HAMZAH AL-FANSURI: BIOGRAFI, KARYA, DAN PENGARUHNYA TERDAHAP PERADABAN ISLAM DI NUSANTARA

A.    Pendahuluan

Kita tidak asing lagi dengan Syekh Hamzal al-Fansuri. Beliau dikenal sebagai salah satu perlopor sastra melayu. Puisi-puisinya banyak diperbincangkan dan menjadi rujukan sastrawan-sastrawan setelahnya.
Syeikh Hamzah Fansuri diakui salah seorang pujangga Islam yang sangat populer di zamannya (Abad 16 dan 17), sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.
Syekh Hamzah Fansuri, selain sebagai penyair atau pujangga, juga merupakan salah satu tokoh sufi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani adalah termasuk tokoh sufi yang sefaham dengan al-Hallaj, faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah seirama. Disebabkan paham sufinya tersebut, Syekh dari Aceh ini banyak mendapatkan kritik dan perlawanan dari golongan yang tidak sepaham dengannya. 
Makalah ini akan membahas mengenai biografi dan karya-karya Hamzah Fansuri. Juga pemikiran, dan pengaruhnya dalam sejarah peradaban Indonesia.

B.       Biografi

makalah hamzah fansuri
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai sampai sekarang.[1] Tetapi dari syair dan dari namanya sendiri menunjukkan bahwa sudah sekian lama beliau berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka pantas digelari Fansur.
Pada ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu, ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.[2]
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.

C.     Karya-karya Hamzah Fansuri

Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :
a. Syair burung pingai
b. Syair dagang
c. Syair pungguk
d. Syair sidang faqir
e. Syair ikan tongkol
f. Syair perahu
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
a. Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
b. Syarbul ‘asyiqiin
c. Al-Muhtadi
d. Ruba’i Hamzah al-Fansuri

Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana tanah air. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :
- The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968[3]

Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong dalam Syi'r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan (kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi) [4].

  1. Pemikiran dan Pengaruh Hamzah Fansuri
Klik gambar untuk download makalah ini dalam format .doc

Banyak ualama Indonesia di kenal lantaran karya-karya mereka yang tersebar di berbagai wilayah dunia Islam. Di antara ulama Indonesia yang dikenal sebagai pengarang adalah Nuruddin Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, dan Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari.[5]
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lan yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri. Di bidang kesusastraan pula Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a syair sebagai suatu bentuk pengucapan sastra seperti halnya pantung sangat populer dan digemari oleh para penulis sampai pada abad ke-20.
Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat di ingkari. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian keduudkan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian, kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya.[6]
Simaklah syair Hamzah Fansuri yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:

“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.

Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:

“Hapuskan akal dan rasamu,
lenyapkan badan dan nyawamu.
Pejamkan hendak kedua matamu,
di sana kaulihat permai rupamu”.

Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.[7]
Pada hakikatnya, menurut Hamzah, pemahaman akan Tuhan itu mudah, hanya memerlukan kepasrahan dan keberanian karena “Kekasih zahir terlalu terang/Pada kedua alam nyata terbentang.” Jadi, ciri khas pemahaman tasawuf Hamzah adalah hakikat Allah itu dekat dan menyatu, hanya saja manusia tidak menyadarinya.[8]
Dalam jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Azumardi Azra menyebutkan bahwa faham Hamzah Fansuri berpaham Wujudiyah, berbeda dengan Ar-Raniri yang memementingkan Syariah dan dianggap sebagai perintis gerakan pembarahu Islam atau neo-sufisme.[9]
Fahamnya tersebut mendapat pertentangan dari syekh Nuruddin ar-Raniri. Dan untuk membasi faham wujudiyah ini, kitab-kitab berfaham wujudiyah, seperti kitab-kitab hamzah fansuri bahkan dibakar di depan masjid baiturrahman Aceh.[10]

  1. Kesimpulan

Syekh Hamzah Fansuri telah begitu banyak memberikan sumbangan terhadap peradaban Islam Nusantara. Karya-karyanya, baik puisi maupun yang lainnya telah banyak memberikan inspirasi bagi generasi-generasi sesudahnya. Melalui puisi-puisinya itu pula Syekh Hamzah Fansuri menyebarkan dakwah islamiyah.
Meskipun paham sufinya mendapatkan pertentangan dari beberapa kalangan sehinga menyebabkan buku-bukunya dibakar, tetapi namanya tidak lekang oleh zaman. Sejarah pembakaran buku sebagaimana terjadi pada awal masuknya Islam tidak boleh terulang. Buku, bagaimana pun kontroversialnya, tetap merupakan sebuah produk intelektual dan hasil perenungan dari penulisnya. Pembakaran buku, pengekangan kebebasan berpikir, justru akan membuat peradaban berjalan mundur. 

Catatan kaki:



[1] Abdul Hadi, W.M., Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya: Bandung, 1995, hlm. 9-13
[2] Narun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, IAIN Syarif Hidayatullah: Jakarta, 1992, hlm. 201
[4] Samsul Munir Amin, Karamah Para Kiai, Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2008. Hlm. 317
[5] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Batani, Pustaka Pesantren: Yogyakarta, 2009, hlm. 49.
[6]Abdul Hadi W.M., op.cit., hlm. 14-16
[8] Budi Sudardi, Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri: Solo, 2003. Hlm. 50.
[9] Azumardy Azra, Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Penerbit Mizan: Bandung, 1994. Hlm. 166-188
[10] Samsul Munir Amin, Op. Cit. hlm 314


DAFTAR PUSTAKA

  • Abdul Hadi, W.M., Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, Bandung, 1995.
  • Azumardy Azra, Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Penerbit Mizan: Bandung, 1994.
  • Budi Sudardi, Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri: Solo, 2003.
  • Narun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1992.
  • Samsul Munir Amin, Karamah Para Kiai, Pustaka Pesantren, Yogyakarta: 2008.
  • Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Batani, Pustaka Pesantren: Yogyakarta, 2009.
  • http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/02/syeikh-hamzah-al-fansuri.html. Diunduh, 28 Juni 2012.
  • http://www.tumblr.com/tagged/hamzah-fansuri. diunduh 28 Juni 2012.


Nyona Jelita, Kupu-kupu, dan Sepatu di Depan Pintu

Nyona Jelita, Kupu-kupu, dan Sepatu di Depan Pintu


Cerpen Jusuf AN, pernah dimuat di Padang Ekspres
 
Tak ada yang lebih membakar dadanya kecuali ketika mendapati sepasang sepatu di depan pintu rumah si Nyona jelita. Sebuah rumah tanpa pagar, tanpa bunga, tanpa kursi dan meja di beranda. Warna temboknya merah tua dengan kaca-kaca jendela yang gelap. Ia telah berkali-kali melihat dari jarak dekat dan wajar jika sangat hafal. Di dalam rumah itu, mungkin ada teve, VCD, lukisan, kalender, foto keluarga, jam dinding, dispenser, kompor gas dan perabot rumah lainnya. Ah, entahlah. Mungkin kelak, ketika ia benar-benar jadi bertamu, tak akan ditemukannya benda-benda itu, siapa tahu. O, sepasang sepatu di depan pintu, selalu menggugurkan tekad-niatnya untuk bertamu.

Begitulah, betapa matanya seketika menjadi layu setiap kali melihat sepatu itu. Sepasang sepatu kulit warna coklat mengkilat, hampir sama dengan sepatu yang sering ia pakai sehari-hari. Yang persis sama adalah simpul talinya; simpul kupu-kupu. Ah, siapa sesungguhnya tamu dalam rumah itu?

***
Pada sebuah pagi yang gerimis ia tengah menunggu bus kota di halte ketika perempuan itu datang dari arah selatan dengan tangan kanan memegang gagang payung yang bergoyang-goyang oleh angin. Perempuan itu mengenakan kemeja putih serta rok cekak kotak-kotak mengingatkannya dengan penjaga mini-market di sebelah kopresi tempatnya kerja sehari-hari. Kecuali hari Minggu, sebelum pagi pukul tujuh, ia selalu ada di halte itu, akan tetapi baru pertama kali (dan ia sudah menduga tak akan terulang lagi) ia melihat perempuan itu. Perempuan jelita berambut hitam sebahu. Setelah menguncupkan payung perempuan itu berdiri tenang di sebelahnya. Selain mereka berdua ada seorang lelaki tua sedang menata koran-koran pagi, seolah-olah tengah menjemur kain-kain kering. Di belakang halte itu sebuah gedung sekolah berdiri gagah dengan  pintu gerbang membuka—bagai mulut raksasa. Ketika ratusan siswa mulai memasuki mulut raksasa itu lelaki itu sadar beberapa menit lagi tiba pukul tujuh dan ia mesti segera berangkat. Setengah delapan ia harus tiba di tempat kerja, berhadapan dengan tabel dan angka-angka. Tajam ia tatap jam tangan, lalu mundur beberapa langkah, kemudian memutar jarum jam dua puluh menit ke belakang, seolah dengan cara itu ia merasa tak lagi diburu-buru oleh waktu. Karena tak ingin menyesal dengan membiarkan perempuan itu berlalu begitu saja, maka ia segera mendekat. Sungguh, baginya tak mudah mengumpulkan keberanian untuk melakukan hal itu. Ia menyapanya dengan suara serak dan berat. Perempuan itu, duh matanya, menatap teduh. Suaranya bening bagai bunyi garputala. Senyum menyungging bagai bunga lili. Lelaki itu menduga-duga, usia perempuan itu sekitar dua lima. Ia menangkap dan menyimpan setiap jawaban—terutama nama dan alamat—yang diucapkan perempuan itu tanpa sungkan. Cukup lama mereka berbincang dengan kalimat pendek-pendek, sampai lelaki itu terkejut, tak menyangka jika perempuan yang baru dikenalnya beberapa menit lalu jujur mengatakan statusnya: seorang Nyona, baru enam bulan masa kawin dan sebulan lalu dicerai suami. Sebuah pengakuan yang membuat dadanya bergetar seketika.
Pertemuan itu telah menghilangkan selera makan paginya hingga beberapa hari serta mengundang mimpi aneh dalam tidurnya yang pendek. Dalam mimpi itu ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu bersayap hitam, terbang tanpa kawan menyusuri padang yang gersang. Tiap kali terjaga dari mimpinya ia sering duduk berlama-lama di tubir ranjang. Memikirkan mimpi itu, tentu, selain juga melamunkan masa lalu.
Ia sering teringat Emak yang tinggal di sebuah kampung terpencil yang sudah hampir dua puluh tahun ia tinggalkan. Ia sering menggerutu sambil menjambaki rambutnya yang mulai kelabu. Kenapa dulu ia tergesa memutuskan pergi ke kota hanya dengan bekal selembar ijazah SMA? Entahlah. Yang terang, tak ada yang bisa ia dikerjakan di kampung dengan kepintaran yang sering disanjung hampir oleh semua guru sekolahnya. Memang ia punya beberapa petak ladang yang ditumbuhi pohon akasia, pisang, dan nangka. Tapi, baginya, mengurus ladang sama saja dengan membakar angka-angka delapan dalam ijazahnya. Ah, jika saja ia menuruti Emak untuk tetap tinggal di kampung, mengurus ladang dan beternak tentu cerita hidupnya akan lain. Mungkin ia sudah lama kawin dengan gadis seperkampungan dan tinggal menetap di rumah kayu warisan Bapak dan beranak-pinak. Sering pula terbersit dalam pikirannya mengemas barang kemudian untuk pulang ke kampung halaman. Tapi selalu ia urungkan. Betapa ia masih memegang kuat janji yang dulu ia ucapkan lantang-lantang saat pamitan: "Aku tak akan pulang jika belum punya rumah sendiri, Mak, tak akan! Tak akan pula aku beristri!"
Jangankan membangun rumah, mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri ia merasa kepayahan. Entah sudah berapa kali ia ganti-ganti kerja, dan yang terakhir diterima menjadi akunting di sebuah koperasi kecil. Selama ini ia mencoba menerima guratan nasib dan percaya, suatu ketika ia akan membuktikan janjinya pada Emak. Tapi pertemuannya dengan si Nyona telah mengacaukan pikirannya, apalagi setelah mimpi aneh itu terulang sampai berkali-kali.
Kenapa mimpi itu baru ia terima setelah pertemuannya dengan si Nyona? Bukankah sudah bertahun-tahun ia seolah menjelma menjadi seekor kupu-kupu yang terbang tanpa kawan? Mungkinkah ini sebuah pertanda, bahwa Nyonaitu meruapakan jodohnya? Ia tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu meski sudah berkali-kali memikirkannya sejak bangun tidur hingga tertidur kembali. Maka, suatu senja, sepulang kerja, ia mengeluarkan alamat rumah si Nyona yang melekat di dinding ingatan untuk kemudian pergi bertandang. Entah kenapa ia begitu yakin jika mimpi aneh yang sudah berkali-kali hadir dalam tidurnya merupakan sebuah pertanda. Ya, Nyona itu pastilah jodohku. Toh tak salah ingkar pada janji yang menyiksa diri, pikirnya.
Tapi celaka, sepasang sepatu di depan pintu rumah yang ia tuju seolah menyuruhnya berbalik langkah. Lebih celaka lagi, telah berkali-kali pemandangan yang sama ia dapati. Ah, lelaki kalah. Payah!
***
Senja ini adalah senja ke tiga belas sejak pertama kali ia memergoki sepatu di beranda rumah si Nyona jelita. Itu berarti sudah dua belas kali ia berniat bertamu dan membalikkan langkah sebagai lelaki kalah. Sepulang kerja, seperti dua belas senja yang beriringan telah lewat, ia tak langsung pulang ke rumah kontrakannya. Ia berjalan memandang bayang-bayang tubuhnya yang memanjang di depan. Tak dirasakan tengkuknya yang pegal-pegal akibat terlalu lama membungkuk mengerjakan setumpuk kerja pembukuan. Langit senja yang cerah menaunginya melangkah menyusuri jalan aspal yang lengang. Ia membayangkan ketika sampai di depan rumah si Nyona jelita dan mendapati sepasang sepatu di depan pintu, ia tak akan peduli. Segera ia akan mengetuk pintu, lalu Nyona pemilik rumah akan membukanya, tercengang sebentar melihat wajahnya, memberi senyuman, kemudian akan menyuruhnya masuk dan duduk di kursi tamu dan lelaki itu tak menemukan siapa-siapa di sana dan hanya mendapati jam dinding yang diselimuti debu. Nyona  itu kemudian akan ke belakang dan kembali lagi membawakan secangkir teh hangat serta setoples roti kering yang tidak ia sukai dan Nyona itu menyuruhnya mencicipi. Setelah berbasa-basi sebentar, ia akan bertanya perihal sepatu di depan pintu itu dan si Nyona akan menjawab dengan suara bening bagai bunyi garputala, bahwa pemiliknya adalah dirinya sendiri. Lelaki itu pastilah akan tercengang. Lalu Nyona itu akan menjelaskan, dengan menaruh sepatu laki-laki di depan pintu ia merasa tidak sendirian lagi, kemudian menambahkan, mungkin dengan sesenggukan, bahwa sebenarnya ia sangat kesepian sejak cerai dengan sang suami. Begitulah kejadian yang sering ia harapkan.
Ia menggelengkan kepala, merasa tak yakin dengan dugaan yang barusan ia bayangkan. Tak terasa sudah cukup jauh ia melangkah di tengah hati yang rusuh. Rumah dengan dinding merah tua, tanpa pagar tanpa kursi dan meja di beranda itu samar-samar terlihat. Kian mendekati rumah itu kian kencang darahnya berdesir. Dan keraguan mendadak merayap di tengkuknya. Angin senter menerpa dadanya, tak hanya menjilati keringat, tapi juga tekad keberaniannya untuk bertemu Nyona itu. Ia perlambat langkah. Ia sangat yakin sepasang sepatu coklat mengkilat itu pastilah akan kembali ia lihat. Mungkin nanti, ia akan mengetuk pintu lebih dari sepuluh kali dan Nyona itu baru membukanya dengan tubuh basah keringat serta rambut yang lusuh. Nyona itu telah lupa dengan pertemuannya di halte dan kemudian lelaki itu akan mengingatkan. Setelah itu ia akan disuruh masuk dan duduk di kursi ruang tamu dan kemudian tanpa basa-basi ia bertanya, siapa pemilik sepatu itu, dan si Nyona akan menjawab dengan senyum bunga lili, menjelaskan bahwa ia sudah rujuk dengan sang suami. Jika benar demikian kejadiannya, maka secepatnya ia akan pamitan.
Ia berhenti. Mendongak menatap mendung yang tiba-tiba bergulung-gulung menelan bayangan tubuhnya. Tinggal beberapa meter lagi ia akan sampai di rumah yang ia tuju. Ia mendesah, mencoba mengumpulkan lagi keberanian yang sudah terbang disambang angin. Dengan cepat ia kembali mendapatkan bangunan keberaniannya, lebih kokoh dan mewah dari yang semula. Maka, ia berjalan dengan langka-langkah panjang dan pasti, seperti ketika berangkat pagi-pagi di awal bulan di mana ia biasa menerima gaji yang selalu habis dalam jangka sebulan. Tetapi begitu sampai di depan rumah si Nyona hatinya terhenyak. Kali ini ia melihat dua pasang sepatu terparkir di depan pintu rumah itu. Dua pasang sepatu dengan simpul tali kupu-kupu.