahan untuk diberikan pendidikan khusus tentang proses pendidikan anak di rumah, serta melakukan upaya bersama untuk mengembangkan potensi non-akademis anak.

Rapat Pleno
Rapat Pleno Komite

Sayangnya, yang terjadi selama ini, jika sekolah mengundang wali siswa, biasanya adalah dalam rangka memusyawarahkan urusan dana. Jika menyinggung-nyinggung soal pendidikan siswa di rumah, sifatnya hanya memberikan motivasi yang dangkal, jauh dari pengarahan yang mendalam.

Menanamkan Kepada Anak bahwa Nilai Bukanlah Segalanya

Saya percaya kekuatan kata. Lebih-lebih kata-kata yang keluar dari hati. Maka, tidak letih-letihlah saya selalu meminta para siswa untuk jujur ketika mengerjakan ulangan harian. Ingin dengar ceramah yang saya ulang-ulang sebelum ulangan harian dan mengawasi ujian semester? Kurang lebih begini:

“Berapa pun nilaimu, tidak masalah! Tetapi kejujuran kalian harus seratus. Negeri ini sudah terlampau banyak sarjana dengan nilai-nilai yang memukau, tetapi kini mereka menjadi pengangguran dan meresahkan masyarakat. Ketika kamu mati, kamu tidak akan ditanya berapa nilau ulanganmu, tetapi yang akan ditanyakan adalah kejujuranmu. Siswa yang memberikan jawaban kepada temannya bukanlah teman yang baik. Sebab tindakannya itu tidak membuat kawannya pandai, tetapi justru membodohkan!” 

Dan apakah ceramah itu langsung manjur? Tidak! Banyak siswa masih terlihat mencoba mencuri jawaban temannya, dan tidak sedikit pula yang bisik-bisik. Tetapi, karena saya terus dan terus menanamkan kejujuran, perubahan bisa saya lihat pada ulangan-ulangan berikutnya.

Apa kaitannya kejujuran dengan kemampuan non-akademis? Sangat sederhana: Kejujuran adalah usaha menjadi diri sendiri. Seseorang tidak akan bisa memahami dirinya sendiri ketika ia tidak punya pendirian dan bergantung kepada orang lain. Pendidikan mesti dipayakan agar siswa mampu menemukan dirinya sendiri, sehingga pada akhirnya sanggup mengelola segala kemampuannya.

Uji Bakat

Sejauh ini, jarang ada sekolah mengadakan test bakat bagi siswa. Termasuk di sekolah saya juga tidak ada. Padalah, jika kita ingin mengembangkan kemampuan non-akademis siswa, paling tidak kita memiliki data tentang itu.

Soal bakat memang masih sering menjadi bahan perdebatan. Jika Albert Einstein menyatakan bahwa untuk sukses dibutuhkan 1 persen bakat dan selebihnya kerja keras, itu tentu bisa kita terima. Tetapi bukan berarti bakat tidak penting untuk membawa orang menuju sukses.
Seorang siswa baru sedang uji bakat di ajang pentas seni
Seorang siswa baru sedang uji bakat di ajang pentas seni

Bakat sebenarnya mudah dikenali. Jika Dinho merasa enjoy saja meski selalu dipasang sebagai pemain cadangan, maka bisa dimengerti bahwa ia sebenarnya tidak berbakat bermain sepak bola. Lebih-lebih ketika diketahui bahwa ia tidak aktif dan giat untuk mengamati teknik tingkat tinggi permaian sepak bola dunia, tetapi justru lebih senang taruhan.

Nah, bagaimana cara mudah mengetahui bakat siswa? Kegiatan-kegiatan semacam class meeting sangat penting untuk diadakan. Tentunya dengan jenis-jenis perlombaaan yang memberikan ruang kepada siswa untuk memunculkan kemampuan non-akademis mereka. Seperti lomba menyanyi, menulis, atletik, pidato, dan lain sebagainya.

Saya sendiri punya cara unik untuk mengetahui kemampuan terpendam yang dimiliki siswa. Beberapa kali, saya memberikan tugas kepada siswa, yang mana tugas tersebut boleh dikerjakan sesuai dengan bakatnya masing-masing. Misal, buatlah “sesuatu” dengan tema syukur! Sesuatu itu bisa puisi, boleh gambar, karangan ilmiah, boleh lirik lagu, boleh apa saja. Saya sadar, setiap siswa memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, dan karenanya kita mesti mengawal dan mengembangkan kecerdasan mereka.
Memajang hasil karya siswa di dinding kelas
Memajang hasil karya siswa di dinding kelas

Tahukah, Kawan, betapa para siswa begitu antusias mengerjakan tugas saya tersebut. Dan saya terpana melihat hasil kerja mereka. Hasil yang bisa saya gunakan untuk meraba-raba bakat yang mereka miliki.

****

Tidak terasa, saya sudah terlalu panjang menulis, dan waktu sudah dini hari ketika tulisan ini dibuat. Sebagai penutup, agaknya kita perlu mengingat apa yang pernah disampaikan Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan adalah usaha memerdekakan peserta didik agar tidak hidup terperintah, berdiri tegak karena kekuatan sendiri, dan cakap mengatur hidupnya. Dengan begitu, maka kemampuan akademis dan non-akademis siswa dapat berkembang.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »