Kalau Kau Benar-benar Cinta

Refleksi Menjelang Hari Raya Kurban
Jusuf AN, Guru MTs N Wonosobo

Seorang remaja tidak tahu bagaimana membuktikan cintanya kepada gadis yang dia cintai, lalu lantang berteriak di depan gadis pujaannya, “Jika kau tak percaya, belahlah dadaku!”  Maka begitulah, pada suatu malam Minggu yang dingin, ketika remaja itu kembali datang bermaksud berkencan, si Gadis menemuinya dengan membawa sebilah pisau yang baru diasah. “Buka bajumu!” kata si Gadis sembari menunjukkan pisau di tangannya. Pada saat itulah, sang pria terjaga dari tidurnya.

Itu adalah mimpi paling gila yang barangkali tak seorang pun manusia pernah mengalaminya. Kalau kemudian saya mengarang cerita seperti itu, disebabkan karena barangkali memang cinta begitu dekat dengan sebuah “kegilaan”. Kalau Anda tidak percaya, cobalah ingat-ingat kembali kisah Qais dan Layla. Jika belum pernah membaca kisah tersebut, ingat-ingatlah kisah al-Hallaj yang dianggap gila karena saking cintanya kepada Allah. Atau, biar lebih mudah, ingatlah sejarah para pahlawan yang rela mati demi kecintaannya kepada Tanah Air. Juga orang-orang yang sudi mengeluarkan miliaran rupiah demi kursi jabatan yang dicintainya. Adakah itu bukan sesuatu yang pantas disebut gila?

Perihal predikat “gila” itu sendiri sebenarnya tergantung siapa yang memandangnya. Jarang kita temukan orang yang mabuk mengaku dirinya mabuk. Jarang pula orang yang dianggap gila mengaku dirinya memang gila. Bagi para pecinta sejati, yang ada hanyalah rasa tidak peduli apa kata orang. Maka, lahirlah istilah “cinta buta”.

Meski sudah ditolak mentah-mentah, banyak pemuda yang tetap mati-matian berjuang mendapatkan gadis pujaannya. Meski sudah terbukti korupsi, masih saja bisa tersenyum dan merasa tidak berdosa. Meski hartanya sudah melimpah ruah, tetap saja menumpuk dan menumpuk, kalau perlu dengan cara-cara yang nakal. Meski hidupnya miskin dan sederhana, tetap saja bersedekah. Gila!

Sekiranya Abdurrahman Bin Auf hidup pada zaman sekarang, barangkali akan banyak orang menganggapnya “gila”. Betapa tidak, sahabat yang dijuluki oleh Rasulullah Saw sebagai saudagar Tuhan itu termasuk salah seorang yang paling terkenal kedermawanannya. Pernah, suatu ketika, Abdurrahman Bin Auf mengeluarkan sedekah sekali duduk sebesar 40 ribu dinar, dan pernah pula ia menyumbang 500 ekor kuda tempur dan 500 unta. Di tengah kehidupan materialistik seperti sekarang, siapakah yang menganggap orang seperti Abdurrahman Bin Auf sebagai seorang yang waras?

Di negeri ini, siapa yang tidak menuntut kenaikan gaji? Siapa yang menolak jika gajinya dinaikkan? Bahkan kita tahu, Akil Muktar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang terjerat kasus suap itu, sebelumnya sudah mendapatkan kenaikan gaji pokok dan tunjangan yang semula sekitar 80 juta menjadi sekitar 200 juta. Dan gaji sebesar itu toh belum membuatnya puas.

Berseberangan dengan Akil, tengoklah Ibnu Rusyd. Seturut Aguk Irawan MN yang memetik Abdul Wahid al-Marakisyi dalam al-Dzail wa Takmilah, ketika Ibnu Rusyd diangkat menjadi hakim Agung di Cordoba beliau justru menolak kenaikan gajinya. Bahkan beliau meminta agar potongan untuk baitul mal lebih dilipatkan, sehingga beliau hanya menerima tidak lebih dari sepuluh persennya. Sang khalifah mengabulkan permohonan itu, dan Ibnu Rusyd seketika sujud syukur. Sujud syukur karena gajinya dipotong nyaris habis; sujud syukur karena permohonan agar gajinya tidak dinaikkan dikabulkan Kholifah Daulah Muwahidin; betapa “sinting”. Tapi Ibn Rusyd justru berdoa: “Ya Allah, jangan engkau siksa kami dengan harta yang lebih dari apa yang aku dan keluargaku butuhkan...."

Tuhan tidak perlu mengeluarkan sebilah pisau dan membelah dada kita untuk mengetahui seberapa besar cinta kita kepadaNya, sebab Ia tahu segala segala isi hati. Maka, betapa Ia sangat membenci orang yang koar-koar bahwa dirinya mencintai Tuhan tapi ternyata di dalam hatinya penuh sesak kecintaan akan duniawi. Dan Tuhan pun tidak tinggal diam. Ia selalu menguji hambanya dengan berbagai cara, yang salah satu tujuannya adalah untuk mengukur seberapa besar kecintaan makhluk-makhluknya padaNya.

Ketika Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih Isma’il yang merupakan putra kesayangannya, beliau mematuhinya, dan itulah sebenar-benar pembuktian cinta. Maka terangkatlah derajat Nabi Ibrahim dan Ismail di sisi Tuhannya. Dan setiap tahun sejarah itu terus dikenang, sebagai sebuah tanda bahwa ada manusia yang sanggup melakukan hal-hal  yang dianggap tidak waras karena kecintaannya yang besaar kepada Tuhan.

Bagi kita yang mungkin masih belebihan mencintai dunia, ramuan obat Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi (2008) perlu untuk dicermati. Bahwa obat menghilangkan kecintaan dunia, menyembelih nafsu kebinatangan, bukan dengan meninggalkan urusan-urusan dunia. Rasulullah Saw bahkan pernah bersabda bahwa, orang yang bersusah payah dalam mencari nafkah, bekerja keras, dan kurang tidur demi mencari nafkah yang halal, beroleh pahala yang bisa menghapus dosa-dosanya. Obat dari menghilangkan kecintaan dunia adalah bekerja keras untuk mencari nafkah dan harta, kemudian tanpa ragu-ragu membagikannya untuk membahagiakan sesama manusia. Kalau kita masih menahan harta kita ketika Allah memintanya, itu membuktikan bahwa kita lebih mencintai dunia dari pada Allah.

Demikian! Semabat berkurban!

Terimakasih sudah memberikan masukan/tanggapan lewat kotak komentar.