Titik Temu Sains dan Sastra (2 Habis)

Titik Temu Sains dan Sastra (2 Habis)

Sastrawan IA Richard dalam bukunya Peotries and Science (1926), sebagaimana dikutip Agus Wibowo (2007) menyatakan bahwa masyarakat modern bakal mengkaji sastra secara serius layaknya kitab suci. Hal ini lantaran krisis spiritualitas dan dahaga batiniah akut yang mereka alami.

Pernyataan tersebut kiranya bisa dibenarkan. Mengingat sains dan teknologi yang dianggap segala-galanya, ternyata hanya menawarkan kesenangan dan kebahagiaan semu dan fana. Manusia lambat laun menyadari bahwa selain sains, ada jenis pengetahuan lain yang tak kalah penting bagi kehidupan, antara lain pengetahuan moral dan religius atau keagamaan. Sedangkan di dalam karya fiksi, banyak ditemukan nilai-nilai dari tiga pengetahuan tersebut (moral/budi pekerti, religius, dan sains).

Kita tahu, karya sastra (khususnya fiksi) dilahirkan bukan semata untuk menghibur. Lebih dari itu, kelahiran karya sastra memiliki tujuan suci dan mulia, yakni memberikan manfaat bagi umat manusia, khususnya pembaca itu sendiri. Jika tubuh kita membutuhkan makanan yang bergizi, maka rohani (pikiran dan hati) kita juga membutuhkan makanan yang bergizi pula, salah satunya adalah bacaan. Karya fiksi yang baik bisa menjadi makanan yang baik buat hati dan pikiran kita.

Oleh sebab itu, anggapan bahwa karya fiksi hanya buah imajinatif semata sudah sepatutnya dihapus. Karya fiksi memang bukan karya tulis ilmiah, tetapi tidak jarang di dalam karya fiksi banyak terkandung unsur-unsur ilmiah. Imajinasi dalam karya fiksi adalah imajinasi kreatif yang bisa dijadikan sebagai batu loncatan kemajuan.

Berbeda dengan fiksi, sains lebih sering dikenal sebagai ilmu yang “kaku” dan dibatasi oleh rasionalitas dan kebenaran ilmiah. Dalam pandangan sains, imajinasi kerap dianggap bukan sesuatu yang ilmiah. Padahal untuk mengembangkan sains dibutuhkan imajinasi kreatif sebagai pemicunya. Kenyataan tersebut semestinya bisa mempertemukan sastra dan sains.

Sastra bisa memberikan suntikan imajinasi bagi para ilmuwan untuk menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam mengembangkan sains. Dan di sisi lain, para sastrawan yang membutuhkan ide-ide untuk menciptakan karya bisa menjadikan sains sebagai sumber inspirasi yang tidak habis-habis untuk digali.
Hubungan sastra dan sains yang saling membutuhkan (magnetis) tersebut dapat menjadikan keduanya bertambah kuat dan cepat mengalami kemajuan. Karena itulah sastra tidak boleh menutup diri dari perkembangan sains jika tidak ingin dikatakan sebagai sastra yang angkuh. Begitu pula dengan sains yang tak mau melirik sastra. Perkembangannya sangat mungkin akan terhambat dan bahkan menjadi stagnan.

Titik temu sastra dan sains, menurut Nirwan Ahmad Arsuka (2008) bisa juga dilihat bahwa keduanya sama-sama berupaya mengajukan model-model tentang kenyataan, hanya caranya saja yang berbeda. Sains menggunakan metode empiris dan penalaran rasional. Sedangkan penulis fiksi, dalam menuangkan gagasan dan pengalamannya disertai dengan penggunaan intuisi dan imajinasinya.

Sayangnya, perkembangan IPTEK dan sastra di Indonesia secara umum masih terperangkap dalam bingkai "dua budaya", yakni sains belum memberikan masukan berarti dalam perkembangan sastra. Sementara kecenderungan umum dalam sastra kita, yakni merayakan sains dan teknologi dengan kekaguman belaka. Selain itu, sastra juga masih menjadi dunia para pengkhayal, sementara sains mengukuhkan dirinya sebagai basis kenyataan dan kemajuan. (Yasraf Amir Piliang, 2007).

Oleh karena itu, apa yang pernah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dalam menyelenggarakan Indonesia Sains Festival (2010) di Surabaya patut untuk diteruskan dan dikembangkan. Kegiatan tersebut termasuk terobosan baru. Karena di dalam acara Olimpiade Sains tersebut juga terdapat Olimpiade Sastra Indonesia. Meski yang dilombakan dalam Olimpiade Sastra tersebut baru berupa lomba pantun, menulis cerita dan resensi buku, dan hanya untuk tingkat sekolah dasar, tetapi upaya untuk mempertemukan sains dan sastra dalam acara tersebut patut untuk mendapat apresiasi.











Titik Temu Sains dan Sastra (1)

Titik Temu Sains dan Sastra (1)

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sastra masih sering dipandang sebelah mata. Cobalah amati teman-teman di lingkungan sekolahmu. Jika ada jurusan bahasa dan sastra di sekolahmu, apakah peminatnya lebih banyak dibanding jurusan lainnya? Biasanya jurusan bahasa dan sastra diposisikan sebagai jurusan alternatif, dijadikan pilihan terakhir setelah yang lain. Tak hanya di jenjang SLTA, tetapi juga di tingkat Perguruan Tinggi. Coba tanyakan kepada teman-temanmu yang sudah lulus SLTA. Biasanya mereka menempatkan fakultas atau jurusan sastra di urutan kedua atau ketiga setelah jurusan yang lainnya.

Fenomena tersebut seolah-olah membuktikan pandangan umum masyarakat kita, bahwa menjadi sastrawan atau ilmuwan sastra tidak lebih baik dibanding yang lainnya. Memilih jurusan selain sastra seolah-olah lebih unggul dibanding dengan memilih jurusan sastra.

Ada juga yang menganggap bahwa jenis pengetahuan yang menjadi semakin dominan dan bahkan dianggap sebagai yang paling terjamin kebenarannya adalah pengetahuan ilmiah (sains). Akses dari kecenderungan ini terungkap dalam paham yang disebut saintisme (scientism). Paham saintisme mengklaim bahwa tidak ada pengetahuan lain selain sains dan hanya sainslah yang mampu mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya. (Sudarminta, 2002: 14)

Jika sastra telah ditinggalkan dan masyarakat hanya mengunggulkan sains maka akibatnya jelas: Manusia bisa jadi punya kecerdasan yang tinggi, namun merosot adabnya. Masyarakat Indonesia bisa saja pintar mengerjakan soal fisika atau matematika, tetapi karena imajinasi yang lemah menghambat penemuan-penemuan atau terobosan-terobosan baru di berbagai bidang.

Hal tersebut pernah dikeluhkan oleh Agus R. Sarjono (2001:201) dalam bukunya Sastra Dalam Empat Orba. Dia mengatakan bahwa sejak dahulu di Indonesia telah terjadi fragmentasi antara dunia sastra dengan dunia sains dan teknologi, hal ini tentu saja berimplikasi ganda; yakni banyaknya karya sastra yang terbengkalai dari apresiasi keilmuan, dan kemiskinan imajinasi yang melanda teknokrat-teknokrat serta ilmuwan Indonesia. Kemiskinan imajinasi ini berujung pada miskinnya ide dan minimnya kreativitas.

Sains memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan modern, tetapi ia bukanlah segalanya. Bahkan, menurut Sudarminta (2002: 15) sesungguhnya pengetahuan ilmiah pun merupakan pengetahuan yang dapat keliru dan hanya mendekati kebenaran. Bukan hanya dalam bidang sains sosial, budaya dan kemanusiaan, tetapi juga bahkan dalam sains kedalaman, pengamatan atas objek yang dikaji itu bermuatan teori.

Maka dunia para ilmuwan dalam arti saintis serta dunia para sastrawan atau humanis sesungguhnya bukan dua dunia atau dua budaya yang sama sekali terpisah dan bahkan bermusuhan satu dengan yang lainnya. Pemisahan antara sastra dan sains terjadi disebabkan kesalahpahaman tentang hakikat masing-masing. Selain juga karena kecenderungan budaya yang masih mendewakan sains.





IPTEK dan Kekuatan Imajinasi (3 Habis)

IPTEK dan Kekuatan Imajinasi (3 Habis)

Kembali ke pertanyaan pada posting sebelumnya, apakah IPTEK di Indonesia sudah maju?
Menyangkut pertanyaan itu, ada dua pendapat yang berkembang di masyarakat. Pendapat pertama mengatakan bahwa perkembangan IPTEK di Indonesia sudah maju. Buktinya adalah kita sering meraih medali-medali emas dan perak dari lomba atau olimpiade sains dan fisika, baik tingkat Asia maupun Internasional.

Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa IPTEK di Indonesia saat ini masih tertinggal. Memang benar kita sering mendapatkan medali dalam olimpiade, tetapi prestasi-prestasi tersebut sering kemudian tidak ditindak lanjuti, hanya berhenti di titik itu saja. Terlebih lagi prestasi-prestasi tersebut hanya diraih oleh beberapa orang, sehingga belum layak untuk dikatakan mewakili rakyat Indonesia.

Penulis pribadi lebih sepakat dengan pendapat yang terakhir. Bukan berarti tidak percaya dengan kecerdasan yang dimiliki anak negeri. Secara umum harus kita akui bahwa dibanding dengan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, atau Amerika, IPTEK kita masih tertinggal. Indonesia memang punya beberapa ahli sains yang penemuannya telah dikenal oleh dunia. B.J Habibie yang bisa mendesain pesawat terbang, Adi Rahman Adiwowo penemu teknologi baru dalam telepon bergerak berbasis satelit, Alexander Kawilarang penemu kapal ikan bersirip, Anrias Wiji Setio Pamuji penemu reaktor biogas, Aryadi Suwono yang menemukan bahan pendingin baru yang lebih hemat energi, dan lain sebagainya. Tetapi apakah kita hanya akan terus menerus mengandalkan mereka? Apakah kita sudah puas hanya dengan nama-nama tersebut dan menyatakan diri sebagai negara yang telah maju? Tentu saja tidak.

Sekarang, cobalah kamu tengok barang-barang canggih yang ada di sekitar kamu. Mulai dari hand phone, kendaraan bermotor, sampai kulkas dan setrika, adakah yang merupakan produk dalam negeri? Jika ada, apa saja, dan bagaimana kualitasnya?

Mengakui ketertinggalan untuk kemudian bangkit tentu lebih baik ketimbang mengaku lebih hebat dan kemudian berpangku tangan. Kenyataan akan rendahnya kreativitas bangsa ini sudah sewajarnya membuat kita bertanya-tanya: Apa yang menjadi penyebabnya? Bagaimana caranya agar bisa mengejar ketertinggalan tersebut?

Satu sebab yang jelas adalah karena bangsa ini tidak memiliki tradisi imajinasi. Untuk menjadi masyarakat yang swadaya dalam penyediaan teknologi, maka masyarakat tersebut—selain dapat menginovasi teknologi mapan bagi kebutuhan diri sendiri—juga harus mampu melakukan prediksi teknologi yang masih akan lahir. (Besari, 2008: 315)

Di sinilah manusia membutuhkan imajinasi untuk menciptakan teknologi masa depan. Dan karenanya, upaya-upaya untuk mentradisikan imajinasi kreatif harus terus digalakkan. Salah satunya adalah dengan membudayakan membaca.

Membaca, khususnya sastra, bisa menjadi cara ampuh untuk mengasah imajinasi. Tidak heran jika di negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, Belanda mewajibkan siswa SMA harus menamatkan hingga 22-32 judul buku sebagai syarat kelulusan. Sementara di Indonesia anak-anak muda justru tenggelam pada televisi. Televisi telah menjadikan otak generasi muda menjadi pasif, imajinasi melemah, dan pada akhirnya membunuh pelan-pelan kreativitas yang dimiliki.

Rendahnya minta baca ini juga dipengaruhi oleh keadaan kehidupan mutakhir kita. Banyak orang menganggap bahwa uang adalah segala-galanya, sementara membaca sastra yang memberi kebahagiaan jiwa (tidak mendatangkan uang) dianggap tidak berguna. Ironisnya, fenomena tersebut telah dianggap wajar, bahkan dianggap benar. Akibatnya, kegiatan membaca semakin dijauhi oleh masyarakat.

Padahal jelas, membaca adalah upaya kita menghargai ilmu pengetahuan dan dalam rangka mengasah imajinasi. Perlu diingat juga bahwa penelitian-penelitian sains mengandaikan ide-ide tertentu yang telah dipegang sebelumnya. Tentu saja, ide-ide itu kemudian perlu dibenarkan oleh fakta-fakta observasi, tetapi tidak selalu berasal secara langsung dari fakta-fakta itu. Ide-ide yang dipegang tersebut sering bersumber dari imajinasi para ahli sains. (Leahy, 2006:19)

Oleh karena itulah, karya fiksi yang begitu dekat dengan imajinasi harus terus dihidupkan dan dikembangkan. Fiksi dan sains semestinya tidak saling bertolak belakang, melainkan saling mengisi. Sastrawan sudah sepantasnya mempelajari sains dan begitu pula sebaliknya, para ilmuwan dan cendekiawan yang berkiprah dalam pemerintahan (teknokrat) mengakrabi sastra sebagai bacaannya. Sebab sejarah telah mencatat berbagai penemuan dalam bidang IPTEK yang terinspirasi dari karya fiksi.










Aku Masih Lelaki, Kirai

Aku Masih Lelaki, Kirai


 
Aku Masih Lelaki, Kirai ilustrasi Putut Wahyu Widodo 
Cerpen Jusuf AN
Pernah dimuat di Suara Merdeka, 3 Februari 2013
 
Malam di sebuah stasiun, setelah tujuh tahun tak bersua, kami kembali jumpa. Kirai mengaku sudah lama mencariku dan aku pun begitu. Kami terharu, berpelukan dan tersedu. Kami tak bisa tertawa karena terlalu bahagia. Setelah bercakap sejenak, Kirai mengajakku ke sebuah rumah di perkampungan kecil. Di sana, di atas ranjang tepatnya, kami melebur rindu. Di tengah percintaan yang dahsyat itu mendadak aku tersadar jika tubuhku masih perempuan, seperti Kirai. Dan percintaan segera kuhentikan. Meski begitu, aku kembali mengulang percintaan semacam itu, sampai berkali-kali.
“Aku masih lalaki, Kirai.”
            “Dan aku tetaplah seorang perempuan.”
            “Apa kita akan tetap selamanya menjadi sepasang kupu dan akan mati tanpa meninggalkan keturunan.”
            “Kau berpikir tentang masa depan, Sayang?”
            “Kau ingin mengenang masa lalu, Kiraiku?
            “Tidak, Sayang. Aku tak ingin kita bertengkar.”
***
            Kawan, pastilah kau pernah mendengar pengakuan Kirai. Pengakuan yang meledak-ledak yang juga aku baca di sebuah surat kabar yang terbit hari Minggu. Tetapi tak ada salahnya aku mengulang sedikit cerita yang pernah Kirai sampaikan. Barangkali cerita Kirai kurang lengkap, atau kurang bersih, karena bercampur marah dan dendam.
            Desember, tujuh tahun lalu, aku tak mungkin lupa. Malam itu, tak kusangka Kirai bisa keluar dari tabung kaca di mana aku mengurungnya. Aku terbangun dari tidurku yang tak nyenyak dan mendapati Kirai telah berdiri menatapku penuh dendam. Ia sudah kembali ke ujudnya yang asli: perempuan cantik dan seksi. Ia telah berhasil lepas dari sihirku. Di tangannya tergenggam sebuah batu berwarna merah delima. Aku cukup tenang saat itu, mengira Kirai tak bisa menggunakan batu itu. Tapi ternyata, dugaanku keliru. Setelah Kirai merapal manteranya (mungkin ia hafal karena sering mendengarku mengucapkannya), seketika tubuhku menggeliat di lantai. Sekejap saja sekujur tubuhku sudah menjelma menjadi tubuh perempuan. Otot-ototku tenggelam. Suara lelaki hilang. Tanpa berkata-kata lagi Kirai segera pergi meninggalkanku sendiri.
            Masih beruntung Kirai tak menyihirku menjadi makhluk sebesar capung, seperti yang dulu aku lakukan padanya. Aku tahu, ia menginginkanku menjadi seorang perempuan agar aku bisa merasakan kesedihan yang Kirai rasakan. Kirai menganggap, aku telah menjadikannya boneka pemuas nafsu semata. Mhh, sepertinya keterangan Kirai perlu aku luruskan. Dan untuk itu aku mesti menerangkannya dari awal perjumpaanku dengan Kirai.
            Di lobi hotel itu aku bertemu dengannya awal kali. Sekitar satu jam sebelum pertemuan itu, aku baru saja menerima tamparan dari isteriku yang kupergoki tengah berselingkuh di kamar hotel. Kurang ajar sekali isteriku. Sudah tertangkap basah masih menamparku pula. Kepalaku masih dipenuhi dengan kehinaan yang diperbuat isteriku ketika Kirai duduk di sofa di depanku. Setelah lama berpandangan, akhirnya kami berbincang. Entah kenapa perbincangan kami mengalir seperti sungai. Kami bercerita tentang bacaan-bacaan sastra, film komedi dan drama, dan beberapa tempat pariwisata. Sampai kemudian, setelah sungai percakapan mengalir panjang, kami bertukar nama dan nomor ponsel. Sampai sekarang Kirai tak pernah tahu, bahwa aku tengah patah hati waktu perjumpaan itu.
            Malamnya, aku menelpon Kirai, mengadakan janji bertemu. Paginya aku ceraikan isteriku yang pulang dalam keadaan mabuk bersama beberapa lelaki bertubuh gemuk. Isteriku justru terbahak setelah mendengar kalimat ceraiku. Dan ia kemudian mengusirku dari rumah yang ia beli dengan uang hasil kerjanya. Kirai tak pernah tahu hal itu, dan sengaja aku merahasiakannya.
            Kian lama hubunganku dan Kirai bertambah rekat. Kami sering bersama menikmati senja di pantai dan tidur satu kasur di hotel sederhana. Sungguh, kegaduhan dan kesedihan di hatiku hilang ketika aku bersamanya. 
“Kau telah menyihirku, Kirai.”
“Maksudmu?”
Kirai seolah tak percaya jika aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ia tak ingin ikatan cinta merampas kebebasannya. Ia ingin berhubungan tanpa sebuah ikatan yang menjerat. Juga, ia masih tak yakin dengan ucapanku.
Kirai benar-benar telah menyihirku. Kemarahanku sering mendadak meledak-ledak ketika melihatnya bersama dengan lelaki lain. Aku ingin memiliki Kirai sepenuhnya. Di tengah keinginanku yang kian menggebu kebetulan aku berjumpa dengan kawan lama yang dulu begitu tekun belajar ilmu agama. Setelah kuceritakan masalahku, ia menawariku sebuah batu berwarna merah delima. Katanya, dengan batu itu aku bisa mewujudkan keinginanku: mendapatkan cinta Kirai, memilikinya sepenuhnya, selamanya.
Mulanya aku ragu menggunakan batu itu. Dan aku hanya menyimpannya selama berminggu-minggu. Sampai suatu malam Kirai menolak aku ajak bercinta dan berniat mengakhiri hubungannya denganku. Entah kenapa Kirai mendadak sadar jika kelakuannya selama ini telah melintasi batas-batas norma. Maka, segera aku keluarkan batu itu dari saku dan merapal manteranya. Ajaib! Seketika tubuh Kirai yang tadinya sempurna sebagai seorang perempuan berubah mengecil. Dengan mudah aku menangkapnya dan memasukkannya ke dalam tabung kaca yang kuambil dari ranselku.
Sejak itulah aku seolah kehilangan kesadaran. Aku tak tahu sebabnya. Sering kudengar bisikan lembut di telingaku, menyuruhku mengeluarkan Kirai dari kurungan, menjelmakannya menjadi perempuan normal, lalu memperkosanya. Kadang aku merasa kasihan dan berkeinginan melepaskankan sihirku. Tetapi keinginan itu hanya terlintas sejenak. Seperti ada yang mengontrol pikiranku untuk tetap mengurung Kirai. Mungkinkah batu dan mantera yang kubaca itu berpengaruh pula padaku? Entahlah. Yang jelas kemana pun aku pergi, tabung kaca dengan lubang udara kecil-kecil pada tutupnya itu selalu aku bawa.
“Apa kau tak bosan membawa satu perempuan itu melulu?” tanya kawanku yang dulu memberikan batu sihir itu.
“Tidak.” Tegas aku menjawab. Dan ia menyanjungku sebagai lelaki setia.
Sampai 21 Desember itu tiba. Dengan batu itu Kirai menyihirku menjadi seorang perempuan, lalu pergi begitu saja meninggalkanku.
Malam itu juga aku keluar mengejar Kirai. Barangkali ia mau memaafkanku dan bersedia mengembalikan tubuhku ke ujur semula. Berhari-hari, berbulan-bulan aku mencarinya, dan tak menemu hasil. Sampai suatu ketika seorang lelaki mengaku tertarik padaku. Ia baik dan ramah. Maka ketika ia mengajakku menikah, entah kenapa tak bisa aku bantah. Seminggu setelah menikah lelaki itu selalu pergi dari pagi hingga sore meninggalkanku sendiri, menyuruh ini-itu, dan sering memaksaku melayani hasrat seksualnya sesukanya. Aku tak tahan. Selain karena perlakuannya yang berubah kasar, juga karena aku masih terus teringat Kirai. Sekujur tubuh dan suaraku memang sudah berubah serupa perempuan, tetapi jiwaku tetaplah laki-laki. Maka, aku minta cerai. Dan melanjutkan pencarianku.
Ketika tak sengaja bertemu dengan kawan yang dulu memberikan batu sihir itu, hatiku cukup berbunga. Kawanku terkejut dengan pengakuanku dan mengaku tak sanggup mengembalikan tubuh lelakiku. Aku balik terkejut. “Hanya orang yang menyihirmu yang bisa mengembalikan tubuhmu,” katanya. “Carilah orang itu dan rebut batu itu darinya.”
Begitulah. Di sebuah stasiun, setelah tujuh tahun berpisah, akhirnya aku menemukan Kirai kembali. Tak kusangka, benar-benar tak pernah aku sangka, ternyata Kirai juga sudah lama mencariku. Ia mengaku selalu dikejar bayangan tentangku. Ia menjelaskan bahwa hidupnya serasa tak lengkap tanpa kehadiranku. Ia merasa bersalah dan menyesali perbuatannya. Ia meminta maaf padaku, mengaku jika waktu itu dirinya dikuasai amarah.
***
            “Kau ingin kembali ke ujudmu? Adakah itu penting, Sayangku?” tanya Kirai suatu kali, setelah hampir setengah tahun kami berdua hidup dan tinggal dalam satu rumah.
            “Setidaknya agar orang-orang di luar sana menganggap kita manusia normal. Tetangga-tetanggamu sudah mulai curiga dengan hubungan kita, Kirai. Apa kita akan mendiamkan ini berlarut-larut.”
            “Sepasang kupu seperti kita tak mungkin saling menindas, Sayang. Kita pasangan paling bahagia. Setidaknya untuk saat ini.”
“Kirai, cobalah ingat-ingat lagi, di mana dulu kau buang batu merah delima itu?”
            “Batu? Kau masih butuh batu laknat itu? Tapi untuk apa lagi, Sayang? Bukankah kita begitu bahagia sekarang?”
“Ya, aku cuma ingin tahu, kau buang di mana batu itu?”
“Di laut aku melemparkan batu itu. Tak mungkin mencarinya, bukan?” Kirai mendekapku.            “….”
            “Peluk aku lebih erat, Sayangku.”
            “Sebentar! Suara itu, kau dengar suara gaduh di luar itu?”
            “Mungkin ada pencuri tertangkap.”
            “Suara itu semakin jelas, seperti serombongan orang menuju ke mari.”
            Kirai terdiam sejenak, lalu berjingkat mengambil kapas, memerasnya kecil-kecil dan menyumpalkannya di lubang telinganya dan lubang telingaku. Tak terdengar lagi suara riuh orang-orang di luar rumah. Kami erat berpelukan. Sampai daun pintu kamar mendadak ambruk dan segerombolan lelaki bermata merah memandangi kami penuh marah.
 
Wonosobo, Juni 2007 - Januari 2012
Catatan:
 
Cerpen ini merupakan tanggapan atas cerpen “Menyihir Penyihir” karya Saroni Asikin (Suara Merdeka, Minggu, 10 Juni 2007).  Tokoh utama dalam cerpen ini mengadaptasi secara bebas dari cerpen tersebut.
IPTEK dan Kekuatan Imajinasi (2)

IPTEK dan Kekuatan Imajinasi (2)

Untuk mengetahui bagaimana cara kerja imajinasi Muhammad Muhibbuddin (2011: 38-39) mencontohkan bagaimana Nicolas Copernicus (1437-1543) melahirkan teori heliosentris. Teori heliosentris ini membantah teori geosentris yang sebelumnya telah menjadi dogma selama puluhan tahun. Sesuatu yang menarik dari penemuan Copernicus ini jelas bukan hanya terletak pada hasilnya, yakni keberhasilannya dalam menemukan teori heliosentris, tetapi justru pada awal mula ia menemukan teori tersebut.
kamu mungkin bertanya-tanya, bagaimana asal mulanya?

Proses lahirnya teori tersebut tidak terlepas dari kegelisahan intelektual Copernicus sendiri ketika merenungkan alam semesta. Misalnya, ketika dia mengamati bintang-bintang di angkasa, dia melihat bahwa di antara bintang-bintang itu terkadang jaraknya tampak lebih dekat dan kadang lebih jauh. Dari fenomena bintang-bintang itu lalu muncullah pertanyaan sederhana di dalam hatinya, “mengapa itu bisa terjadi?” Dari pertanyaan itu, Copernicus kemudian melahirkan sebuah ide sederhana namun brilian. Ide itu berupa pertanyaan simpel, “Apa yang terjadi jika bumi bukanlah pusat yang sebenarnya dari alam semesta melainkan hanya salah satu dari planet-planet yang mengeliling matahari?”

Jika kita melihat proses awal Copernicus dalam melahirkan teorinya yang mengubah pandangan dunia, maka jelas terlihat bahwa yang lebih berperan di sana adalah imajinasi. Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang mengantarkan dia sampai pada penyelidikan ilmiah pada dasarnya adalah cerminan dari imajinasi.

Kisah yang dialami Einstein dalam melahirkan teori relativitas—lewat rumus E=mc2 — tidak kalah menariknya dan menegaskan bahwa imajinasi memiliki kekuatan yang luar biasa. Albert Einstein melahirkan teori relativitas ketika ia baru berusia 26 tahun. Bagaimana imajinasi Albert Einstein bekerja sehingga teori relativitas bisa lahir? Uraian berikut disampaikan Jalaluddin Rahmat dalam pengantar buku Kecerdasan Milyuner: Warisan yang Mencerahkan Keturunan kamu (2003)."

Dalam catatan biografinya, Einstein menceritakan saat-saat pertama kalinya ia memikirkan teori relativitas. "Kira-kira seperti apa kalau kita berlari di samping pancaran cahaya, dengan kecepatan cahaya?" begitu dibayangkan Einstein. Ia juga membayangkan, dirinya mengendarai ujung berkas cahaya (light beam) sambil memegang cermin. Apakah ia melihat bayangannya dalam cermin. Menurut fisika klasik, jawabannya jelas. Ia tidak akan melihat bayangannya dalam cermin, karena cahaya yang meninggalkan wajahnya harus bergerak lebih cepat dari cahaya supaya mencapai cermin. Einstein lebih mempercayai intuisinya ketimbang teori klasik itu. Dalam bayangannya, sangat lucu kalau kita memegang cermin dan tidak melihat wajah kita di dalamnya. Einstein membayangkan jagat raya yang memungkinkan kita melihat wajah kita dalam cermin, walaupun kita mengendarai berkas cahaya. Dan teori relativitas pun terlahir.

Membaca kisah Copernicus dan Einstein di atas membuat kita tambah percaya bahwa semua sains dan teknologi yang sekarang nyata dan bisa dibuktikan itu, asal mulanya muncul dan dibangun melalui imajinasi. Oleh karena itu, dengan memikirkan ketidakmungkinan, seharusnya kita menjadi tertantang untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam, sebagaimana yang dilakukan para ilmuwan dunia.

Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa tanpa adanya masyarakat yang memiliki tradisi berimajinasi yang kuat maka IPTEK akan berjalan di tempat. “Imajinasi kita adalah gudang harta tak terhingga. Imajinasi melengkapi semua gagasan dan memproyeksikannya pada layar semesta,” demikian Joseph Murphy (2009: 223) menyimpulkan.

Pertanyaannya, bagaimana tradisi berimajinasi di Indonesia? Lalu, apakah perkembangan sains dan teknologi di Indonesia sudah maju? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita tahu apa yang dimaksud dengan teknologi dan seberapa penting teknologi bagi manusia.

Teknologi merupakan instrumen untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Sejak keberadaannya di muka bumi, manusia telah menerapkan teknologi. Teknologi telah diciptakan untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu, dan karenanya teknologi harus berubah seiring dengan berubahnya jenis kebutuhan yang harus dipenuhi manusia. Teknologi telah berkembang dari mulai yang sangat sederhana, sampai kini menjadi teknologi modern yang sangat rumit (complicated). (Besari, 2008: 9)

Lebih jauh, menurut Sahari Besari dalam buku Teknologi di Nusantara; 40 Abad Hambatan Inovasi (2008: 310) teknologi dapat dibedakan dalam tiga kelompok. Kelompok pertama, teknologi yang saat ini sudah ada, disebut teknologi mapan; kedua, teknologi dalam proses pemunculannya atau teknologi bakalan; dan ketiga, teknologi yang masih akan lahir di waktu yang akan datang atau teknologi masa depan. Teknologi yang terakhir ini sering kali dapat dirasakan, tetapi teknologinya sendiri masih belum diketahui.
Untuk bisa merumuskan hipotesis atau tebakan ilmiah (teknologi masa depan) yang berhasil maka kita memerlukan imajinasi saintifik yang kreatif. (Fried, George H, Georige J. Hademenos, 2005: 1 ). Imajinasi saintifik adalah imajinasi dalam bentuk sains atau ilmu pengetahuan.










Klasifikasi Fiksi Sains

Klasifikasi Fiksi Sains

Menurut Cramer dan Westfahl sebagaimana dikutip Sandya Maulana (2010: 22-24) klasifikasi fiksi sains umumnya disusun berdasarkan jenis sains yang dihadirkan atau bagaimana sains diperlakukan. Ada tiga klasifikasi fiksi sains yang paling terkenal, yaitu sebagai berikut:

a. Fiksi sains ‘keras’ atau hard science fiction, yaitu fiksi sains yang berhubungan erat dengan perkembangan sains dan teknologi dan membutuhkan pemahaman tentang sains dalam pembacaannya. Fiksi sains ‘keras’ juga mengacu pada sains ‘keras’ yang dibahas di dalamnya. Sains keras yang dimaksud di sini adalah ilmu alam atau eksakta seperti fisika, matematika, serta ilmu-ilmu yang relatif baru seperti sibernetika dan robotika.

b. Fiksi sains ‘halus’ atau soft science fiction, yaitu fiksi sains yang cenderung menggunakan ilmu-ilmu sains ‘halus’. Termasuk sains halus di sini adalah ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, politik, dan pada saat-saat tertentu, psikologi. Fiksi sains ‘halus’ bisa juga memuat unsur-unsur sains seperti fisika, matematika, atau biologi, tetapi tingkatnya masih berada di bawah fiksi sains ‘keras’.

c. Fiksi sains space opera atau opera angkasa. Space opera adalah sub-genre fiksi sains yang memiliki banyak formula, seperti halnya kisah koboy dan drama percintaan yang penuh klise, sebuah kisah petualangan dengan latar yang seolah menunjukkan ketertarikan terhadap sains dan teknologi, yang ditunjukkan dengan adanya pesawat penjelajah angkasa, pistol laser, atau perangkat teleportasi (pengalihan materi dari satu titik ke titik lain).

Tiga sub-genre di atas adalah klasifikasi fiksi sains yang paling umum. Masih ada beberapa sub-genre fiksi sains lainnya yang tidak begitu terkenal, antara lain sebagai tersebut:

a. Aliens: fiksi sains yang mengulas makhluk dari luar angkasa atau planet lain.

b. Kloning: Fiksi sains yang ceritanya tentang rekayasa genetika, biasanya diisi dengan konsekuensi moralnya. Contoh sub-genri ini adalah novel Lanang (2006) karya Yonathan Rahardjo.


c. Cyberpunk: Fiksi sains yang mengambil tema teknologi canggih, menampilkan keanehan manusia yang menghancurkan dirinya sendiri dengan kemajuan sendiri. Kata "cyberpunk" muncul pertama kali dalam novel "Neuromancer" (1984) karya William Gibson.

d. Distopia: Cerita fiksi sains yang pesimistis, ketakutan, dan kecemasan yang berlebihan menghadapi kemajuan ilmu dan teknologi yang menakjubkan karena ilmu dan teknologi tersebut dianggapnya sebagai sumber bencana kemanusiaan di masa depan.

e. Manusia Super: Cerita yang mengisahkan manusia super, yaitu orang dengan kekuatan super yang memiliki kekuatan atau kemampuan lebih dibanding manusia lainnya,

f. Teologi: Fiksi Ilmiah tentang agama.

g. Perjalanan waktu: Setiap kisah yang menampilkan mesin waktu atau perjalanan ke masa lalu atau masa depan.

h. Utopia: Fiksi sains yang menggambarkan sebuah masa depan yang ideal.
Meski terdapat pemilah-milahan sub-genre fiksi sains semacam itu, tetapi sebenarnya hubungan antara sub-genri-sub-genri tersebut relatif cair. Sehingga antara satu sub-genri dengan sub-genri lainnya dapat terjadi percampuran.












Fiksi dan Imajinasi

Fiksi dan Imajinasi

Karya sastra, sebagai sebuah produk intelektual, memiliki peran dalam mencerdaskan bangsa. Sastra juga memberikan pengaruhnya dalam menyiapkan generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan. Karena itu, peran dan pengaruh sastra dalam transformasi budaya memang tidak boleh dipandang sebelah mata. Apresiasi terhadap sastra juga harus terus ditumbuhkan dan digalakkan jika kita benar-benar menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang maju.

Prosa fiksi sains adalah jenis prosa yang di dalamnya memuat unsur-unsur ilmiah. Kelahiran fiksi sains telah banyak memberikan pengaruh pada kehidupan, khususnya dalam pengembangan sains dan teknologi yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Fiksi sains telah memberikan suntikan imajinasi kepada pembaca. Sementara imajinasi itu sendiri merupakan modal utama dalam pengembangan sains. Tidak heran jika para ilmuwan terkemuka mengakui kekuatan imajinasi. Terlebih lagi ketika kita mengingat berbagai penemuan sains yang terinspirasi dari karya fiksi. Ini membuktikan bahwa sains dan fiksi bisa saling mengisi. Antara fiksi dan sains bukanlah dua bidang keilmuwan yang bertolak belakang, melainkan bisa saling bersinggungan untuk kemudian menghasilkan sesuatu yang berguna bagi kehidupan.

Karya-karya fiksi sains juga telah membantu menyebarluaskan dan mendekatkan masyarakat dengan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Letupan-letupan imajinasi yang muncul ketika membaca fiksi sains akan mendorong pembaca tergugah, tertantang, dan termotivasi untuk mengembangkan iptek lebih jauh.

Dalam sejarah sastra Indonesia, kemunculan fiksi sains memang belum lama dikenal, tetapi ia telah memberikan warna baru yang menyegarkan. Terlebih lagi beberapa karya fiksi sains yang terbit ternyata amat digemari pembaca. Hal itu merupakan sesuatu yang menggembirakan. Sebab fiksi sains punya peran dalam mengikis anggapan negatif sebagian orang tentang dunia sains. Dengan membaca fiksi sains, kita akan tahu bahwa masalah-masalah sains itu tidak sempit, sains itu mudah dan menyenangkan, sains bukan hanya materi yang bisa dipelajari di kelas dan laboratorium. Sains juga bukan ilmu yang hanya digeluti oleh orang-orang tertentu, tetapi siapa pun perlu dan penting mempelajarinya. Demikian pula dengan karya fiksi sains, siapa saja boleh dan memiliki peluang untuk bisa menulis genri prosa fiksi ini.