Review Karapan Laut: Membaca Kematian dalam Cerpen-cerpen Mahwi

Jusuf AN*)

Entahlah, saya sendiri tidak tahu kenapa cerpen-cerpen saya selalu dipenuhi dengan aroma kematian. Begitulah kurang lebih pengakuan Mahwi Air Tawar kepada saya, suatu ketika.

Saya kira tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang lahir dari ruang hampa. Cerpen dan karya sastra lainnya, kita tahu, bukan saja merupakan pandangan penulis tentang dunia, tetapi juga buah perenuangan penulis atas dirinya, alam, dan lingkungannya. Mungkin Mahwi sebenarnya tidak ingin tokoh-tokoh dalam cerpennya mengalami kematian, tetapi alam bawah sadarnya telah menggerakkan cerita menuju ke arah itu, dan Mahwi tidak berdaya.

Karapan Laut, buku yang merangkum 12 cerpen mutakhir Mahwi Air Tawar hampir semuanya dipenuhi dengan bau kematian. Suatu malam, di atas kasur, menjelang tidur, saya memutuskan untuk tidak meneruskan membaca cerpen Anak-anak Laut. Bukan karena mengantuk, tetapi disebabkan kengerian yang dibangun cerpenis Madura ini seolah benar-benar hadir di depan mata. Saya takut mimpi buruk. Saya tidak tahan dengan debar jantung saya sendiri melihat anak kecil berenang di lautan yang ganas pada malam hari. Saya berhenti. Saya kalah.

Tapi pada akhirnya saya tergoda juga untuk meneruskan membaca cerpen itu, juga cerpen-cerpen lainnya. Sesekali saya bergumam, hebat benar kawan satu ini, pastilah cerpen-cerpennya tidak ditulis dalam semalam. Pastilah ia sudah memelototi cerpen-cerpennya lebih dari lima kali. Dan, ya, saya baru ngeh sekarang, kenapa Mahwi sering pulang dari Jogja ke Madura. Tentu, selain melebur rindu, juga dalam rangka proses pengentalan cerita-cerita yang sedang ia garap.

Mahwi yang lahir di Pesisir Sumenep, pastilah memang sudah sangat akrab dengan Madura dan alam pikir rang-orangnya. Tapi, percayalah, memetik kisah-kisah yang dianggap layak untuk cerpen, mengungkapkan gaya hidup dan gambaran alam dengan kata-kata, bukan sesuatu yang remeh sama sekali. Dan karenanya saya angkat topi kepada ayah Are Timur Daya ini.

Saya tahu, saya ketinggalan jauh dengan Mahwi. Dan saya juga terlambat karena baru menulis tentang Karapan Laut setelah buku terbitan Komodo Book itu lahir awal 2014. Tapi tidak apa-apa. Tidak apa-apa pula Mahwi menggunakan nama tokoh-tokoh yang unik seperti Tarebung, Durakkap, dan Markoya. Kadang saya membatin, kenapa tidak pakai nama Achmad, Mukhlis, atau Amrin, misalnya. Bukankah Achmad Mukhlis Amrin adalah orang Madura juga. hehe… Saya percaya, nama-nama tokoh dalam prosa fiksi memiliki makna sendiri, selain mungkin sebagai metafora. Dan saya kira Mahwi tidak sedang epigon dengan para pendahulunya, seperti AS Laksana dengan Seto-nya, dan Seno senang dengan Alit-nya. 
review karapan laut


Kembali kepada soal kematian. Penyebab kematian di seluruh dunia pada dasarnya hanya satu: jantungnya berhenti berdegub. Kadang-kadang Mahwi menyembunyikan kematian tokoh-tokoh cerpennya. Ini bisa dilihat dalam cerpen Janji Laut, Wasiat Api, Bajing, Ujung Laut Perahu Kalianget. Ending yang terbuka memberikan kebebasan bagi pembaca untuk menentukan bagaimana tokoh-tokoh cerpen kita (mungkin) pada akhirnya akan mati.

Keputusan Mahwi mengangkat lokalitas etnik Madura adalah hal yang tepat sekaligus berani. Soal ini pernah saya singgung dalam tulisan Cerita-cerita yang Menelanjangi Madura. Mungkin Mahwi merasa tidak ada yang perlu ditutup-tutupi dari Madura. Tentang mantra-mantra gaib, senok di pelabuhan, bajing, blater, adu caruk, dll. Bahwa cerita-cerita yang Mahwi tulis mungkin hanyalah fiksi, tapi ia bukan omong kosong, sehingga Madura dapat sedikit terdedah melalui cerita-ceritanya. Meski begitu, saya percaya Mahwi menulis bukan dalam rangka menebalkan citra miring atas Madura, melainkan untuk mengenalkan khasanah lokal, selain mengajak pembaca untuk memunguti hikmah dari setiap peristiwa.

Ya, cerita-cerita kematian dibuat bukan untuk menakut-nakuti (meski pembaca akan merinding). Lebih dari itu ia mengajak kita untuk lebih mensyukuri hidup dan kehidupan, dan tidak gegabah dalam menghadapi setiap persoalan.

*) Jusuf AN, pengagum Mahwi, tinggal di Wonosobo

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »