Pendidikan Mahal dan Ironi Kesuksesan

Pendidikan Mahal dan Ironi Kesuksesan

Seorang remaja gelisah sembari memandangi baju putih penuh tanda tangan dan pilokan yang tergantung di pojok kamar. Sementara di kamar lain di rumah yang sama, sang Ibu melepas kalung dan gelangnya untuk digadaikan: “Tak apa. Yang penting, anakku jadi sarjana!” Potret tersebut kerap kita temui, semacam musim atau ritual tahunan setiap Juni sampai Juli.

Hem, jangankan biaya masuk Perguruan Tinggi, menyekolahkan anak ke TK saja butuh biaya jutaan. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kabar sekolah gratis yang kerap digembor-gemborkan itu hanyalah buih sabun, atau bahkan semacam ilusi para punggawa negeri ini saja.

Tapi anehnya, meskipun sekolah mahal, toh tetap diserbu juga. Demi apa? Jawabannya beragam. Kelompok pertama menganggap sekolah adalah bagian dari gengsi, demi menuruti tuntutan pergaulan. Kelompok kedua berkilah masa depan ditentukan oleh jenjang pendidikan dan ijazah. Sementara kelompok ketiga beralasan, ngelmu iku angel nanging tinemu (ilmu itu walaupun sukar namun akhirnya ditemukan juga), jadi utang tak apalah, yang penting bisa ‘jadi orang’.

Ya, sekolah memang penting, lebih-lebih mencari ilmu, fardhu ‘ain hukumnya. Tetapi kita harus tobat dan eling: memberhalakan ijazah atau strata pendidikan sama saja melanggar sila pertama Pancasila.

Prestasi akademik, nilai-nilai dalam ijazah, termasuk juga foto-foto wishuda, tidak cukup bisa diandalkan untuk mengantarkan seseorang ke gerbang cita-cita. Hal tersebut senada dengan penelitian di Harvard University, bahwa kesuksesan ditentukan oleh 20 persen pengetahuan (akademis) dan 80 persen oleh kemampuan non-akademis, yakni bagaimana kita bisa mengelola diri dan orang lain.

Tidak heran jika di dunia ini ada orang seperti Bill Gates. Siapa sangka jika dedengkot softwere Microsoft ini dulunya adalah siswa yang DO. Ada pula Almarhum Steve Jobs, sang penemu produk Apple, yang dulu hanya menempuh kuliah sampai semester satu. Kisah mereka bisa kita jadikan inspirasi, bahwa kesuksesan bisa direngkuh siapa saja, bukan hanya mereka yang berijazah.

Ah, orang sukses! Sering menjadi pusat perhatian dan sumber kengileran. “Kapan saya bisa seperti itu ya?” gumam banyak orang. Dan ketika ada sms dari PT.DengkulmuAmbles mengabarkan mereka dapat undian, mereka mengira Tuhan telah mengabulkan doanya. Tahu-tahu seluruh hartanya malah ludes, sementara hadiah yang dijanjikan tidak pernah datang. Duh Gusti! Betapa banyak orang ingin cepat kaya tanpa repot bekerja hingga terjerat perangkap para penipu. Ironis!

Pertanyaan yang tepat mestinya bukan “kapan saya akan sukses,” tetapi bagaimana untuk menggapainya. Tentu saja proseslah yang utama. Oleh sebab itu, bukan saatnya lagi kita gengsi-gensian soal pekerjaan, tidak perlu pula mengandalkan orang lain, ijazah, apalagi harus menunggu test CPNS. Kita sudah dibekali pikiran dan kekuatan, dan Tuhan sudah berpesan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Maka, jangan lagi ada “entar” di antara kita. Kini, saatnya “enter”: action!
Membaca yang Efektif

Membaca yang Efektif

Perlu diketahui bahwa membaca juga membutuhkan sikap yang baik. Membaca tidak boleh asal-asalan jika tidak ingin apa yang kita baca menjadi angin lalu. Untuk bisa membaca yang efektif maka kita harus menumbuhkan sikap sewaktu membaca. Tentang itu Hernowo (2001: 68) telah merumuskannya dengan baik:

1. Sabar.

Kesabaran diperlukan saat membaca karena bila tergesa-gesa dalam memaknai suatu gagasan, bisa jadi kesimpulannya salah.

2.Telaten.

Ketelatenan memungut makna-makna yang tersebar di sepanjang halaman buku kemudian mengumpulkannya dan menghimpunnya amat diperlukan karena kalau tidak telaten akan banyak gagasan yang menguap dan bersembunyi kembali.

3.Tekun.

Ketekunan diperlukan untuk membantu kita menyisir himpunan kata, kalimat, alinea, bab, dan bagian demi bagian yang menyimpan gagasan pokok dan penting untuk diperhatikan.

 4. Gigih.

Kegigihan akan mendorong kamu agar tidak sekali baca sudah ‘mati’. Artinya kamu bisa jadi perlu mengulang pembacaan hingga lebih dari sekali.

 5. Sungguh-sungguh.

Kesungguhan dalam menemukan makna, memahami maksud penulis, dan mengajak pikiranmu memelototi hal-hal menarik dan penting yang disampaikan seorang penulis akan menghadirkan manfaat yang tak terduga (pikiranmu akan menemukan sesuatu yang baru dan segar).
"Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Tahun 2013"

"Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan Tahun 2013"

Tahun ini Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional kembali menggelar ajang bagi Siswa SMA, pendidik, tenaga kependidikan, mahasiswa, dan umum. Sayembara ini dinamakan dengan "Sayembara penulisan naskah buku pengayaan 2013".


Tema "sayembara penulisan buku pengayaan" tahun ini adalah: Membangun       manusia  Indonesia  yang  beriman   dan  bertakwa  kepada     Tuhan     Yang      Maha  Esa,  Berkarakter, Cerdas, Cakap, Kritis, Kreatif, Inovatif, dan Kompetitif di Era Global

Dalam rangka mendapatkan naskah buku pengayaan yang bermutu dan menggali potensi menulis di kalangan siswa, mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan, serta masyarakat umum, Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud menyelenggarakan Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan. Buku pengayaan adalah buku yang memuat materi yang dapat memperkaya buku teks pelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan tahun 2013 ini  memperebutkan hadiah total lebih dari Rp 1.000.000.000,00 untuk 57 pemenang dari 9 jenis naskah.

Poster Sayembara 2013

Unduh Poster Sayembara Tahun 2013


Informasi lebih lanjut tentang "sayembara buku pengayaan" 2013 dapat menghubungi:

Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdikbud
websit
e: http://puskurbuk.net, telp.: 021 3804248,
e-mail: sayembara_puskurbuk@yahoo.com ,  facebook: sayembarapuskurbuk.
sumber: http://puskurbuk.net,

baca juga:
Lomba Menulis Artikel untuk Guru 

Waktu Shalat dan Puasa di Daerah Kutub

Kita tahu, shalat dan puasa adalah ibadah yang cara pelaksanaannya haruslah sesuai dengan yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw, atau disebut juga ibadah mahdhah. Demikian pula dalam hal waktu menjalankannya, mestilah sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan hadist.

Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ [17] ayat 78:

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا


Dirikanlah shalat dari sesuadah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula shala subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tinggal di daerah abnormal seperti daerah sekitar kutub utara/selatan? Sebagaimana diketahui bahwa daerah kutub berbeda dengan daerah yang normal, yang antara siang dan malamnya relatif seimbang. Di daerah kutub bahkan terjadi 6 bulan terus menerus dalam keadaan siang dan 6 bulan terus menerus dalam keadaan malam.

Masjfuk Zuhdi (1987) menerangkan bahwa ketetapan hukum Islam yang diperbolehkan dari nash al-Qur’an dan Sunnah yang qath’i dan sharih adalah bersifat universal dan fix, dan berlaku untuk seluruh umat manusia sepanjang masa. Namun, sesuai dengan asas-asas hukum Islam yang fleksibel, praktis tidak menyulitkan, dalam batas-batas jangkauan kemampuan manusia, dan sejalah dengan rasa keadilan, maka ketentuan waktu shalat dan puasa dalam al-Qur’an dan hadist itu berlaku bagi zona bumi yang normal saja.

Menurutnya, lebih dari tiga perlima bumi yang dihuni manusia termasuk berada di aderah yang normal, ialah seluruh Afrika, Timur Tengah, India, Pakistan, Cina, Asean, Australia, dan seluruh Amerika (kecuali Canada dan sedikit daerah selatan dari Argentina-Chilli), dan Oceania. Waktu shalat dan puasa di daerah tersebut berdasarkan terbit dan tenggelamnya matahari di daerah masing-masing.

Adapun waktu shalat dan puasa bagi umat Islam yang tinggal di luar daerah khatulistiwa dan tropis, yakni di daerah-daerah di luar garis paralel 45 derajat dari garis Lintang Utara dan Selatan yang abnormal itu, karena perbedaan siang dan malamnya terlalu besar maka bisa mengikuti waktu shalat dan puasa di daerah normal yang terdekat dengan daerah tersebut.

Dengan demikian jelaslah bahwa hukum Islam dibuat tidak untuk menyulitkan manusia. Hukum Islam (fiqih) itu sangat fleksibel, tergantung situasi dan kondisi mukallaf (orang yang dibebani hukum).

Demikian. Semoga bermanfaat.


Sumber gambar: http://duniayuza.blogspot.com

Merpati Eyang

Cerpen Jusuf AN

HAMPIR dua tahun, sejak Bapak dan Emak pergi merantau, aku tinggal hanya dengan Eyang. Awalnya aku bersedih dan selalu menangis. Namun, lama-lama aku menemukan kebahagiaan yang tak terkira. Kebebasan!

            Jika dulu aku tidak dibolehkan keluar malam, berenang di sungai, main bola di bawah hujan, pun berburu kodok di sawah bersama teman-teman, maka sekarang aku bebas melakukan semuanya. Hampir tiap malam aku keluar rumah, menginap di rumah teman, pulang sebelum pukul tujuh pagi, dan Eyang selalu membiarkan.

Sekitar dua tahun silam, sebelum pergi merantau, Emak sempat mengatakan bahwa usia Eyang nyaris tujuh puluh. Mulanya aku tidak percaya, sebab rambut Eyang yang panjang dan selalu dibiarkan tergerai itu masih berwarna hitam. Tapi kemudian Emak menjelaskan, bahwa Eyang sengaja mengecatnya.

Hem! Memang, Eyang tidak seperti kebanyakan perempuan tua di kampungku yang tidak peduli lagi dengan penampilan. Eyang suka merokok dari pada menginang dan ia terkesan ingin selalu tampil muda. Tiap pagi, sehabis mandi, ia selalu memoles wajahnya dengan bedak hingga nampak lebih muda dua puluh tahun.

Namun sejak Emak dan Bapak pergi ke merantau, kelakuan Eyang menjadi berubah. Ia lebih sering aku lihat murung dari pada tersenyum. Lagu keroncong yang biasa ia nyanyikan sambil mandi tak pernah lagi aku dengar. Di matanya aku seperti melihat kolam kecil tempat ikan-ikan melewati hari-harinya yang sepi.

Begitulah. Hingga suatu ketika, waktu aku sudah naik kelas enam, aku kaget melihat Eyang pulang dari pasar Minggu membawa dua pasang merpati. Eyang menjelaskan akan memelihara mereka, dan kemudian menyuruhku memesan dua kandang pada tukang pembuat lemari kayu di seberang jalan, tak jauh dari rumahku.

Tukang kayu terheran, lalu menanyaiku, apa tidak salah wanita tua seperti Eyang mau bermain merpati? Aku menggeleng. Tak hanya tukang kayu itu saja yang heran. Kebanyakan tetangga dan semua teman-temanku sama herannya ketika tahu Eyang memelihara merpati. Tapi Eyang tak acuh pada mereka ketika aku beritahu. "Biarkan saja, Buyung! Mereka akan tahu jika nanti sudah tua seperti Eyang."

“Memangnya, kenapa kalau sudah tua?” Aku bertanya setelah menarik ingusku yang meleleh.

“Sudah aku duga kau akan bertanya begitu. Pendek saja, Buyung. Menjadi tua artinya menjadi anak-anak lagi. Hahaha….” Tawanya terdengar sumbang. Barangkali Eyang sedang menertawakan dirinya sendiri, atau menertawakan kebingunganku.

***

Kandang serupa rumah-rumahan telah dipaku di dinding bagian samping rumah. Tiap pagi dan petang, Eyang membuka pintu kandang itu dengan menaiki tangga bambu. Kemudian ia menabur bijih-bijih jagung di halaman, dan dengan cepat, dua pasang merpati kesayangannya akan menyerbu.

Dua pasang merpati itu punya bulu warna berbeda; sepasang berbulu putih bersih, sepasang lagi berbulu cokelat gambir. Pada masing-masing sayapnya masih diikat tali karet agar tidak bisa terbang bebas. Baru seminggu kemudian Eyang melepas karet itu karena merpati-merpatinya telah jinak dan tidak mungkin lagi pulang ke tuannya yang lama.

Aku sering menemani Eyang bermain dengan merpati-merpatinya di jalan berbatu depan rumahku yang sepi. Disuruhnya aku membawa merpati jantan menjauh, sementara dua tangan Eyang memegang dada dua merpati betina, menggerakkannya naik-turun, hingga sayapnya mengepak. Merpati yang aku lepaskan akan selalu hinggap di atas merpati betina yang Eyang pegang. Lalu kulihat bulu lehernya mekar, dan keluar suara mendekur sambil menggigiti kepala betina dengan paruhnya. Merpati jantan itu seolah tak mau terpisah dengan pasangannya.

Pada saat seperti itulah aku bisa melihat bibir Eyang yang masih menjepit sebatang rokok tersenyum manis sekali.

Jika sore cerah, aku dan teman-temanku menaiki sepeda. Aku bangga sekali karena hanya akulah yang menggendong kurungan berisi dua merpati jantan. Teman-temanku ibarat pengiringku, pengawal setiaku. Sampai di puncak bukit yang gundul dua merpati jantan itu kami lepas. Kami bertepuk sorai ketika dua merpati itu berputar-putar di ketinggian. Waktu merpati itu menukik aku membayangkan Eyang tengah mengepak-kepakkan sayap merpati betina dengan kepala mendongak serta wajah nyengir dengan bibir menjepit rokok yang menyala.

Suatu ketika, sepulang aku menerbangkan dua merpati jantan dari bukit yang gundul, Eyang memarahiku. Sebab, merpati jantan berbulu putih yang baru saja aku terbangkan tak kembali pulang. Aneh. Padahal aku menerbangkannya dari tempat yang biasa, yang sudah bepuluh-puluh kali aku lakukan. Adakah di lain tempat telah ada orang yang mengepak-kepakkan sayap merpati betina, hingga menggoda merpati jantan berbulu putih milik Eyang? Tapi mengapa hanya satu yang tidak kembali pulang? Sejak saat itu aku menjadi tahu, ternyata ada juga merpati yang tidak setia dengan pasangannya.

Eyang terlihat begitu sedih, duduk mencangkung di depan kurungan merapi putihnya. Dan entah kenapa, esok harinya Eyang membeli merpati lagi dari pasar Minggu. Tak hanya satu dua pasang—aku bahkan tak tahu apakah merpati yang baru Eyang beli berpasang-pasang atau tidak. Setelah kuhitung, semuanya ada tiga puluh ekor.

Puluhan kandang merpati kini berderet di bawah atap rumahku mirip deretan ruko. Tiga atau empat hari sekali aku dan Eyang membersihkan kotoran-kotoran merpati yang mengerak di dalamnya. Sering aku melihat Eyang mengeluarkan sangkar berisi telur putih kecil dari salah satu kandang. Tanpa bertanya aku sudah tahu jika itu telur merpati. Setelah telor itu dierami merpati betina, maka menetaslah beberapa anak merpati yang lucu. Tak sampai sebulan kemudian, aku sudah bisa melihat beberapa anak merpati itu hinggap di atap rumah dan sesekali terbang tidak terlalu tinggi mengitari rumahku.

Tapi Eyang tak pernah lagi menyuruhku untuk menerbangkan merpati-merpatinya seperti dulu. Hanya seminggu sekali, ia menyuruhku membelikan sekarung jagung sebagai makanan merpati-merpatinya. Tiap kali pulang sekolah aku pasti akan melihat puluhan merpati berderet di atap rumah. Ada yang melonjak-lonjak, menggigiti balik sayapnya sendiri, ada pula beberapa merpati—yang mungkin berpasangan—tengah berciuman dengan paruhnya, seperti sepasang kekasih yang pernah aku lihat di teve.

Kian lama merpati Eyang kian bertambah. Seratus, mungkin lebih. Aku sampai tidak bisa menghitungnya dengan jari. Kian lama pula aku kian bosan dengan merpati-merpati itu. Aku lebih suka berenang di sungai, sepak bola di bawah hujan, dan berburu kodok di malam hari dengan membawa obor untuk kemudian memanggangnya rame-rame bersama teman.

Suatu malam, ketika tak satupun kodok kudapat, terbesit dalam pikiranku untuk merasakan daging merpati. Akhirnya, aku dibantu teman-temanku memberanikan diri mengendap-endap dalam gelap, menaiki tangga dan mengambil tiga ekor merpati Eyang. Kami memanggangnya di suatu tempat, lalu memakannya dengan bumbu kecap.

Ketika esok paginya aku pulang, kulihat Eyang tengah menabur jagung di halaman. Ia menyambut kepulanganku dengan senyum. Membuatku yakin, bahwa ia tidak tahu ulahku semalam.

Sejak saat itu aku menjadi terbiasa mencuri merpati Eyang. Sudah lima kali ini aku melakukannya, dan Eyang selalu diam. Aku yakin Eyang tak akan tahu jumlah merpatinya berkurang atau tidak. Dan aku masih bisa melihat pancaran bahagia di wajahnya—senyum manis akan terias di bibirnya yang menjepit sebatang rokok—setiap kali ia menabur jagung lalu diserbu merpati-merapatinya.

Tapi tak ada senyum Eyang pada Minggu menjelang siang ini. Wajahnya terlihat muram dan begitu tua. Ia duduk di kursi kayu di beranda. Dan matanya, masih tampak seperti kolam kecil tempat ikan-ikan menjalani hari-harinya yang sepi. Tapi kolam itu tampak agak kemerahan.

“Eyang tidak memberi makan merpati?” tanyaku.

Tapi Eyang justru membentaku: “Heh, dari mana saja kau?!” Sungguh tidak seperti biasanya sikap Eyang seperti itu. Apa mungkin ia tahu dengan ulahku semalam? “Mengapa baru pulang?!” tanyanya lagi, dengan suara parau yang menghentak.

Aku tak menjawab. Dengan kepala menunduk aku melangkah, dan ketika melintas di ambang pintu, Eyang mengagetkanku.

"Buyung!"

"Ya, Eyang." Aku berhenti dengan tubuh gemetaran.

"Bukankah kau seorang laki-laki?"

"Ya, Eyang?"

"Jika kau besar nanti, apa kau ingin jadi pahlawan?" Mata Eyang masih nanar meski suaranya agak mengendor.

"Pahlawan? Seperti Pangeran Diponegoro, Eyang? Tentu. Tapi…"

"Kenapa? Kau tak yakin?"

Apa maksud rentetan pertanyaannya? Tapi kemudian aku ingat, sebelum Eyang memarahi Bapak, terlebih dulu ia juga akan menanyainya macam-macam, baru kemudian diberitahu kesalahannya. Apa Eyang juga akan memarahiku?

"Tapi sekarang tidak jaman lagi pakai pedang, Eyang."

Eyang diam cukup lama tanpa tersenyum dengan jawaban yang sengaja aku buat bercanda itu. Kupalingkan pandang ke atap rumah. Dan, he! Di mana merpati-merpati yang biasa hinggap di sana? Aku berlari ke halaman menatap lebih dekat ke rentetan kandang. Tak ada. Kunaiki tangga memeriksa kandang, tapi kosong. Apa Eyang telah menjual merpati-merpatinya?

Masih di pucuk tangga, aku bertanya dengan suara lantang, “Ke mana merpati-merpatinya, Eyang?” Tak kudengar Eyang menjawab. Dan ketika aku mendekat, kulihat wajah Eyang telah menyala merah. Matanya telah basah.

"Apa yang Eyang lakukan?" tanyaku sembari berlari mendekat. Eyang menatapku dengan mata merah merangah.

"Belum lama tadi, orang-orang berseragam datang kemari. Mereka membawa semua merpati Eyang. Mereka bilang, merpati Eyang terkena penyakit. Kalau memang itu benar, mestinya merpati Eyang diobati, disembuhkan, bukan malah dibakar."

Aku tidak percaya mendengarnya. Lebih-lebih ketika kulihat air mengalir melintasi kerut-merut wajah Eyang. Baru kali ini aku melihat Eyang menangis.

Yogyakarta-Wonosobo 2013


* Cerpen ini pernah dimuat di Tabloid Nova, edisi 10-16 Juni 2013

Ringkasan dan Ulasan Novel Supernova; Kesatria, Putri & Bintang Jatuh

Supernova: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh
Judul        : Supernova: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh
Pengarang     : Dee
Penerbit     :Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tebal     : 318 halaman
Cetakan    : Juni 2012

Novel Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh (selanjutnya disingkat KPBJ) dibuka dengan percakapan Reuben dan Dimas. Dimas adalah seorang mahasiswa sastra Inggris di Washington, sedangkan Reuben merupakan mahasiswa Johns Hopkins yang tergila-gila dengan fisika kuantum. Mereka berdua tergugah ingin membuat masterpiece sastra yang di dalamnya melibatkan sains dan romantisme.

KPBJ menampilkan dua (kisah) kehidupan yang terkait secara pararel. Ada cerita di dalam cerita. Kisahnya berjalan bolak-balik antara kisah Dimas dan Reuben dan kisah yang disusun mereka berdua, yaitu kisah antara Ferre (sebutan akrab Re), Rana, Diva (Bintang Jatuh), dan Cyberavatar (Supernova).

Re adalah seorang eksekutif muda lajang dan tampan, dan super sibuk. Sementara Rana merupakan seorang wartawan yang menjabat sebagai wakil pimpinan redaksi. Rana sudah bersuami dengan Arwin, belum punya anak, dan kehidupannya berjalan biasa-biasa saja.

Pertemuan pertama mereka terjadi ketika Rana mewawancarai Re di kantornya. Kehadiran Rana telah membuat Re mengubah pola hidupnya yang serba teratur. Demikian pula dengan kehidupan Rana, terpaksa harus mengalami perubahan karena ia tidak bisa membohongi perasaannya terhadap Re.

Re dan Rana terlibat dalam jalinan cinta “terlarang”. Namun kemudian Rana yang sadar telah salah mengambil langkah, kembali kepada suami dan keluarganya. Sementara Re yang masih lajang tidak bisa melupakan Rana dan kembali kepada kehidupannya yang semula. Di sinilah kemudian muncul tokoh Diva, yang dianggap sebagai Bintang Jatuh.

Diva adalah seorang pelacur yang yang memiliki cara pandang unik dan aneh. Selain cantik, ia juga berwawasan sangat luas, kaya, mapan dan berpikiran maju. Diva yang ternyata adalah tetangga Re. Kehadirannya pada kehidupan Re tidak untuk mengikatkan cinta, melainkan untuk membebaskan Re dari  segala kekacauan di pikirannya. Diva memperkenalkan Re pada relativitas kehidupan. Bahwa kehidupan akan selalu menawarkan banyak pilihan.

Selain tokoh-tokoh tersebut, ada tokoh lain yang juga mewarnai cerita novel ini, antara lain Supernova. Supenova adalah seorang cyber avatar (semacam penyelamat atau pertapa yang hidup di dunia maya) yang berpikiran luas terhadap dunia dan menjadi tempat curhat (curahan hati) tokoh lain di novel ini.

Ulasan

Novel  dengan tebal 318 halaman ini memang menawarkan sesuatu yang berbeda dari  novel-novel konvesional. Model penceritaannya yang bolak-balik antara Dimas-Ruben, Re-Rana, Diva, dan Supernova bisa dikatakan unik dan baru. Belum lagi bahasanya yang puitis, dan penuh dengan muatan sains membuat novel ini semakin kaya.

Tentang pembaruan dan keunikan novel KPBJ dalam mengeklorasi sains lewat fiksi, sudah banyak kalangan sastra mengakuinya. Taufiq Ismail mengemukakan bahwa pembaruan yang dilakukan pengarang Supernova adalah salah satu kesegaran baru yang muncul dalam sastra Indonesia. Penelusuran nilai lewat sains, spriritual dan percintaan yang cerdas, unik dan mengguncang. Juga Jakob Sumardjo yang menyatakan bahwa Supernova menilai argumentasi-argumentasi baru terhadap nilai lama sehingga pembaca memiliki persepsi baru tentang keberadaannya.

Ketika membaca halaman-halaman awal novel ini, mungkin memang terkesan agak berat, karena Dee langsung masuk pada pembahasan sains. Tetapi lama kelamaan pembaca semakin larut dalam jalinan peristiwa sehingga novel ini menjadi tidak membosankan. Terlebih lagi, Dee menuliskan catatan kaki (footnote) dalam istilah-istilah sains yang dirasa perlu bagi pembaca awam.

Selain kekurangan di atas, pada beberapa bagian (hlm. 57-62  dan 65-69) Dee terkesan hendak menggurui pembaca dengan menghadirkan dialog panjang antara Reuben dan Dimas. Dialog-dialog yang penuh muatan sains tersebut di satu sisi memang meyakinkan pembaca bahwa Dee sangat menguasai topik yang dibahas, tetapi di sisi lain bisa menghilangkan kenikmatan pembaca dalam mengikuti alur cerita..  

Melalui kisah Ruben dan Dimas, juga Re dan Rana, pengarang sebenarnya juga bermaksud menyampaikan teori fisika kuantum (hlm. 46). Mulanya kehidupan Re dan Rana ibarat sebuah sistem yang teratur. Pertemuan Re dan Rana adalah suatu gerak yang disebut Reuben sebagai loncatan kuantum. Rana adalah atraktor asing bagi mekanisme kehidupan Re, demikian juga sebaliknya. Keteraturan yang bertemu dengan keteraturan lain ini kemudian menghasilkan ketidakteraturan, penerapan konsep order dan disorder.

Selain istilah-istilah sains di atas, Dee juga memperkenalkan kepada pembaca tentang titik bifurkasi, dan teori chaos. Re dan Rana yang saling mencintai membuka keniscayaan yang disebut Reuben sebagai titik bifurkasi, yaitu terbukanya kemungkinan-kemungkinan yang (sebelumnya) tak tersedia di dalam sebuah sistem. Sementara kehidupan Re yang berubah drastis merupakan pengejawantahan teori chaos yang diperbincangkan oleh pasangan Reuben dan Dimas di mana suatu struktur yang telah tertata rapi (kehidupan Re) disusupi oleh sosok asing yang mengacak sistem tersebut, yaitu Rana.

Maman S. Mahayana (2007: 344) mengakui bahwa Supernova merupakan novel yang memanfaatkan science dalam kepentingan fiksi. Dialog Ruben-Dhimas, misalnya, sarat dengan nuansa sains, sekaligus juga memperkuat ketokohan keduanya. Begitu pula pemaparan sejumlah teori, baik yang diberi keterangan danal catatan kaki, mapun yang diinterasikan dalam deskiripsi dan dialog antar tokoh, memastikan luasnya wawan Dee dalam bidang itu setidak-tidaknya, ia sangat tidak miskin bacaan.

Di halaman akhir novel ini, Dee (2012: 318) mengatakan bahwa novel Supernova bukanlah okultisme (kepercayaan terhadap hal-hal suptranatural). Supernova adalah novel yang mengolah apa saja—sejarah, mitos, sains, bahkan daftar belanjaan—untuk menunjukkan simpul-simpul benang perak dalam jaring laba-laba kehidupan. Di alam relatif yang serba tidak pasti ini, menurut Dee, Supernova hanya menjamin satu hal: perubahan cara pandang kita terhadap hidup akan berdampak besar pada dunia melampaui apa yang bisa kita bayangkan.

Dewi Lestari atau yang akrab disapa Dee lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Mulanya Dee dikenal sebagai penyanyi dan penulis lagu, tetapi kemudian KPBJ telah membuatnya lebih dikenal sebagai seorang novelis. Dee juga dianugrahi penghargaan A Playful Mind Award (2003).

Meskipun KPBJ terdapat sekuelnya (“Akar”, “Petir”, dan terakhir adalah “Partikel”) tetapi novel KPBJ bisa berdiri sendiri, artinya bisa dinikmati secara utuh tanpa harus membaca sekuelnya. Sebelumnya, novel ini pernah diterbitkan oleh penerbit Truedee Book tahun 2001 dan pada tahun 2012 diterbitkan kembali oleh Bentang Pustaka.
Sastra sebagai Agen Transformasi Kebudayan

Sastra sebagai Agen Transformasi Kebudayan



"Lebih baik segera menyalakan lilin, dari pada mengutuk kegelapan"

~ A. Mustafa Bisri


Era globalisasi yang diiringi dengan kemajuan ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia. Persebaran informasi yang bisa diakses dengan mudah dan cepat mengakibatkan terjadinya perubahan budaya yang sulit terkontrol. Sayangnya perubahan budaya tersebut seringkali bukan menuju ke arah yang lebih baik, melainkan justru sebaliknya.

Besarnya tantangan era globalisasi bagi bangsa Indonesia kurang sebanding dengan kualitas sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi yang kita miliki. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kita yang masih rendah merupakan realitas sosial yang tengah kita alami saat ini. Bangsa kita akan semakin tertinggal jika selamanya menjadi bangsa yang senang meniru dan membeli produk-produk bangsa asing. Indonesia akan menjadi negara yang lemah jika masyarakatnya tidak kreatif dan menghargai ilmu pengetahuan.

Untuk bisa menjadi bangsa yang mandiri, maju, dan bermartabat memang tidak semudah membalik telapak tangan. Harus ada upaya, dan itu harus melalui proses yang tidak sebentar.

Kaitannya dengan hal tersebut, barangkali kita perlu mengingat ungkapan yang mengatakan bahwa bangsa besar adalah bangsa yang menghargai karya sastra. Karya sastra dipercaya ampuh memberikan berpengaruh terhadap transformasi kebudayaan. Transformasi kebudayaan yang dimaksud di sini adalah perubahan budaya yang menjadikan bangsa ini menuju ke arah yang lebih baik. Karena itulah, sastra tidak boleh diremehkan. Sastra merupakan dokumen kebudayaan yang menjadi salah satu tiang peradaban.

Karya sastra telah diyakini keunggulannya untuk untuk mengembangankan wawasan berpikir bangsa sehingga berperan untuk mencerdaskan bangsa. Bagi pembaca, karya sastra dapat menggugah perasaan, mendorong orang memikirkan masalah masyarakat dan manusia. Membaca karya sastra memungkinkan seseorang mendapat masukan tentang manusia atau masyarakat dan menimbulkan pikiran serta motivasi untuk berbuat sesuatu bagi kemanusaian atau masyarakat itu. Setelah itu, akan timbul kepedulian pribadi dan anggota masyarakat terhadap apa yang dihadapi masayarakat.

Mochtar Lubis dengan yakin pernah mengungkapkan bahwa sastra mampu menggerakkan gelombang kesadaran masyarakat, serta menyuntikan motivasi masyarakat guna melakukan loncatan tranformasi kebudayan selekas-lekasnya. Sebab karya sastra memiliki spririt untuk membangun nilai-nilai kemajuan. (Ramadhan K.H (Ed), 1995: 80)

Membaca karya sastra diyakini bisa menjadi cara ampuh untuk mengasah imajinasi yang amat dibutuhkan dalam perkembangan sebuah bangsa. Tidak heran jika di negera-negara maju seperti Jerman, Perancis, Belanda mewajibkan siswa SMA harus menamatkan hingga 22-32 judul buku sebagai syarat kelulusan. Sementara di Indonesia anak-anak muda justru tenggelam pada televisi. Televisi telah menjadikan otak generasi muda menjadi pasif, imajinasi melemah, dan pada akhirnya membunuh pelan-pelan kreativitas yang dimiliki.

Sastra juga dapat mengarahkan kepada pemberdayaan yang bukan saja membuat orang memiliki ketegasan, tetapi juga mampu menghadapi tantangan masa depan. Begitu besarnya pengaruh karya sastra sehingga para ahli kebudayaan tidak ada yang meremehkan kekuatan sastra.

Meskipun karya sastra bersifat imajiner, namun tetap masuk akal dan mengandung kebenaran (Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyanto, 1995: 2). Hal tersebut dikarenakan pengarang mengemukakan realitas dalam karyanya berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan.

Karya sastra tidak tercipta begitu saja, tetapi merupakan produk intelektual dan perenungan yang terkadang dikerjakan dengan riset yang mendalam. Selain sisi estetika (keindahan), di dalam karya sastra terdapat keseriusan yang tidak jarang memunculkan unsur ilmu pengetahuan. Maka, dengan membaca karya sastra pembaca akan bisa menemukan (bukan diajari) nilai-nilai kemanusiaan. (Basuki Ks, 2005: 20)

Oleh sebab itu, dengan menjadikan sastra sebagai agen transformasi kebudayaan maka harapan terwujudnya sebuah bangsa yang maju jadi semakin besar. Sebaliknya, mengesampingkan peran sastra, memandangnya sebelah mata, atau bahkan menilainya sebagai sampah yang tidak beruguna dan tidak berdampak apa-apa adalah awal kehancuran sebuah bangsa.

Catatan: Esai ini pernah dimuat di Harian Republika, Ahad, 9 Juni 2013.
Menilai dan Memperbaiki Kualitas Shalat

Menilai dan Memperbaiki Kualitas Shalat


وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ...

Artinya: Dan dirikanlah Shalat. Sesungguhnya Shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (Q.S Al-Ankabut: 45)

Membaca ayat di atas, barangkali kita akan menyimpulkan bahwa ibadah shalat bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar. Tapi pertanyaannya, kenapa sering kita temui orang yang shalatnya terus, korupsinya juga terus, shalatnya lengkap tetapi tetapi rutin pula menjalankan perbuatan keji dan mungkar. Hal tersebut seolah bertolak belakang dengan ayat di atas. Apakah ayat tersebut yang salah atau bagaimana?

Jika Anda beriman kepada Al-Qur’an, maka percayalah, bahwa tidak ada satu ayat pun yang salah di dalamnya. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang terjamin keotentikan dan kebenarannya. Kalau kemudian kita menemukan realitas (kenyataan) yang kita anggap tidak cocok dengan al-Qur’an, bukan berarti al-Qur’annya yang salah, melainkan karena kesalahan kita sendiri.

Shalat yang bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar adalah shalat yang didirikan, bukan semata-mata dikerjakan. Tentang perbedaan didirikan dan dikerjakan, silahkan anda baca di sini.

Mencegah perbuatan keji dan mungkar hanyalah salah satu tujuan dari ibadah shalat. Orang shalat (dalam artian memenuhi syarat dan rukunnya) tidak secara otomatis menjauhi perbuatan keji dan mungkar. Tergantung bagaimana kualitas shalatnya. Sekali lagi, kualitas (kekhusukkan), bukan semata kuantitas (berapa banyaknya shalat).

Kalau kita melihat orang rajin shalat tetapi tetapi rajin pula berbuat mungkar, maka kita patut menanyakan kualitas shalatnya. Allah sendiri telah berfirman, yang artinya “Sesungguhnya shalat itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45).

Secara fiqih shalat seseorang sah apabila telah memenuhi syarat sah dan rukunnya. Tetapi shalat yang sah secara fiqih belum tentu disebut shalat khusuk. Dengan kta lain, shalat yang berkualitas adalah bukanlah shalat yang asal-asalan atau sekadar memenuhi syarat dan rukunnya saja.

Maka dari itu, khusuk mengerjakan shalat adalah sebuah kewajiban yang harus ada dalam shalat. Khusuk mengerjakan shalat memang tidak disebut-sebut sebagai syarat sah shalat (di kitab-kitab fiqih saya belum menemukannya). Namun demikian, shalat akan memiliki nilai, apabila ia diiringi dengan kekhusukkan. Bukanlah shalat jika tidak khusuk. Shalat akan bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar apabila shalat kita khusuk.

Bahkan ada hadist Nabi Saw yang menyatakan bahwa “dua rakaat shalat orang yang khusyuk lebih bernilai ketimbang 1000 rakaat shalat orang yang tak peduli.” Dan hadist lain yang serupa itu, “Dua rakaat shalat pendek yang disertai dengan tafakur adalah lebih baik dari shalat sepanjang malam dengan hati yang lalai.”

Bagaimana dengan Anda? Apakah anda telah khusuk mengerjakan shalat? Anda sendiri yang bisa menjawabnya. Yang jelas kekhusukkan shalat memang harus dilatih dan dijaga. Salah satu kiat yang terkenal yakni dengan mengerjakan shalat seolah-olah kita melihat Allah Swt. Jika tidak bisa, maka yakinlah kita Allah melihat kita sewaktu kita shalat.

Semoga pada kesempatan lain, saya bisa menulis lebih jelas tentang shalat khusuk.

Salam

Ternyata Binatang Bisa Menjadi Lebih Berharga Ketimbang Manusia

Sebuah cerita, yang mungkin benar-benar pernah terjadi. Saya mendengarnya dari seorang Kiai yang kemudian saya kembangkan sendiri agar lebih menarik.

Alkisah, ada seorang juragan kaya yang tinggal di sebuah desa dengan ratusan sapi, ratusan anak buah, dan tiga orang putra. Salah satu putranya yang tak bernama gila sepulang dari kota. Anak yang gila tersebut dikurung di sebuah kamar yang rapat terkunci agar tidak pergi ke mana-mana. Tetapi pada suatu pagi ketika pembantu ingin memberinya makan, putra tersebut tidak ada di kamar itu. Pembantu itu bergegas melapor kepada juragan yang tengah mengawasi sapi-sapinya. Sang juragan justru tertawa dan kemudian mengumpulkan anak buahnya. 

“Aku hendak mengumumumkan sesuatu kepada kalian. Bahwa hari ini anakku yang gila telah kabur dari rumah. Bagi siapa saja yang berhasil menemukannya, dengan senang hati saya mempersilahkan untuk merawatnya.

Semua orang yang hadir di situ saling pandang. Kecewa. Mereka bubar.
Keesokan harinya, sang juragan kembali mengumpulkan anak buahnya di lapangan.
 
“Kalian tahu, kenapa saya memanggil kalian?”
 
Mereka semua menggeleng.
 
“Seekor sapiku baru saja lepas dari kandang. Kuhalalkan dagingnya bagi kalian yang bisa menangkapnya.”
 
Tanpa ba-bi-bu, semua orang di situ segera bergerak untuk lebih dulu mendapatkan sapi yang lepas itu.
 
#Renungan

sumber gambar: di sini
Puisi-puisi Pendek

Puisi-puisi Pendek

Banjir

Air menggenang sepanjang jalan
         seperti kenangan
masuki rumah-rumah puisi

Tuban, 2012



Gatal

Kertas-kertas kelender basah
keringat dan air mata
Cahayamu redup, berkata:
“Berhentilah menggaruk segala gatal.”

Tuban, 2012


Pintu Waktu

Ketika pintu waktu tertutup
Matamu akan membuka
Dinding-dinding udara menjadi cermin
Cermin-cermin menjadi dirimu

Wonosobo, 2012


Desember-Januari

Dengan gaun hujan
Desember genit menari
Pelan-pelan rambutnya berguguran, bersiap mati
Demi Januari yang kelak menghidupkannya lagi

Wonosobo, 2012


Jalan Menujumu


Ada hantu
terjepit di pintu kamar kepalaku
ekornya membelit rindu
rumitkan jalan menujumu

Wonosobo, 2012


Puisi-puisi tersebut pernah dimuat di Kedaultan Rakyat, 27 Januari 2013

Sayembara Penghargaan Sastra Untuk Pendidik 2013

Wahai kawan Guru sekalian, khusushan bagi guru yang senang nyastra. Sebagaimana tahun lalu, Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional kembali menggelar kegiatan yang diberi nama "Penghargaan Sastra Untuk Pendidik 2013".

Jika tahun lalu kegiatan ini hanya boleh diikuti guru bahasa dan sastra Indonesia, maka pada tahun ini bisa diikuti oleh semua guru, apapun mata pelajaran yang diampu. Yang penting Guru, tentu dibuktikan dengan surat keterangan dari sekolah.

Untuk mengetahui detail informasinya, silahkan klik gambar:



Jika masih belum jelas, silahkan bergabung dengan page FB "Penghargaan Sastra Untuk Pendidik 2013"

Semoga informasi "Penghargaan Sastra untuk Pendidik 2013" ini dapat bermanfaat.


Surat Seorang Guru Menjelang Ujian Kenaikan Kelas

Kepada anak-anakku, siswa MTs N Wonosobo di mana pun berada

Saya tulis surat ini pada malam minggu. Malam ketika engkau barangkali tengah asyik menonton tipi, atau bergadang di luar rumah. Tapi bisa jadi ada yang tengah membuka-buka blog ini. Siapa tahu. Apa pun yang tengah engkau  kerjakan saat ini, semoga tetap bisa menjaga diri dan sadar bahwa ada Yang Gaib yang senantiasa mengawasi.

Nak, besok Senin sudah mulai ujian Kenaikan Kelas ‘kan? Wah, asyik. Artinya engkau bisa pulang gasik! Bukankah begitu? Mungkin sebagian ada yang berpikiran begitu. Tidak dosa kok. Memang kenyataannya cuma dua mapel dalam sehari. Sebelum dzuhur engkau sudah bisa pulang dan shalat dhuhur di rumah, atau di masjid yang engkau temui di mana saja (jangan shalat di jalan, bahaya! Banyak kendaraan)

Wah, saya kok malah ngantur. Maaf. Saya yakin engkau anak-anak yang tahu diri dan bisa membagi waktu. Jadi, saya tidak akan banyak menasehatimu  soal itu.

Lewat surat ini sedikit saja saya ingin sampaikan, belajar itu jangan dihafalkan, tetapi dipahami. Ah, ini juga sudah berkali-kali saya katakan di depan kelas. Tetapi maaf, barangkali engkau sudah lupa, siapa tahu. Ya kan? Bacalah materi pelan-pelan, lalu tanamkan di kepalamu. Lebih baik lagi jika engkau mengamalkan apa yang kau pelajari, itu akan membuat ilmumu mengakar kuat dan tidak mudah terlupakan.

Selain itu, belajar dengan sistem kebut semalam itu ternyata tidak enak ya? Nah! Seandainya engkau sudah rutin belajar saban hari, mengulang materi-materi yang sudah dipelajari di kelas, bisa jadi sekarang kau tinggal santai, dalam arti tidak begitu ngoyo sampai larut malam. Maka, ingatlah ini baik-baik hal itu, agar tidak terulang lain kali.

Terakhir, naik atau tidak naik kelas itu tidak penting! Yang utama engkau sudah berusaha menjadi yang terbaik bagi dirimu, orangtua, dan apa atau siapa saja. kalau saja engkau nanti tidak naik kelas, bisa jadi bukan disebabkan karena nilai Ujian Kenaikan Kelasmu buruk. Bukan! Proses belajarmu selama setahun dijadikan dasar untuk menentukan naik tidaknya engkau. Dan jika benar engkau tidak naik, terimalah itu dengan lapang dada, sebab itulah yang terbaik. Itulah takdir yang mesti kau jalani. Takdir yang sebenarnya engkau sendiri yang menciptakan. Dan semestinya itu bisa dijadikan pembelajaran yang sangat berharga.

Sudah malam rupanya. Mata saya juga sudah redup. Agaknya cukup sampai di sini surat "cinta" dari saya. Doa saya selalu untuk engkau sekalian, anak-anakku yang budiman.

Salam

Nb. Bicara soal belajar, tidak hanya baca buku. bisa juga manfaatkan blog ini. hehe
Catatan Ringan Hasil Ujian Nasional (UN) SMP Tahun Ajaran 2012-2013

Catatan Ringan Hasil Ujian Nasional (UN) SMP Tahun Ajaran 2012-2013

Hari ini, Sabtu 1 Juni 2013, banyak orang berdebar-debar, khususnya para siswa dan wali siswa kelas 9, dan guru SMP/MTs di Indonesia. Sebab pada hari ini hasil Ujian Nasional (UN) diumumkan. Ketika tulisan ini dibuat, Kepala madrasah saya juga sedang mengambil hasil UN di Kabupaten, dan rencananya wali siswa akan datang untuk mengambil pengumuman pada pukul 14.00 wib.

Ingin tahu pengumuman kelulusan UN SMP/MTs tahun ajaran 2012-2013 ? Berikut adalah laporan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh kemarin sore (31/5/2013).

Mendikbud mengungkapkan bahwa tingkat kelulusan UN SMP/MTs tahun ini mencapai 99,55%. Dari 3.667.241 siswa, sebanyak 3.650.625 di antaranya dinyatakan lulus dan 16.616 siswa dinyatakan tidak lulus. Sehingga presentase siswa yang tidak lulus UN SMP/MTs tahun ini mencapai 0,45 persen.

Dengan demikian, hasil UN SMP/MTs tahun ini turun turun 0,02 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 99,57 persen.

Pengumuman itu di luar dugaan saya. Saya kira hasil UN, baik SMP/MTs maupun SMA/MA akan mengalami peningkatan dari pada tahun lalu. Kenapa saya bisa menduga begitu? Bukan karena pihak sekolah bermain curang, meski bisa jadi ada yang berlaku demikian. Saya menduga begitu karena saya kira pihak sekolah yang sudah mempersiapkan UN dari awal, dan banyak belajar dari pengalaman-pengalaman UN sebelumnya.

Dan yang lebih penting, kelulusan siswa tidak hanya berdasarkan Nilai UN, tetapi juga nilai sekolah? Betapa nilai raport bisa dimonopoli, bisa diakal-akali, bisa dibuat sedemikian rupa sehingga bisa mengantarkan para siswa ke gerbang kelulusan. Jika benar begitu, maka kelulusan tak lebih dari sekadar akal-akalan.

Tetapi dugaan saya ternyata keliru. Entah kenapa hasil UN bisa menurun. Mungkin karena tingkat kesulitan soal UN pada tahun ini lebih tinggi. Dan itu diakui oleh banyak siswa dan guru. Mungkin karena pada tahun ini paket soal masing-masing peserata UN berbeda-beda sehingga tidak bisa bekerja saja. Apa pun itu, yang jelas pengumuman UN sudah keluar, dan kita “dipaksa” untuk menerima apa pun hasilnya. 

Untuk wilayah Jawa Tengah itu sendiri, ada sebanyak 1.133 siswa SMP/MTs yang tidak lulus. Ada tiga siswa SMP di Jateng juga masuk peringkat 12 besar nasional, yakni Setiati Nur Chasanah, siswa SMP N 1 Kota Magelang, Maratus Solichah, siswa SMPN 1 Salaman Kabupaten Magelang, dan Farrell Gerard Adeovinsorey siswa SMP Masehi, Temanggung. Wah, kok tidak ada yang dari Madrasah ya? #Bengong

Demikian informasi dan uneg-uneg saya tentang Hasil UN SMP/MTs tahun ajarann 2012-2013. Bagi siswa yang tidak lulus, bersabarlah. Kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh lulus dan tidaknya anda pada hari ini, tetapi oleh banyak faktor.