Menguatkan Desa, Menjewer Penguasa

ladang-ladang kentang

Lebaran sudah berlalu, meski barangkali masih menyisa kue-kue di meja tamu. Balon-balon telah diterbangkan, walau jatuh lagi ke bumi dan diterbangkan lagi dan lagi. Bank, pegadaian, dan sekolah kembali ramai, juga Rumah Sakit, yang pasca Lebaran biasanya dipenuhi pasien diare. Demikianlah kita memperhatikan kejadian-kejadian pasca lebaran. Tapi ada yang lebih penting dan menarik, yang kadang-kadang luput dari perhatian: Para perantau yang balik ke kota, meninggalkan istri dan anak mereka tetapi justru menggandeng tetangga dan sanak saudara untuk mengadu nasib di luar tanah kelahiran.

Merantau, kita tahu, bukanlah budaya asli orang Jawa, khususnya bagi masyarakat pedalaman dengan tanah-tanahnya yang subur. Mangan ora mangan sing penting ngumpul, itulah pepatah yang sangat dikenal. Dan selama bertahun-tahun pula pepatah itu membumi. Tapi bumi terus berputar mengelilingi matahari. Dan sekarang kita banyak menjumpai orang-orang Wonosobo merantau ke Kalimantan, Sumatera, Jakarta, Aceh, hingga Malaysia dan Hongkong, yang itu semua semata-mata demi memenuhi tuntutan ekonomi.

Dulu, pada era kemakmuran kentang (sekitar 1985-1995) bagi masyarakat di sekitar pegunungan Dieng, hijrah ke kota karena faktor ekonomi adalah suatu kekonyolan. Bagaimana tidak, dalam satu hektar lahan, bisa dihasilkan 30-40 ton kentang. Panen yang melimpah itu didukung pula oleh harga kentang yang mahal dan stabil, selain juga pupuk dan obat-obatan murah. Maka tidak heran, pada waktu itu, jamaah haji Wonosobo didominasi oleh penduduk Sembungan, Pathak Bantheng, dan warga sekitar pegunungan Dieng yang kemudian dikenal dengan istilah “haji kentang”.

Kini, urbanisasi benar-benar tak terbendung. Meski para petani kentang masih sulit meninggalkan ladang-ladang mereka di lereng-lereng gunung, tetapi penghasilan dari kentang tidak melimpah seperti dulu, sehingga hijrah ke kota atau ke luar negeri menjadi pilihan yang tak bisa dihindari.

Merantau ke kota atau ke luar pulau Jawa, tentu bukanlah sebuah dosa. Bagi Suku Minangkabau merantau bahkan menjadi sebuah budaya yang tak bisa dipisahkan. Orang-orang Minangkabau merantau membawa mimpi-mimpi yang tinggi, dengan pikiran dan hati yang luas, serta keberanian yang baja. Merantau bagi orang Minangkabau juga bagian dari penggemblengan mental dan spritiual, untuk dapat menjalani hidup yang lebih bermakna dan mandiri.

Dengan filosofi merantau yang demikian itu, orang Minangkabau begitu terkenal dengan Rumah Makan Padang di berbagai kota, meski di daerahnya sendiri Rumah Makan Padang tidak pernah ada. Tidak heran pula lahir orang-orang besar dari tanah Minang yang notabene merupakan produk perantauan: Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Mohammad Yamin, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan tidak ketinggalan pula si penyair binatang jalang, Chairil Anwar—untuk menyebut beberapa nama.

Memang, sebagaimana terjadi di negara-negara berkembang, laju urbanisasi tidak bisa dihindari. Faktor penyebab terjadinya urbanisasi yang paling utama adalah karena kemiskinan dan sedikitnya lapangan kerja di daerah pedesaan. Sektor pertanian tidak bisa lagi diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara industrialisasi di daerah perkotaan membuka kesempatan yang luas untuk bekerja. Lebih dari itu, Ahmaddin Ahmad dalam Redesain Jakarta: Tata Kota Tata Kita 2020 (2002) mengatakan, “Daya tarik kota besar bukan hanya luasnya lapangan kerja, tetapi juga yang mencakup daya tarik romantisme dan avounturisme kota yang penuh dengan hal yang heterogen, keserba-enakan, objek rekreasi dan seni yang beraneka ragam”.

Laju urbanisasi yang terus meningkat di bumi pertiwi ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi makro pemerintah orde baru, di mana kota dijadikan sebagai pusat ekonomi. Kebijakan tersebut mendapat kritikan yang tajam dari berbagai kalangan.

“Desa harus jadi kekuatan ekonomi. Agar warganya tak hijrah ke kota. Desa adalah kekuatan sejati. Negara harus berpihak pada para petani,” demikian sebuah syair lagu Iwan Fals yang dinyanyikan dengan nada sangat menyentuh. Dan usaha untuk memberdayakan masyarakat perdesaan sebenarnya sudah mulai dilakukan, meski belum menunjukkan hasil yang maksimal. Mantan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo sendiri pernah memopulerkan program Bali Ndesa Mbangun Ndesa, yang cukup memberikan dampak positif bagi kemajuan masyarakat di pedesaan. Sekarang, pasca Bibit digantikan Ganjar Pranowo, penguatan ekonomi pedesaan mestilah dijadikan sebagai bagian penting dari program Agenda 18—istilah yang dipakai Ganjar dalam program-programnya.

Bersiap “nJewer”

Ganjar sendiri pernah berkata: “Kami akan bahu membahu melaksanakan program-program pro rakyat dengan slogan mboten korupsi lan mboten ngapusi. Kalau ada kesalahan silahkan jewer kami." Ya, seorang penguasa (pemimpin) memang harus siap dijewer kapan dan oleh siapa saja. Peduli pemimpin itu minta dijewer atau tidak.

Bicara soal pemimpin di negara demokrasi sulit dilepaskan dengan Pemilu. Memang, Pemilu Legislatif baru akan dilangsungkan April 2014 nanti, tetapi kini kita sudah bisa melihat Daftar Calon Tetap (DCT) orang-orang yang nantinya akan kita beri mandat. Kepada merekalah kita titipkan lidah dan harapan kemajuan bangsa. Dan kita tidak butuh janji yang membusa (bualan), melainkan kerja yang nyata. Setelah mereka terpilih nanti, kita akan lihat: Apakah mereka akan sibuk memikirkan nasib rakyat, ataukah justru sibuk memikirkan bagaimana mengembalikan modal kampanye dan memperkaya diri sendiri. Kalau kemudian mereka ngapusi, maka satukan kekuatan, bersama kita “jewer”! | @jusufan

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »