Kalau Saya Menjadi Kepsek

Pernahkah kau membayangkan menjadi angin? Pejamkan matamu dan bayangkanlah dirimu tiba-tiba menguap dari botol yang terbuka, lalu kau bergerak menampar-nampar jendela, sebelum kemudian menyelusup masuk melalui lubang ventilasi kamar pacarmu. Begitulah, kita bisa membayangkan menjadi apa saja dan kadang-kadang hal itu dapat membuat kita ngakak lebih keras, tersenyum lebih lebar, dan memiliki sensasi mendebarkan yang tidak bisa kau temukan di Dufan.

Akhir-akhir ini saya yang hanya guru ingusan iseng-iseng membayangkan menjadi kepala sekolah (Kepsek). Ini di luar dugaan. Membayangkan menjadi seekor jin pernah saya lakukan, hingga kemudian saya menulis novel yang tokoh utamanya adalah seekor jin. Membayangkan menjadi Tuhan, kadang terlintas juga, tetapi saya takut Tuhan tidak suka dengan keliaran imajinasi saya, dan karenanya segera saya stop. Tapi membayangkan menjadi Kepsek? Aduh! Sungguh keterlaluan. Bagaimana jika Kepsek saya membaca tulisan ini? Hem, bisa jadi saya diberi hadiah, atau malah diprenguti. Biarlah!

Jika saya menjadi Kepsek, dan tahu ada anak buah saya membuat tulisan semacam ini, maka saya akan merasa bangga, menyadari bahwa sebenenarnya saya punya anak buah yang tidak hanya lucu tapi juga pinter berkhayal. Tapi sebagai Kepsek, saya tidak benar-benar butuh orang macam itu. Yang saya butuhkan adalah orang yang loyal, manutan, dan setia mendukung gagasan dan ide saya yang brilian. Wow!

Kalau saya menemukan anak buah yang tidak loyal, saya tidak akan langsung memanggilnya, memarahinya, dan atau memberinya sanksi, meskipun hanya sebatas prengutan. Mula-mula saya akan mendekatinya, bicara baik-baik dengannya, jika ia perokok saya akan memberinya rokok. Lalu pelan-pelan saya tanyakan tentang kenapa berani-beraninya ia membelot dari kepemimpinan saya. Saya akan terbuka dengan kritikan, meski telinga saya pasti akan merah. Saya menyadari bahwa saya pernah menjadi anak buah, pernah menjadi guru biasa tanpa sampiran, dan melihat dengan jelas sesuatu yang tidak saya sukai (meski belum tentu itu salah) dari sikap dan kebijakan atasan saya.

Saya tahu, menjadi Kepsek tidaklah mudah. Jadinya saja sulit apalagi ketika sudah jadi. Tapi anggaplah saya benar-benar sudah menjadi kepala sekolah sekarang. Anggap saja, tidak sungguhan kok. Bermimpi atau bercita-cita pun tidak, sama sekali tidak pernah. Tapi saya bisa membayangkan betapa repot dan mendebarkan menjadi Kepsek. Tapi kan di balik kesulitan pasti ada keasyikan. Dan saya akan menjalani hari-hari memimpin sebuah sekolah yang besar, berusaha mati-matian untuk lebih membesarkan sekolah itu, juga membesarkan rekening pribadi, dan nama saya sendiri. Hahaha

Memang sih, ketika belum menjadi Kepsek saya ini orangnya idealis. Bersih. Karena tidak peluang untuk berkotor-kotor. Kalau melihat kecurangan sedikit saja saya muak. Tapi ketika sekarang menjadi Kepsek, saya mulai berhitung dengan banyak hal. Saya sudah benar-benar berubah, bukan guru lagi, tapi masih manusia, meski mungkin tinggal setengah. Kalau saya tetap idealis sebagaimana dulu ketika menjadi aktipis bagaimana mungkin saya dapat mengembalikan jutaan rupiah yang sudah saya berikan kepada orang-orang yang membantu saya menduduki jabatan paling keren di sekolah ini? Kepala sekolah lain juga begitu, bahkan di antara mereka ada yang sengaja membuat proyek-proyek yang sebenarnya tidak begitu penting. Lhah kok saya tahu? Dalam bayangan saya, kami sesama Kepsek sering curhat, dan secara terbuka ada yang mengatakan itu—tanpa malu.

Duhai asyiknya menjadi Kepsek! Saya selalu mendapat jatah yang paling besar dari setiap kegiatan. Ya wajarlah, kan dalam setiap kepanitiaan posisi saya sebagai Penanggung Jawab. Kalau ada kesalahan atau kekacauan dalam sebuah kegiatan saya akan menyalahkan ketua panitia. Saya akan bilang: "Bagaimana bisa begitu? Kalau tidak becus jadi ketua panitia ya bilang saja, biar diganti yang lain." Memarahi jangan diartikan negatif ya, karena itu bagian dari kerja saya sebagai Penanggung Jawab.

Saya tahu, tanggung jawab saya sebagai Kepsek dan semua kegitan di sekolah bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Ketika memimpin rapat, di depan para guru, saya berkali-kali mengatakan hal itu. Bahwa dunia hanyalah sementara, kerja adalah ibadah, keikhlasan yang utama, bersyukur akan membuat bahagia, dan seterusnya yang terkesan mulia. Sesekali saya juga membaca puisi di depan para siswa. Saya kan Kepsek yang suka puisi gitu lhoh. Saya bangga dapat menceramai orang, meski saya kerap tidak ikhlas dalam bekerja, merasa kurang dengan gaji dan tunjangan, dan terus mengumpulkan pundi-pundi demi kesenangan pribadi dan keluarga. Kalau saya tidak mengajak mereka berbuat baik, bukan kepala sekolah namanya. Wibawa saya akan saya taruh di mana?

Ya, soal wibawa diri saya sebagai Kepsek memang harus saya junjung tinggi. Jika ketika masih menjadi guru saya sering berkumpul dengan sesama rekan guru, udud dan ngopi bersama, cekikikan, ngrumpi nggedebus gak jelas, ketika sudah menjadi Kepsek saya akan lebih banyak berdiam di ruangan saya. Aduh, enak sekali di ruangan itu. Saya buka laptop yang sudah tersambung dengan internet, saya mulai facebookan, ngeblog, menulis cerpen dan puisi tanpa dihantui bel ganji jam pelajaran. Lhah iya, saya cuma mengajar seminggu 6 jam kok. Kalau saya tidak mengajar pun tidak akan ada yang mencari saya. Waka Kurikulum tidak akan berani! Semua orang tahu kalau saya sibuk, punya urusan sendiri yang berbeda dengan para guru. Ah, tapi tidak! Saya akan tetap masuk kelas. Bagaimanapun, saya masih punya hati nurani dan tahu tanggung jawab. Tapi kalau sewaktu-waktu saya kosong, misal anak saya sakit, atau mobil saya bannya kempes, macet, bangun kesiangan, atau tiba-tiba saya ingin menghadiri temu sastra di luar kota, saya tidak bingung lagi. Tinggal SMS Waka Kurikulum, beres! Kalau anak buah tidak hadir karena berhalangan wajib membuat surat ijin yang ditujukan kepada saya, nah saya mau membuat surat ijin ditujukan kepada siapa? SMS saja cukuplah! Kepsek kok!

Sejak hari pertama saya menjadi Kepsek saya sudah merancang sekian agenda untuk mengangkat derajat sekolah ini; baik SDM-nya maupun sarana dan prasarananya. Saya tahu anak buah saya semuanya sudah Sarjana. Tetapi saya juga tahu bahwa kompetensi dan motivasi mereka sebagai guru harus ditingkatkan. Mereka butuh penyegaran keilmuwan, butuh lecutan motivasi dan saya kemudian akan mengirim mereka untuk mengikuti pelatihan dan seminar keren di luar kota. Saya memilih mereka yang belum pernah mengikutinya, belum pernah mendapat surat tugas untuk ke luar kota. Saya tidak ingin anak buah saya menjadi seperti saya yang dulu, tidak pernah mendapat tugas mengikuti pelatihan atau kegiatan di luar sekolah karena yang disuruh adalah orang yang itu-itu saja, yang dekat dengan Kepsek tentunya.

Karena saya suka ngeblog, maka saya juga sudah merancang pelatihan pembuatan blog bagi para guru. Saya akan mengundang Omjay, Botak Sakti, Ibu Amiroh, Ibu Etna, dan teman-teman saya yang jago ngeblog untuk menyemangati anak buah saya berinovasi dan berkreasi dengan blog. Saya akan sangat malu jika punya anak buah yang gaptek dan karenanya saya mewajibkan semua guru punya laptop, email, blog dan bisa menggunakan itu semua dalam proses pembelajran.

Saya juga akan mengundang teman-teman saya untuk mengisi workshop penulisan karya ilmiah, juga workshop sastra dan jurnalistik untuk para siswa. Beliau Mas Joni Ariadinata mungkin akan saya undang, juga Indrian Koto, Mahwi Air Tawar, Ahmad Mukhlis Amrin, dan teman-teman saya di Kominitas Sastra Bimalukar. Saya akan berikan honor yang besar kepada mereka. Dan sebagai penanggung jawab kegiatan saya juga akan mendapat honor yang besar pula. Hehe

Impian saya yang lain adalah membangun perpustakaan yang hebat. Ketika menjadi guru tanpa sampiran Kepsek saya geram menyaksikan perpustakaan yang penuh sesak dengan buku teks pelajaran. Buku-buku yang usianya pendek. Padahal ada pos dana yang bisa digunakan untuk membeli buku bacaan. Kalau toh tidak ada, saya akan berjuang mati-matian untuk mengadakannya. Akan saya penuhi perpustakaan sekolah saya dengan buku-buku bagus, khususnya sastra, lebih khusus lagi novel-novel saya. Hahaha… Tentu saja saya agak rugi karena mengurangi belanja buku teks berarti mengurangi pendapatan saya dari rekanan penerbit. Tidak apa, saya sudah cukup gembira mendengar degub jantung sekolah yang saya pimpin itu sehat. Novel-novel saya juga akan banyak dibaca oleh siswa dan teman-teman guru, best seller jadinya. Hahaha

Ada satu lagi yang ingin saya perjuangkan, yakni nasib guru honorer. Sebagai Kepsek yang baik dan pernah menjadi guru honorer pula saya tidak mungkin menutup mata dengan nasib mereka. Disaat penyusunan Rencana Anggaran Pembelanjaan Sekolah saya sendiri yang akan mengusulkan kenaikan honor untuk mereka. Soal kenaikan tunjangan saya sebagai Kepsek nanti juga ada yang mengusulkan. Tidak hanya honor, saya juga akan memberi tambahan uang transpot dan dana kesehatan bagi guru honorer. Ketika pembagian bahan seragam, para guru honorer juga akan menerima ongkos untuk menjahit, agar mereka tidak seperti saya yang pernah menumpuk bahan pemberian sekolah karena berpikir 7 kali ketika akan menjahitkannya.

Demikianlah! Membayangkan menjadi Kepsek saya kira bukanlah kesia-siaan, bukan pula bermaksud memanjangkan angan. Justru dengan itu saya akan banyak menghayati kehidupan, merasakan dan seolah-olah mengalami lika-liku yang yang belum saya alami; empati. Dengan begitu, saya (semoga) tidak mudah menyalahkan orang lain, khususnya Kepsek. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

3 comments

comments
23 Maret 2015 pukul 22.31 delete

Sudilah mengangkat saya jadi ketua yayasannya Cek Gu

Reply
avatar
5 Mei 2015 pukul 15.23 delete

Aku suka kepsek penuh ide spt itu, cuma jngn yg matrelah. Tp lebih memperhatikan yg lemah yg perlu perhatian lebih

Reply
avatar
19 Juli 2015 pukul 23.26 delete

Semoga saja andai-andainya jadi kenyataan...

Reply
avatar