Pemanfaatan Blog Sebagai Media E-Learning

Ada anggapan bahwa kurang berhasilnya Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah disebabkan oleh strategi dan pengelolaan pembelajaran yang tradisional-normatif dan metode yang cenderung tidak disukai oleh siswa. Saya kira ini tidak hanya berlaku bagi pembelajaran PAI, melainkan untuk semua mata pelajaran.

Pengelolaan pembelajaran tradisional-normatif, seperti halnya ceramah dengan metode teacher-centered dipercaya ampuh membuat siswa mengantuk. Anda yang guru sudah membuktikannya ya? Hem, kita mafhum, bahwa ketika guru mengajar, tidak semua murid ikut belajar. Karenanya, guru dituntut kreatif dalam mengupayakan pembelajaran yang mengena, bermakna, dan dapat diterima oleh siswa. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan media internet.

Kita tentu sudah mengenal istilah E-Learning, yang sering diartikan dengan pembelajaran dengan memanfatkan media elektronik, yakni internet. E-learning yang paling sederhana adalah dengan pembuatan blog, di mana seorang guru nenata sedemikian rupa sehingga materi, soal, dan lain sebagainya untuk bisa diakses oleh siswa dari jarak jauh. Banyak orang menyebutnya dengan istilah web based learning. Seorang guru dapat membuat web atau katakanlah blog pribadi yang kemudian dimanfaatkan sebagai media pembelajaran bagi anak didiknya.

Bagiamanapun guru tidak bisa menutup mata dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Internet sudah dapat dinikmati hampir di seluruh penjuru nusantara. Ketika saya menanyakan kepada para siswa kelas VIII di sekolah saya, tidak ada seorang pun yang belum pernah menggunakan internet. Semuanya pernah, dan rata-rata mereka mengakses internet melalui hanphone dan di warnet.

Lalu apa yang biasanya dibuka oleh siswa saat memasuki dunia internet? Dari pertanyaan yang saya ajukan di kelas, hampir semua siswa menjawab Facebook. Di antara mereka pastilah ada pula yang mencoba mengakses youtube atau bahkan situs-situs porno. Untuk menyuruh para siswa meninggalkan dan menjauhi makhluk bernama Internet, saya kira itu merupakan hal yang mustahil. Alih-alih mereka akan menjauhi, yang terjadi justru mereka akan semakin penasaran dan berlomba-lomba menuju warnet terdekat. Dan kenapa pula harus dilarang, kalau toh ternyata internet sendiri memiliki banyak manfaat.

Memang benar, internet ibarat sebuah pisau bermata dua. Satu sisi ia dapat membawa pengaruh negatif, namun di sisi lain dapat pula membawa pengaruh positif. Sebuah pisau, apabila berada di tangan orang yang “edan” amatlah berbahaya, tetapi apabila digunakan oleh kita yang senang memasak, maka manfaatnya besar. Kita tidak perlu membuang pisau, atau menyembunyikan keberadaannya. Yang mesti kita lakukan adalah, memberi tahu bagiamana cara menggunakan pisau yang benar agar bisa bermanfaat bagi kehidupan.

Tapi yang namanya anak-anak, sudah dikasih tahu, tetap saja membantah. Maka, memberi pengetahuan saja tidak cukup. Kita mesti memberikan pengarahan. Nah! Bagaimana pula cara mengarahkan siswa agar memanfaatkan internet untuk hal-hal yang positif? Salah satunya adalah dengan membuat blog sebagai media pembelajaran.

Dengan membuat blog, lalu mengisinya dengan konten-konten pembelajaran, lalu mengajak para siswa untuk melakukan pengayaan sumber belajar dari sana merupakan salah satu cara agar seorang guru mengenalkan dunia internet untuk ilmu pengetahuan. Bahwa internet itu bukan hanya Facebook, bukan hanya Youtube, bukan hanya berisi gambar dan video porno. Ini penting. Kalau toh kenyataannya siswa sudah kadung akrab dengan Facebook dan Youtube, kita bisa mengawinkan blog dengan dua situs terkenal itu.

Memang, pemanfaatan internet sebagai media e-learning dan pengayaan sumber belajar terbilang masih baru. Jangankan siswa, guru saja masih banyak yang belum tahu. 

Saya sendiri, melalui blog Tinta Guru ini sudah mempraktekkannya dan mendapat banyak tanggapan dari para siswa. Saya katakan kepada para siswa untuk mengerjakan ulangan online dengan membuka blog pribadi saya ini. Beberapa hari kemudian, saya mendapatkan tanggapan yang beragam; ada yang senang dan mengaku gampang, ada pula yang masih bingung bagaimana cara penggunaannya. Untuk alasan yang terakhir itu, hanya beberapa gelintir siswa saja. Saya kira bukan bingung, sebab saya sudah mendesain sedemikian rupa sehingga blog Ruang Siswa Tinta Guru dengan tampilan yang sederhana dan navigasi-navigasi yang mudah dipahami oleh anak kecil sekalipun. Kalau toh ada yang benar-benar bingung, barangkali karena mereka baru pertama kali itu mengenal “blog” setelah terlebih dulu akrab dengan facebook.

Waktu terus berjalan dan teknologi akan terus dan terus berkembang. Tidak seorang pun yang bisa menghentikan laju perkembangan teknologi. Karenanya metode pembelajaran yang digunakan seorang guru mestilah tidak melulu terpaku pada metode klasikal. Anak-anak remaja sekarang, yang digolongkan sebagai generasi Z atau digital native sangat membutuhkan pendampingan agar tidak "sesat" dalam memanfaatkan teknologi.

Bagaimana menurut Anda? 

Di Atas Kereta, Sepulang Kopdar Guraru 2013

Saya mendadak terbangun. Melihat jam di tangan kiri. Pukul dua. Kereta berhenti. Saya tengok jendela. Sudah sampai stasiun Kroya. Berapa lama saya tidur? Mungkin 4 jam, mungkin juga 5 jam. Masih berapa lama kereta Senja Utama ini tiba di Yogyakarta? Entahlah. Saya tidak lagi memikirkan itu, sebab sesaat setelah terjaga saya merasakan tubuh saya menggigil. Dingin. Dingin yang hebat. Saya mengeratkan jaket. Tetapi percuma. Dingin itu sudah merasuk ke dalam tubuh saya. Dingin buatan mesin yang menjengkelkan. Saya kira, kereta ber-AC tidak selalu nyaman, terlebih ketika kereta hanya berisi satu dua penumpang.

Saya duduk saja, sembari mengatur napas. Saya tidak tahu mau melakukan apa. Lalu saya teringat buku agenda oleh-oleh Kopdar Guraru. Saya keluarkan buku itu dari tas. Saya ingin menulis puisi. Tetapi yang keluar justru semacam draft tulisan tentang acara Kopdar yang baru saja saya ikuti. Berikut adalah hasilnya:

----------

Bagi yang datang dari luar Jakarta, seperti saya, tentu butuh keberanian tersendiri untuk bisa sampai Jakarta. Tetapi tekad dan niat untuk bertemu dengan para guru Blogger membuat kami melewati semua halangan. Saya sendiri tiba subuh hari di Masjid Istiqlal, setelah terguncang-guncang dan kedinginan selama kurang lebih 12 jam di dalam mobil travel. Dengan modal keberanian bertanya, saya akhirnya mendapat petunjuk untuk bisa sampai di lokasi Kopdar. Dari Masjid Istiqlal Saya harus naik Bus Way, turun di Harmoni, lalu naik lagi yang jurusan Blok M.

Syukurlah, saya tidak tersesat. Akhirnya, saya tiba di sebuah gedung yang tinggi. Sangat tinggi, sehingga apabila anda berdiri sepuluh meter dari gedung itu, maka anda harus mendongak dengan susah payah untuk bisa melihat puncaknya. Di sanalah, di gedung itu, Plaza Indonesia namanya, acara Kopdar Guraru dilangsungkan. Persisnya di lantai 42 (mungkin ini bukan lantai tertinggi) di Lounge kantor pusat Acer Indonesia.

Gedung Plaza Indonesia bukan sembarang gedung yang bisa dimasuki siapa saja. Ini gedung dijaga puluhan satpam yang tidak semuanya laki-laki. Ketika saya masuk, tas saya diperiksa, dengan alat yang biasa saya lihat di televisi, mungkin pendeteksi bom atau obat-obatan. Saya aman. Saya memang membawa Paramex tetapi saya tidak membawa bom. Memasuki pintu yang berputar, saya melihat dinding penuh lukisan mural dan didominasi warna hijau. Gedung ini sejuk, meski kesejukan itu tidak berasal dari pohon-pohon yang terlukis di dinding, melainkan dari AC.

Saya tahu saya harus menuju ke lantai 42 tetapi saya tidak tahu di mana lift ajaib itu berada. Maka, bergeraklah saya hendak bertanya ke petugas. Belum sempat saya bertanya, saya melihat seorang perempuan duduk sendirian, berdua dengan gadgetnya. Tidak salah lagi, pastilah itu Ibu Etna Rufiati. Tanpa pikir panjang saya menghampirinya, dan seketika kami bersalaman. Ibu Etna mengabarkan bahwa kantor Acer masih belum buka. Maka kami pun duduk di sebuah sofa, menunggu kawan lainnya datang.

kopdar guraru

Kami berbincang. 10 menit, 15 menit, 30 menit, lalu muncullah Ibu Resty, lalu Pak Sukani. Berikutnya, serombongan orang menyusul datang, Pak Sawali, Urip Kalteng, Amiroh Adnan, Rudy, Rizal Panjaitan. Kami bersalaman dan saling berlempar senyum keakraban. Begitulah, lalu kami bersama-sama naik ke lantai 42 setelah semua orang menukarkan kartu identitas dengan Kartu Ajaib yang bisa digunakan untuk membuka pintu kaca sebelum memasuki lift.

 DSCN3932

Acara di buka sekitar pukul sepuluh. Eko Widianto selaku Bos Acer Indonesia, memberikan sambutannya dengan ramah dan cukup memukau para hadirin. Ia mengatakan bahwa teknologi tidak akan pernah berhenti berkembang. Saat ini, menurutnya, sedang diupayakan bermacam teknologi canggih yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh manusia. Apa yang kita lihat dalam film-film fiksi sains, seperti The Matrix, sebentar lagi akan menjadi kenyataan.

Usai sambutan dari Bos Acer Indonesia, dipanggillah para jawara penerima Acer Award untuk maju ke depan. Mereka mengenalkan diri mereka dan menceritakan pengalaman dan hikmah ngeblog, kegiatan yang mereka lakukan bersama Acer, juga harapan-harapan dari Kopdar Guraru.

DSCN3938

Kue-kue di atas piring mulai beredar bersama kesempatan yang diberikan Bukik Setyawan untuk mempresentasikan slide yang diberi judul “Transformasi Peran Guru di Era Pendidikan Digital”. Pak Bukik, demikian sapaannya, adalah mantan dosen Psikologi yang kini sedang mengembangkan merupakan aplikasi Takita yang bisa anda kunjungi di TemanTakita.Com.

Bukik membuat saya dan mungkin juga hadirin berdebar-debar dengan mengajukan tiga pertanyaan. Pertama, bagaimana anak belajar di masa depan? Kedua, seperti apa pendidikan di masa depan? Ketiga, apakah praktek pendidikan dari amsa ke masa itu serupa?

Bukik memaparkan bahwa jumlah digital native di Indonesia saat ini sudah mencapai 29,2 persen atau sekitar 21,2 juta. Digital native adalah generasi yang hidup setelah tahun 1990, di mana keseharian mereka tidak bisa dilepaskan dengan gadget dan perangkat digital lainnya. Generasi Digital Native membutuhkan perhatian dan metode yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Di sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi mengungkapkan kegelisahannya. Ia bercerita tentang anaknya yang tidak bisa lepas dari gadget. Ia menanyakan bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap anaknya tersebut? Melarang penggunaan gadget jelas tidak mungkin, jelas Bukik. Yang mesti dilakukan, bukan melarang mereka menggunakannya, melainkan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada mereka untuk menggunakan gadget dengan arif. Orang tua tidak semestinya membatasi “penggunaan gadget tertentu”, melainkan hanya perlu untuk membatasi “waktu penggunaannya”.

Tepat tengah hari, Bukik Setiawan mengakhiri presentasinya yang disambut meriah tepuk tangan. Di sebelah kami, tepatnya di meja yang tingginya melebihi dada saya, sudah tersaji hidangan makan siang. Selain ayam goreng, satu yang saya ingat, piringnya besar dan berat. Ada kelas Pak Agus Sampoerna yang membincangkan seputar etika mengunduh e-book kaitannya dengan hak kekayaan intelektual. Kelas yang lain, dibimbing oleh Amiroh Adnan mendiskusikan tentang langkah-langkah gamification di kelas. Sementara kelasnya, Urip Kalteng (saya lupa nama asli Pak Urip ini) memberi kesempatan untuk belajar bersama tentang trik mudah berburu flash untuk media pembelajaran. Sebenarnya, masih ada satu lagi, yakni kelasnya Pak Dedi Dwitagama. Namun, Pak Dedi belum hadir sehingga teman-teman yang sudah mendaftar mengikuti kelasnya Pak Dedi digabungkan untuk ikut kelasnya Pak Agus.

Saya sendiri, bersama Ibu Etna, Pak Rudy, Ibu Resty, Ibu Mugi, mengikuti kelasnya Pak Urip Kalteng. Kesulitan membuat media pembalajaran berbasis flash (swf) hampir dialami oleh banyak guru, termasuk saya. Menggunakan file-file yang ada di internet untuk digunakan di kelas bukanlah suatu dosa. Namun, tidak jarang guru yang kesulitan mencari bahan ajar berbasis flash, dan karenanya Pak Urip hadir untuk memberikan tips dan triknya. Panitia meminjami kami produk acer terbaru. Produk yang hebat memang, membuat saya ngiler ingin membawanya pulang. Meski agak terkendala, terkendala akibat koneksi internet yang lambat, mini class kami tetap berlangsung penuh semangat, dan ilmu-ilmu baru pun berhasil saya serap.

DSCN3944

Tibalah kini kami menyaksikan tiga finalis maju mempresentasikan seputar digital native dan digital immigrant. Disaksikan lima orang juri, Pak Sukani, Pak Rudy, dan Ibu Mugi Rahayu maju satu-satu membawakan presentasi yang memukau. Pak Rudy maju pertama kali. Guru Fisika di sebuah SMA di Palangkaraya tersebut memberikan gambaran tentang penggunaan aplikasi graphic untuk pembalajaran di era digital. Pak Rudy juga berbagi pengalamannya dalam mengajar generasi digital native.

Di urutan kedua, Ibu Siti Mugi Rahayu, Guru Ekonomi di sebuah sekolah di Bekasi ini cukup kalem memamarkan aplikasi simulasi dalam pembelajaran. Ibu Mugi Rahayu mundur, dan majulah Pak Sukani. Bapak satu anak ini sudah melepas jaketnya, dan tampaklah dasinya melambai-lambai. Dia tampil membawakan presentasi berjudul Aplikasi Games untuk Pembelajaran. Sepertinya Pak Sukani sudah mempersiapkan presentasinya dengan matang. Sebelum presentasi dimulai ia bahkan sempat mengajak guru menyerukan yel-yel penyemangat. “Yes!”

DSCN3951

Tepuk riuh menyertai ketiga finalis Acer Guraru Award 2013. Lima dewan juri berdiri dari kursinya, meninggalkan ruangan, menuju ruangan baru, tentunya untuk menghitung nilai dan berembuk menentukan pemenangnya.

Saya pun turut berdebar menunggu pengumuman. Sampai debar itu lenyap ketika Pak Sawali, dengan selembar kertas, maju untuk mengumumkan pemenang. Dimulai dari urutan pemenangan ketiga, diraih oleh Ibu Siti Mugi Rahayu, Pemenang kedua, Rudy H, dan pemenang sekaligus penerima piala Acer Guraru Award 2013 Pak Sukani.

23112013859

Saya sudah mengucapkan selamat dan menjabat tangan ketiga orang hebat itu. Tetapi rasanya belum cukup. Di atas kereta yang melaju saya ingin kembali mengucapkan selamat kepada mereka. Guru-guru yang luar biasa. Saya ingin berbisik di telinga mereka, “Kemenanganmu barangkali adalah amanat juga.” sebab, seturut Omjay, para pemenang guraru ini akan menjadi teladan bagi para guraru yang lain. Semoga hadiah dan penghargaan dari Acer dapat memberikan spirit untuk terus berkarya dan memberikan inspirasi bagi guru-guru yang lain.

DSCN3952

Hijrah dari Kegelapan

Hijrah dari Kegelapan

Ia diusir oleh ayahnya karena dianggap sebagai berandal dan pembangkang. Tapi ia tidak kapok. Sebelum menyadari kesalahannya, ia merasa apa yang ia lakukan adalah suatu jalan yang benar. Ia mengasingkan diri ke hutan, merampok orang-orang kaya yang lewat, untuk kemudian dibagikan kepada orang miskin, agaknya memang suatu perbuatan yang mulia? Tidak heran jika kemudian orang-orang menjulukinya Loka Jaya, si perampok yang budiman.

Kisah yang nyaris serupa dengan Robin Hood itu sangat masyhur. Kita pun gampang menebak, siapa lelaki yang dijuluki Loka Jaya itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Raden Said sang Putra Adipati Walwatikta yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga. Pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh menghasilkan tiga anak, dua perempuan, dan satu laki-laki. Tahukah siapa nama anak lelaki Sunan Kalijaga? Umar Said.

Membaca kisah itu, terutama begitu mengetahui nama salah seorang anak Sunan Kalijaga, entah kenapa tiba-tiba saya teringat dengan Umar bin Khatab, orang yang dijuluki oleh Singa Padang Pasir. Kita tahu, sebelum masuk Islam, Umar dikenal sebagai orang yang disegani di Mekkah, prajurit dan peminum anggur yang tangguh sekaligus penentang paling keras ajaran Muhammad Saw. Sampai pada suatu waktu, sebagaimana dialami Loka Jaya, Singa Padang Pasir itu mendapatkan sebuah pencerahan dari Tuhan.

Dua kisah orang besar tersebut barangkali sudah cukup membuat kita mengangguk percaya sembari bergumam, “Masa depan seseorang, siapa yang tahu?”

Siapa menduga Gus Ihsan, pengarang kitab Sirojut-Tholibin yang terkenal, sekaligus putra Kiai Dahlan pengasuh Pesantren Jampes, dulunya adalah anak bengal yang suka nonton wayang dan bermain dadu. Siapa sangka sosok muda yang gemar sabung ayam kemudian menjadi ulama masyhur dengan singkatan namanya, HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Siapa sangka? Tak seorang pun.

Tentu saja kisah orang-orang yang telah hijrah dari kegelapan tidak sebatas pada orang-orang yang saya sebutkan di atas. Pastilah ada banyak orang di sekitar kita, mungkin anak, siswa, tetangga, mantan pacar, atau siapa saja yang hijrah dari bandel, ndableg, dan mbeling, menuju shalih, tekun, dan arif.

Bahwa hidup adalah misteri ilahi tidak bisa dibantah lagi. Maka, tidak seorang pun pantas untuk menganggap dirinya yang paling baik dari pada orang bertato naga atau pelacur sekalipun, kemudian mengapling surga untuk dirinya dan golongannya.

Bisa jadi Gayus Tambunan (masih ingat nama itu?) sekarang dan selanjutnya telah berubah menjadi lebih baik setelah masuk penjara. Dan siapa akan sangka, jika suatu ketika nanti Ratu Atut Chosiyah, Perempuan Berdandanan Satu Milyar itu akan menjadi orang yang lebih sederhana ketimbang kita, juga senang mendermakan hartanya, menyumbang pembangunan jembatan bagi anak-anak sekolah. Tuhanlah yang menggenggam rahasia. Tidak patut kita berpikir bahwa itu adalah hal yang mustahil.

Di lain sisi, kita yang bersih dari tato, senang membaca puisi, dan mungkin tergolong (atau menggolongkan diri) sebagai orang yang tekun beribadah, belum tentu akan seterusnya begini bukan? Siapa nyana, oleh suatu kejadian atau entah apa, keadaannya menjadi terbalik. Kita hijrah menuju kegelapan, sementara mereka yang biasa kita anggap hina, jahil, kafir, senang ngapusi, dan sesat itu, justru kemudian, di akhir-akhir hidupnya mendapat hidayah Tuhan. Karena itulah, yang kita lakukan semestinya bukan memandang orang lain sebelah mata dan menyudutkan mereka, melainkan masuk dan memandang diri kita sepenuhnya sembari berusaha untuk istiqamah di jalan kebaikan.

“Jadi nakal itu boleh ya, Pak?” tanya siswa saya. Sebelum bertanya, bahkan ia sudah nakal duluan. Dan kita yang guru atau orang tua, sudah semestinya maklum. Maklum bukan berarti menyetujui mereka berada di jalan nakal. Maklum berarti menyadari bahwa kenakalan anak atau siswa kita, selama dalam kondisi yang wajar, sebenarnya merupakan bagian dari masa pubertas yang tidak dimanage dengan baik. Pada waktunya, asalkan kita tidak jenuh membimbing dan mendampingi mereka, maka masa depan mereka kemungkinan dalam lebih baik.

Tapi siapa tahu batas usia? Siapa menjamin remaja-remaja yang nakal itu akan hidup sampai tua? Dan oleh sebab itulah, saya terpancing menulis puisi, yang kiranya tepat untuk mengakhiri tulisan refleksi ini.

Bisik Sang Detik

Karena kita tak tahu batas usia
Baiknya kita anggap diri sudah tua
Maka akan kita rasa benar degup jantung
Nikmat udara yang berembusan lewat hidung

Usia tak seperti matahari
jelas datang dan pergi
Kita pernah pagi, pernah menjadi bayi
Tapi kita tak tahu apakah telah senja
Hampir habis ini usia?

“Ah, manusia yang tak tahu batas waktu
kenapa acuhkan putaran daku?”

Dan kita pun sibuk mengarang alasan
Mencoba mengelak dari kesalahan
Ada juga yang berontak
Terang-terangan mengaku bosan

Sttt!

Kita tak tahu batas usia
Baiknya kita anggap diri sudah tua
Maka tangan-kaki akan lebih hati-hati
Kata-kata akan tertata
Telinga pandai memilih bunyi

“Bacalah tiap langkahku derap
agar kau tak gampang kalap”

Bagi kita yang telah tua
Mestilah pandai membaca peta
Waspadai tiap tanda
Mana jurang dan arah menuju Cahaya

Wonosobo, 2013

Ibu yang Selalu Berdandan Sebelum Tidur


Cerpen Jusuf AN

Cerpen ini disiarkan pertama kali di Media Indonesia, Minggu 3 November 2013. Ada beberapa perbedaan antara cerpen yang tampil di Media Indonesia dengan yang dimuat di blog ini. Itu adalah kerja editor, dan saya berterimakasih kepadanya, sebab toh tidak banyak yang diedit, dan tidak menghilangkan substansi cerita. Baiklah, mari kita simak bersama! 

****

Pernahkah kau bayangkan seseorang yang selalu berdandan menjelang tidurnya? Berdandan seperti laiknya orang hendak bepergian jauh ke luar kota, atau untuk menghadiri acara penting, yang benar-benar penting, sehingga ia mesti berdandan sedemikian rupa sehingga mirip orang penting.
O, barangkali itu akan menjadi cerita paling konyol yang baru pertama kali kau dengar. Seseorang yang mandi pada malam hari, menyemprotkan wangi-wangian ke tubuhnya, membungkus tubuhnya dengan busana paling bagus, lalu rebah di kasur, bersiap meluncur menuju tidur.
“Jangan lupa, matikan tipinya sebelum tidur!” Ibu memperingatkanku dari dalam kamar, persisnya dari depan cermin rias di kamarnya.
“Ibu tidak membantuku mengerjakan PR dulu?” Suaraku mengalahkan suara teve.
“PR matematika lagi? Tidak ah! Soal-soalnya terlalu sulit. Mestinya kau bisa belajar bersama teman-temanmu tadi, bukan nonton tipi terus.”
Di rumah ini, tak ada siapa-siapa kecuali aku, Ibu, dan televisi. Dan agaknya televisi sedikit lebih baik ketimbang Ibu, meski pada saat tertentu ia begitu cerewet dan kerap menayangkan jajan-jajan yang tak pernah aku makan.
Kadang aku muak dengan televisi, tetapi kami begitu mudah berdamai. Ketika tak ada tontonan yang bagus atau ketika film kesukaanku digantikan breaking news, aku marah dan meninggalkannya begitu saja, tapi tidak dalam waktu lama kami sudah bersama lagi. Kadang pula aku marah dengan ibu, dan kami sering tidak bercakap-cakap selama hampir seminggu. Setiap aku pulang sekolah, Ibu tak pernah di rumah. Ketika aku pentas drama di sekolah, Ibu tidak hadir. Ibu juga jarang membantuku mengerjakan PR, khususnya matematika. Dan yang paling tidak aku sukai dari ibu adalah kebiasaannya berdandan sebelum tidur. Satu kebiasaan yang membuatku kerap teringat dengan ucapan para tetangga dan teman-temanku tentang Ibu.
“Ibumu sudah mau ke luar negeri lagi, Lex?” tanya mamanya Fitri, suatu kali.
“Sudah kapok,” jawabku, menirukan ibu ketika aku bertanya hal yang sama.
“Kapok? Barangkali lebih tepatnya sudah tidak laku. Kau tahu?”
“Tidak laku?” Aku bertanya dalam hati. Aku tidak paham maksud ucapan mamanya Fitri. Tetapi kemudian, televisi mengajariku kata ‘tidak laku’ itu. Jadi, manusia itu seperti jajan, bisa dijual dan bisa tidak laku? Mungkin saja.
Tak hanya tetangga, guruku juga kerap menyinggung-nyinggung soal Ibu. Ketika kepalaku dicukur gundul oleh Pak Guru, semua teman-temanku  tertawa. Lebih-lebih ketika Pak Guru menghajar dadaku, “Kau anak tukang salon, tapi rambutmu bisa sampai gondrong. Apa mungkin ibumu lebih senang mencukur rambut orang lain ketimbang rambut anaknya sendiri, he?!”
Aku langsung menangis dan menghambur pulang. Ibu tak ada di rumah. Dan waktu itu listrik juga sedang padam. Aku menangis terus sampai ibu pulang. Begitu melihat kepalaku, Ibu langsung tahu kenapa aku menangis. Ketika aku terangkan kalau Pak Guru yang melakukannya, mata Ibu seketika melotot. “Guru edan! Apa tak ada hal lain yang lebih penting ketimbang mengurusi soal rambut!”
Perihal Ibu yang bekerja di salon memang sering menjadi bahan gunjingan banyak orang. Saat Ibu menyuruhku beli sabun atau sesuatu di warung aku kerap mendengar orang mempercakapkan tentang ibu.
“Sejak kapan si Mira kursus salon?”
“Ah, paling-paling di sana menjadi tukang pijat.”
“Hahaha…”
Beberapa tetangga bahkan melarang anak-anak mereka bermain denganku. Doni, Septi, Lusi, Fendy, mengatakan sendiri tentang itu kepadaku. Aku tidak tahu kenapa. Benar-benar tidak tahu. Mereka seolah-olah lebih tahu tentang ibu ketimbang aku atau ibuku sendiri.
Untunglah sampai sekarang tak ada yang tahu perihal ibu yang senang berdandan sebelum tidur. Jika sampai para tetangga tahu, pastilah mereka akan berkata begini kepadaku: “Ibumu sudah gila ya? Mau tidur aja berdandan! Hahaha…”
Aku akan dikatakan anak orang gila? Ah, tidak! Ibuku masih waras. Jauh lebih waras dari Spongebob dan Patrick. Ibuku cantik. Tidak ada orang gila yang cantik. Tapi, kebiasaan Ibu berdandan menjelang tidur itu? Betapa kelakuan Ibu itu mirip dengan…
Aku bangkit dari busa di depan teve, melangkah mendekati Ibu yang masih duduk di depan cermin rias. Tubuhnya masih dibalut handuk kimono. Rambutnya yang masih basah dibiarkan tergerai di punggungnya. Ibu mendekatkan kepalanya ke cermin, menggerak-gerakkan bibirnya yang baru dilipstik warna merah muda. Ia melirikkan mata sejenak begitu menemukan wajahku muncul dalam cermin.
“Sampai kapan Ibu akan berdandan sebelum tidur?” Aku mendengar suaraku yang parau. Ah, pertanyaan itu lagi, yang sudah aku ulangi lebih dari lima kali.
“Ibu tidak tahu, Lex.” Jawaban yang sudah aku duga. Selalu jawaban itu.
“Kalau Ibu tidur pakai baju putih dan bertemu ayah dalam mimpi, apa di sana Ibu masih pakai baju putih?”
Ibu memalingkan muka ke arahku. Cukup lama matanya tertancap pada wajahku.
“Aku pernah tidur pakai kaos sepak bola, tapi di mimpiku aku sedang hujan-hujanan tanpa pakai baju.” Itulah satu-satunya mimpi yang paling aku ingat dalam hidupku.
“Itu tidak lucu!” Dan Ibu meletakkan lipstiknya di meja, lalu mulai mengoseskan pelembab atau entah apa di wajahnya.
“Ibu…”
Hmmm.”
“Sudah dua tahun Ayah meninggal, kenapa Ibu tidak mencari ayah baru?”
Ibu tercekat sebentar, tapi kemudian meneruskan lagi berdandan. Ia mungkin sudah bosan dengan permintaanku yang satu itu. Permintaan yang entah kenapa tidak juga ia sanggupi.
Apa sulitnya bagi Ibu mencarikan Ayah baru buatku? Aku sering mendengar ibu bercakap-cakap dengan seorang lelaki lewat telepon. Beberapa kali Ibu juga menerima tamu laki-laki. Meski Ibu sendiri terkesan kurang ramah dengan tamu-tamu itu toh ia sudah membukakan pintu buat mereka.
“Aku ingin punya adik, Ibu. Biar ada teman di rumah ini. Masa’ temanku cuma televisi.” Aku menggelendot di pundak ibu. Hanya sebentar, karena handuk kimono yang Ibu kenakan agak basah.
“Tunggulah sampai SMP, tiga tahun lagi. Nanti kau bisa sekolah di luar kota dan tinggal di asrama. Kau akan punya banyak teman baru yang menyenangkan.”
“Sekolah di luar kota! Apa Ibu tidak akan kesepian tinggal di rumah ini sendirian?”
“Semua orang tua harus siap ditinggalkan.” Ibu mendesah, lalu berdiri membuka lemari. Aku memandang wajahnya yang putih bersih, bibirnya yang merah, dan rambutnya yang panjang melebihi bahu. Ibu tampak seperti perempuan bintang iklan shampo.
Ibu melepas kimononya dan tetap membiarkan aku berada di dekatnya. Barangkali Ibu masih menganggapku anak-anak, meski diam-diam aku sering mengamati kulit Ibu yang mulus. Ah, Ibu.
“Kalau Ibu siap ditinggakan, lalu kenapa Ibu melarangku keluar malam-malam?”
“Itu pesan ayahmu!”
“Benarkah? Apakah Ayah sudah di surga?”
“Yang jelas, ayahmu bahagia di alam sana.”
“Apa Ayah bisa melihat aku, Ibu?”
“Tentu saja. Tapi kita tidak bisa melihatnya lagi.” Ibu sudah mengganti handuk kimono dengan celana panjang dan baju bunga-bunga. Kini Ibu mulai menyisir rambutnya. Aku sudah duduk di bibir ranjang, memperhatikan Ibu yang begitu bersemangat berdandan.
“Katanya, Ibu sering berjumpa dengan Ayah di alam mimpi?”
“Itu benar, Alex. Ayahmu masih bisa ditemui dalam mimpi.”
Aku hanya ingin penegasan dari Ibu soal perjumaannya dengan ayah di dalam mimpi. Dan pengakuan Ibu tidak ada yang berubah. Sebelumnya, Ibu sudah kerap mengaku sering berjumpa dengan ayah. Tidak setiap malam, tapi sering. Mungkin itulah yang membuat Ibu tidak lupa untuk berdandan saban malam sebelum tidur; agar ketika bertemu ayah dalam mimpi, Ibu tampak cantik. Ah, tidak. Bukankah aku tidur pakai kaos bola, tapi di dalam mimpi aku bermain hujan tanpa pakaian.
Ibu sendiri tidak pernah menerangkan dengan terang tentang kenapa ia terus berdandan saban malam. Hanya sekali ia pernah menyampaikan bahwa apa yang ia lakukan itu semata-mata untuk ayah. “Agar ayahmu senang dan mau memaafkan Ibu.”
Ibu tidak pernah berterus terang tentang kesalahan yang ia perbuat terhadap Ayah. Tapi menurutku Ibu memang punya banyak dosa, bukan hanya salah saja. Bukan hanya kepada ayah, tetapi juga kepadaku. Ia merantau ke Arab ketika aku masih bayi. Katanya semua itu demi keluarga. Demi aku, khususnya. Untuk membangun rumah, beli baju, kulkas, dan televisi. Ya, memang Ibu telah banyak berdosa sekaligus banyak berjasa kepada kami. Dan ia memang pantas untuk minta maaf.
“Apakah di alam sana, ayah masih sakit jantung, Ibu?”
Hem, Ayahmu sehat. Sangat sehat, lebih sehat dari ketika ia hidup.” Ibu sudah selesai menyisir rambutnya. Ia duduk disampingku dengan mata nyalang memandang foto ayah yang tergantung di dinding.
“Apa Ayah marah jika Ibu menikah lagi?”
“Ibu tidak tahu.”
“Jika Ibu bertemu Ayah, cobalah tanyakan soal itu. Aku kira Ayah akan setuju. Ayah adalah orang paling baik di dunia, jauh lebih baik dari pada Pak Guru.”
Ibu terdiam cukup lama. Kepalanya tertunduk. Jari jemarinya lunglai di paha. Barangkali ia sedang menimbang-nimbang usulku. Aku mendongak melihat jam, dan buru-buru keluar kamar, tahu kalau acara kesukaanku sudah dimulai.
“Pelankan suara tipinya, Lex. Ibu mau tidur!” teriak Ibu dari dalam kamar.
***
Sekitar satu jam kemudian aku masuk ke kamar Ibu. Seketika harum parfum mawar menusuk hidungku. Lampu aku nyalakan, lalu rebah di sampingnya. Sebenarnya, Ibu lebih suka aku tidur sendiri. Tapi film yang barusan aku tonton telah menyiutkan nyaliku. Ohya, tipinya lupa belum matikan. Ah, biarlah, toh televisi tidak punya rasa kantuk.
Ibu tidur miring berhadap-hadapan denganku sehingga aku bisa melihat alisnya yang melengkung indah. Napasnya mengalir tenang dan wajahnya tampak damai dan terlihat lebih cantik ketimbang saat Ibu terjaga. Aku baru mau memejamkan mata ketika kulihat bibir Ibu tersenyum. Mungkin Ibu baru saja bertemu dengan Ayah dan semoga ia tidak lupa menyampaikan permintaanku. Hanya sebentar, tak lebih dari lima detik, senyum Ibu telah hilang. Aku menunggu bibir Ibu kembali mekar untuk kemudian aku akan menganggap bahwa Ayah pastilah telah menyetujui permintaannya. Entah berapa lama aku menunggu. Tahu-tahu sudah pagi. Kurasakan Ibu menepuki bokongku keras sekali. “Kau apakah tipinya? Kenapa tak bisa nyala, heh?!”

Wonosobo, 2013