Pembelajaran Fiqih Era Internet di Madrasah

PEMBELAJARAN FIQIH - Semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia, mengakibatkan kebutuhan akan konsep pembelajaran berbasis ICT yang tidak dapat dihindari. Kebutuhan akan ICT tidak hanya digunakan sebagai alat komuniasi dan penyebaran informasi antara insan pendidikan, melainkan juga digunakan sebagai media untuk yang menunjang proses pembelajaran.

Madrasah, sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia, juga dituntut untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Karena itulah, madrasah perlu melakukan berbagai inovasi agar tetap survive dan menjadi pilihan masyarakat. Memang sebagaian madrasah telah melakukan berbagai inovasi sehingga melahirkan bentuk madrasah yang berbeda-beda, baik dalam sistem pembelajarannya ataupun dalam hal praktek pembelajarannya. Namun, secara umum, pembelajaran di madrasah, khususnya madrasah tsanawiyah masih tertinggal dibanding pembelajaran di sekolah umum. Secara umum, proses yang ditempuh dalam pembelajaran di madrasah masih menggunakan metode klasikal, yang berpusat pada guru (teacher centered). Perkembangan dunia teknologi informasi dan komunikasi tidak serta merta mengubah paradigma pembelajaran yang berlangsung di madrasah.

Jika kondisi seperti itu terus berlangsung, maka madrasah akan tertinggal dengan sekolah-sekolah umum. Karenanya, inovasi dan perubahan paradigma pembelajaran sudah semestinya diubah. Perlu disadari bahwa proses pembelajaran tidak hanya bisa ditempuh dan dilakukan di lingkungan madrasah, dengan keterbatasan ruang dan waktu. Perkembangan dan dukungan teknologi sangat memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan aktivitas pembelajaran yang lebih dari itu. Dengan memanfaatkan ICT maka proses pebelajaran dapat bersifat multi dimensi dan multi purposes.

Pembelajaran Fiqih di Era Internet


Pendidikan merupakan salah satu bagian dari kehidupan yang paling penting. Sebuah peradaban dibangun di atas dasar pendidikan. Jika pendidikan pada suatu bangsa memiliki kualitas yang rendah, maka peradaban di bangsa tersebut juga akan berjalan lambat.

Pendidikan sesungguhnya merupakan upaya untuk membebaskan manusia dari ketertindasan, kebodohan, serta pemasungan hakikat kemanusiaan yang merupakan hak asasi yang diberikan oleh Allah swt. Pendidikan akan senantiasa menjadi wadah dalam membentuk karakter manusia yang beradab dan berakhlak mulia.[1]

Agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekuler yang semata-mata menghasilkan para peserta didik yang berparadigma pragmatis. Dalam perspektif Islam, pendidikan merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral untuk menjalankan fungsi kemanusiaan. Sebab manusia berperan sebagai seorang hamba (‘abd) di hadapan Allah swt., dan sebagai khalifah pada alam semesta. Karenanya fungsi utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan berkompetisi secara global. [2]

Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.[3] Sementara Mata Pelajaran (Mapel) Fiqih adalah bagian dari mata pelajaran PAI. Mapel Fiqih diajarkan di jenjang pendidikan dasar dan menengah di Madrasah. Sementara untuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah menengah Atas (SMA), atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), materi fiqih digabung dengan materi pendidikan agama Islam yang lain yang terangkum dalam Mapel PAI.

Permasalahan-permasalahn yang dibahas dalam fiqih adalah masalah-masalah amaliyah, yang dikerjakan oleh para mukallaf sehari-hari. Fiqih Islam mempunyai ushul (pokok-pokok atau dasar-dasar) yang menjadi obyek ushul fiqih.[4] Materi-materi yang dipelajari dalam Mapel Fiqih di madrasah lebih dititik beratkan pada masalah-masalah furu’, yakni masalah-masalah amaliyah muamalah dan ibadah. Di antara materi-materi mapel fiqih adalah thaharah, shalat, puasa, zakat, pengeluaran harta di luar zakat, haji, makanan yang halal dan yang haram, jual beli, qur’ban dan aqiqah, dan lain sebagainya. Tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran fiqih bukan semata pada aspek kognitif (pengetahuan), melainkan lebih pada bagaimana peserta didik dapat menghayati ajaran-ajaran Islam (amalan-amalan fiqih). Guna mencapai fungsi dan tujuan utama tersebut tentunya diperlukan sistem pendidikan yang baik.

Selama ini, pendidikan islam yang berlangsung di sekolah dan madrasah masih gagal dalam membentuk karakter manusia yang beradab dan berakhlak mulia. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, salah satunya adalah strategi dan pengelolaan pembelajaran yang belum beranjak, yakni masih menggunakan strategi pembelajaran tradisional-normatif dengan mengandalkan adanya guru di ruang kelas dan ketersediaan buku ajar.

Nur Syam dalam sambutannya di buku pegangan guru Fiqih Madrasah Tsanawiyah mengungkapkan sebuah kaidah kaidah ushul fikih, mala yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun (suatu kewajiban tidak menjadi sempurna tanpa adanya hal lain yang menjadi pendukungnya, maka hal lain tersebut menjadi wajib), juga kaidah al-amru bi asy-syai'i amrun bi wasailihi (perintah untuk melakukan sesuatu berarti juga perintah untuk menyediakan sarananya). Perintah menuntut ilmu berarti juga mengandung perintah untuk menyediakan sarana pendukungnya, salah satu diantaranya buku ajar.[5]

Buku ajar memang penting, dan adanya seorang guru juga tidak kalah penting. Namun begitu, pengelolaan pembelajaran tradisional-normatif, seperti halnya ceramah dengan metode teacher-centered cenderung tidak disukai oleh siswa. Dalam penerapannya, ketika guru mengajar dengan menggunakan metode teacher-centered, maka sebenarnya tidak secara otomatis murid ikut belajar. Saat ini guru menghadapi anak-anak digital native, yakni anak-anak yang hidup dalam dunia digital. Mereka adalah anak-anak yang sehari-harinya menjalin hubungan dengan perangkat-perangkat elektronik atau ICT.

Dalam membina dan mendidik anak-anak digital native diperlukan komunikasi yang baik. Tanpa komunikasi yang baik, jangan harap anda bisa mengorek keterangan yang banyak dari mereka. Karenanya, sebagai guru dan orang tua harus belajar dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang ada guna mengimbangi mereka. Sebab, bila tidak, maka tidak ada pemandu buat mereka untuk memanfaatkan peralatan-peralatan teknologi canggih tersebut.[6]

Dari sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh peneliti CERN Swiss, berbagai berita, video, sampai pada resep masakan tradisional Indonesia semuanya dapat dengan mudah ditemukan melalui internet secara praktis, cepat, dan langsung.[7] Karenanya, guru dituntut kreatif dalam mengupayakan pembelajaran yang mengena, bermakna, dan dapat diterima oleh siswa. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan media internet.

Pembelajaran fiqih di era internet perlu dirancang lebih baik lagi, dan tidak melupakan TIK. Banyak madrasah saat ini sudah dilengkapi dengan sarana dan prasarana TIK yang memadai. Sayangnya pemanfaatan TIK masih belum optimal. Padahal pengoptimalan pemanfaatan TIK kini menjadi kebutuhan yang mendasar dalam menentukan kualitas dan efektivitas proses pembelajaran. TIK untuk pembelajaran bisa diaplikasikan sebagai sebuah media pembelajaran yang menarik dan mengena bagi peserta didik. Seorang guru bisa membuat slide, video pembelajaran, dan membuat blog yang digunakan sebagai media dan sumber belajar.

Selain membantu menciptakan kondisi belajar yang kondusif bagi siswa, peran penting dari teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran adalah menyediakan seperangkat media dan alat (tool) untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan siswa, serta tentu saja memberi keterampilan penggunaan teknologi tinggi (advance skill)[8]. Pemanfaatan TIK juga dapat memangkas biaya dan melipat jarak. Peserta didik dapat mengakses materi kapan saja dan di mana saja, ada atau tidak ada guru di depannya. Lebih utama dan penting, kelebihan pembelajaran berbasis TIK dibanding dengan pembelajaran konvensional-tradisional adalah proses penyampaian dan penyajian materi pembelajaran dapat lebih menarik dan menyenangkan.

Berkaitan dengan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran, perlu ditunjukkan sebuah hasil survei yang menarik. Survei tersebut dilakukan oleh sebuah Universitas di Amerika Serikat. Disebutkan dalam survei tersebut, apabila murid kelas konvensional dengan murid kelas online diuji bersama-sama, maka ditemukan hasil sebanyak 90-100 persen siswa kelas online memperoleh nilai di atas C dan hanya 60 persen siswa kelas konvensional yang mendapatkan nilai di atas C. Berdasarkan survei tersebut, kelas online memiliki banyak keunggulan. Semua materi dan diskusi mengenai pembelajaran dapat diulang kembali. Berbeda dengan kelas konvensional, siswa harus mencatat. Apabila lupa mencatat, maka materi yang diberikan ke siswa hanya "masuk telinga kanan, keluar telinga kiri". [9]

Penyediaan dan penggunaan media dan sumber belajar berbasis TIK memiliki makna yang sangat penting. Dengan TIK materi-materi yang tadinya terkesan rumit, dapat lebih disederhanakan. Dengan adanya media TIK juga dapat membantu guru dalam menjelaskan tentang suatu konsep. Dalam kaitannya pada pembelajaran fiqih tingkat MTs, guru dan siswa sama-sama dapat memanfaatkan TIK untuk menunjang proses pembelajaran. Saat ini sudah banyak software-software berupa media pembelajaran interaktif (MPI), baik yang premium (berbayar) maupun yang free (gratis). Siswa dan guru juga bisa memanfaatkan internet, di mana banyak sekali website atau blog yang bisa dijadikan sumber belajar fiqih siswa MTs. Jika buku teks atau teori-teori yang ditulis dalam Lembar Kerja Siswa terlalu kaku dan sempit, maka pembahasan-pembahasan tersebut dapat diperkaya dengan mencari referensi lain yang banyak tersedia di internet.

Jelaslah bahwa, di era internet seperti sekarang, pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran menjadi suatu hal mutlak diperlukan. Sebab kondisi dan permasalahan pendidikan yang ada sudah semakin kompleks. Namun begitu, dalam memanfaatkan TIK untuk pembelajaran seorang guru mesti dapat mengelolanya dengan baik, terencana, sistematis dan terintegrasi.

Selain hal di atas, harus diingat bahwa pemanfaatan TIK untuk pembelajaran tidak bisa diterapkan dalam semua materi atau kompetensi Mapel Fiqih. Sebagaimana dikemukakan Noeng Muhajir dalam Muhaimin[10] pembelajaran nilai lebih cocok dengan pendekatan strategi konvensional, yaitu dengan jalan memberikan nasihat atau indoktrinasi. Dengan demikian, pemanfatan ICT dalam pembelajaran fiqih lebih cocok digunakan pada pembahasan fiqih ibadah dan muamalah khususnya yang menyangkut masalah benar dan salah, halal atau haram. Sementara untuk memahamkan siswa akan nilai baik dan buruk, penghayatan dalam amalan-amalan fiqih yang lebih tepat digunakan adalah dengan cara memberitahukan secara langsung. (M. Yusuf Amin Nugroho)

Baca juga:
Pemanfaatan Blog Sebagai Media E-Learning
Teknologi dan Prasyarat Pendukung E-Learning

catatan:

[1]Muhammad Yunus, Pendidikan Islam Berkualitas di Era Modern, Jurnal As-Salam, Vol II, No.1, Th. 201, hal. 31.
[2]Ibid,, hal. 33
[3]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 76.
[4]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), Cetakan Kedua, hal. 15.
[5]Kementerian Agama R.I., Buku Guru Fikih Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013, 2014. hal. iii.
[6]Wijaya Kusuma, Blog untuk Pendidikan, (Indeks: Jakarta, 2012), hal. 165-166
[7]Y. Maryono dan B. Patmi Istiana, Teknologi Informasi dan Komunikasi, SMP Kelas IX. (Jakarta: Penerbit Quadra, 2002), hal. 1.
[8]Ace Suryadi, Pemanfaatan ICT dalam Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007, hal. 92.
[9] http://www.edukasi.kompas.com/read/2014/01/06/1252090/
Mengapa.Siswa.Kelas.Online.Lebih.Unggul.dari.Kelas.Konvensional. Senin, 6 Januari 2014 | 12:52 WIB, Diakses 30 Oktober 2014.
[10] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung, Yayasan Nuansa Cendekia, 2003), hal. 92.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »