Sejarah Kelahiran dan Perkembangan NU dari Masa ke Masa


Memahami Nahthatul Ulama (NU) secara komprehenship, tidak mungkin melupakan sejarah kelahirannya. Sementara kelahiran sebuah organisasi tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran dan peristiwa yang melatar belakanginya.

Pada konteks global kelahiran Nahthatul Ulama hampir selalu dikaitkan dengan peralihan kekuasaan di Mekkah tahun 1924 dimana Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi menggantikan Syarif Husen yang berpaham Sunni sebagai Raja Hijaz (Mekkah). Jatuhnya kekuasaan dari Sunni ke Wahabi berimbas pada kebijakan-kebijakan yang melemahkan pemikiran dan amaliah keagamaan kaum Sunni. Terlebih, rencana penguasa baru Hijaz tersebut yang bermaksud melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam, dengan menegakkan dan meneruskan kekhalifahan Islam pasca runtuhnya daulah Utsmaniyah.[1]

Memang, kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bertentangan dengan fahamnya. Selama menududuki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi menghancurkan banyak makam di dalam dan sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktek keagamaan populer. Bagi kaum muslim tradionalis Indonesia yang sangat terikat kepada paktek-praktek keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang mencemaskan. [2]


Baca juga:

Madzhab Akidah, Fiqih, dan Tasawuf NU
Peran Ulama dalam Pembentukan Negara Indonesia

Ketika Raja Ibnu Sa’ud bermaksud menggelar Muktamar Khilafah di Kota Suci Makkah, Indonesia yang waktu itu masih dalam kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda tidak luput diundang. Beberapa nama diusulkan, antara lain HOS Cokroaminoto yang mewakili Sarikat Islam (SI), K.H. Mas Mansur mewakili Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab Chasbullah mewakili kalangan pesantren.[3] Namun begitu, dengan alasan tidak mewakili organisasi resmi, nama yang terakhir dihapus dari daftar, sehingga K.H Wahab Chasbullah tidak bisa mengikuti Muktamar tersebut untuk menyuarakan pendapat-pendapat yang mewakili kaum Sunni di Indonesia.

Kaum tradisional, yang merupakan cikal-bakal pendahulu NU, menghendaki agar utusan Indonesia ke Kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibn Sa’ud untuk menghormati madzhab-mazhab Fiqh Ortodoks dan membolehkan berbagai praktek kegamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka untuk diperjuangkan. Alasan tersebut sangat masuk akal, mengingat kecemasan jika ajaran Fiqh Syafi'i dilarang di Mekkah. Tidak hanya itu, pelarangan teradap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum Muslim Tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman kegagamaan yang penting.[4]

Karena tidak mendapat undangan resmi dari Raja Hijaz, Kiai Wahab Chasbullah kemudian mendorong para kiai terkemuka Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa'ud. Kiai Wahab kemudian mengundang para kiai di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus.[5]

Terbentuklah apa yang dikenal dengan Komite Hijaz yang dimaksudkan sebagai panitia aksi dalam rangka menanggulangi tindakan-tindakan penguasa baru Hijaz. Rapat Komite Hijaz sendiri dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari yang tidak lain merupakan guru dari K.H Wahab Chasbullah dan kebanyakan Kiai yang hadir.

Martin van Bruinessen dalam penelitiannya menulis bahwa, guna memperkuat kesan pihak luar, Komite Hijaz kemudian memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan akhirnya tercetus sebuah nama: Nahdlatoel ‘Oelama.[6] Tetapi barangkali tidak seremeh itu. Keputusan para Ulama yang tergabung dalam Komite Hijaz untuk membentuk suatu organsasi (jam’iyah) sebenarnya sudah lama terpikirkan. Dan ketika Komite Hijaz terbentuk, ia menemukan momentumnya.

Jika sifat sebuah komite hanyalah sementara, maka diperlukan wadah yang bisa terus berjuang secara permanen, sepanjang masa. Maka kemudian, disepakati sebuah Jam’iyah yang diberi nama Nahdhatul Ulama.

Syaikhona K.H. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. merupakan pemimpin pertama NU dengan sebutan/jabatan Rais Akbar. Sementara K.H Wahab Chasbullah, Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulm Tambakberas, Jombang yang merupakan murid dari Hadratus Syekh menjadi Katib (sekretaris). Susunan pengurus NU pada awal berdiri, semuanya terdiri dari kalangan kiai pengasuh pondok pesantren dari Jawa dan Madura, di antaranya KH. Maksum (Lasem), KH. Ridwan (Semarang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nahrawi Muchtar (Malang), KH. Ridwan (Surabaya), K. Abdullah Ubaid (Surabaya), KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH. Abdul Halim (Leuwimunding, Cirebon), KH. Doro Muntaha (Madiun), KH. Dahlan Abdul Qahar (Madiun), KH. Abdullah Faqih (Gresik).

Pada awal-awal berdirinya, perjuangan NU dititikberatkan pada penuatan paham Ahlussunah Waljama’ah. Hal ini dianggap mendesak mengingat pentingnya membentengi umat dari serngan penganut ajaran Wahabi. Selain itu, NU juga melakukan pengatan persatuan di antara para kiai dan pengasuh pondok pesantren. NU juga secara serius menanamkan nilai-nilai nasionalisme di pesantren yang menjadi pondasi awal perlawanan terhadap Belanda.

NU, juga organisasi soasial kemasyarakat dan politik di Indonesia sempat dibekukan ketika Jepang datang ke Indonesia (1942). Pada masa itu, perjuangan NU lebih difokuskan melalui jalur diplomasi. K.H. Wahid Hasyim, putra Hadratus Syekh, masuk ke dalam parlemen buatan Jepang dan meminta NU diaktifkan kembali. Permintaan tersebut dikablkan pada tahun 1943.

Perjuangan NU dalam pergerakan melawan kolonialisme begitu gencar dan rapi. Tahun 1944 Hizbullah, yang diprakarsai oleh K.H Wahid Hasyim terbentuk. Mereka dilatih kemiliteran oleh para komandan PETA dengan pengawasan prajurit jepang. Sejak itulah pesantren-pesantren berubah menjadi markas pelatihan Hizbullah.

Sejarah penting pada awal kemerdekaan Republik Indonesia adalah dikeluarkannya Fatwa Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad NU. Dengannya semangat perjuangan kaum musliminn dalam melawan tentara Belanda yang datang membonceng sekutu benar-benar membara.

Ketika Indonesia merdeka, banyak tokoh NU yang turut mengisi jabatan penting di pemerintahan yang baru baru dibentuk sampai dengan berakhirnya Orde Lama. Di antara tokoh NU tersebut adalah K.H A. Wahid Hasyim dan K.H. Majkur yang menduduki jabatan menteri.

Pada tahun 1952, lewat Muktamar NU ke-19, NU memutuskan untuk menjadi partai politik, setelah sebelumnya para tokohnya bergabung dalam Masyumi, dan mendapat suara terbanyak ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada era ini, semakin banyak tokoh NU yang berkiprah di pemerintahan; K.H Zaenul Arifin, K.H M. Iyas, K.H. Idham Chalid, K.H.A Wahib Wahab, untuk menyebut beberapa nama yang menduduki jabatan penting di pemerintah.

Saat Orde Baru (1973) berkuasa dan partai-partai ditertibkan, menjadi hanya Partai Demokrasi Indonesia (mewakili partai-partai nasionalis) dan Partai Persatuan Pembangunan (mewakili partai-partai Islam), dan Golongan Karya (yang mengganggap dirinya bukan partai, tetapi dijinkan ikut pemilu). NU mau tidak mau melebur ke PPP.

Pada kancah politik maupun pemerintah, para tokoh NU benar-benar dipinggirkan oleh pemerintah Orde Baru. Bahkan, dalam dua kali pemilu (1977 dan 1982) banyak tokoh NU yang masuk penjara dengan berbagai macam tuduhan.[7] Pada tahun 1998, di akhir kekuasaan Orde Baru, NU menjadi rebutan banyak tokoh politik. Beberapa partai membawa simbol-simbol NU, bahkan ada satu partai yang mengatas namakan NU. Namun, secara struktural NU sama sekali tidak mendirikan partai secara khusus, hanya tokoh-tokoh NU saja yang berinisiatif untuk ambil bagian dalam dunia politik, turut serta dalam kontestasi Pemilu tahun 1999.

Khittah NU 1926 kembali ramai, dan banyak masyarakat yang mengharapkan agar NU lebih konsentrasi pada masalah-masalah Umat Islam. Namun, terjun dalam politik praktis memang menjadi hak setiap warga, termasuk warga NU. Sebagai sebuah Jam'iyyah NU tidak pernah melarang warganya untuk ikut dalam politik praktis, namun, mengatasnamakan NU untuk kepentingan politik atau partai tertentu dikhawatirkan akan memecah belah organisasi ini.

------------------------
Catatan kaki:

[1]
Soelaeman Fdeli, H., dan Mohammad Subhan, S.Sos, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, Khalista: Surabaya, 2007, hlm, 2.
[2] Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-realsi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, LKiS, Yogyakarta, 1994 hlm, 32. 
[3] K.H Wahab Chasbullah adalah salah seorang kiai yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan intelektual organisasi lingkungan intelektual yang ada pada waktu itu, dan juga bekerja sama dengan para pembaru moderat sebelum terjadi perselisihan tahun 1920-an yang membautnya mengambil posisi tradisionalis secara lebih tegas. Tahun 1920-an. Pada tahun 1922 sampai 1926, para aktifis Muslim dari berabagi organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting. Semua aliran Islam terwakili, tetapi wakil dari kaum modernis mungkin terlalu banyak. (Lihat: Martin van Bruinessen: hlm. 31) Pemilihan delegasi untuk menghadiri Muktamar Mekkah diadakan pada Kongres Al-Islam ke-lima, Februari 1926. Sementara Komite Hijaz sudah terbentuk pada akhir Januari 1926. K.H Wahab Chasbullah sendiri tidak menghadiri kongres Al-Islam tersebut, dan seolah sudah tahu bahwa dirinya tidak akan diikutikan sebagai delegasi mewakili kalangan pesantren.
[4] Ibid., hlm. 32.
[5] Muktamar Khilafah yang sedianya dilangsungkan di Mekkah dengan maksud mendirikan daulah Islam tersebut ternyata gagal dilaksanakan, dalam arti tidak berlangsung sebagaimana diinginkan oleh penyelenggaranya disebabkan tidak mendapat perhatian cukup dari negara-negara muslim lainnya. Namun begitu, Komite Hijaz yang sudah terbentuk tetap berangkat ke Mekkah dengan delegasi yang terdiri dari K.H. Wahab Chasbullah, didampingi Syaikh Ghanaim, warga negara Mesir, dan K.H.M Dachlan,yang waktu itu sedang belajar di Hijaz. Mereka datang menghadap penguasa baru Hijaz dengan membawa surat yan ditandatangi K.H Hasyim Asy’ari. (Lihat: Drs.K.H.Busyairi Harits, M.Ag, Islam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, Khalista: Surabaya, 2010., hlm. 104)
[6] Ibid, hlm. 34
[7] H. Solaeman Fadli, Op.Cit. hlm. 21. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »