Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.,
telah melalui perjalanan yang panjang. Pasca wafatnya Rasulullah Saw.,
bermunculan firqah-firqah (golongan-golongan)
dalam umat Islam, yang satu dan lainnya sulit didamaikan, apalagi dipersatukan.[1] Nahdhatul
Ulama (NU) yang berpaham Ahlussunah wal Jama’ah memiliki
tanggung jawab besar dalam rangka melindungi umat Islam tetap berada dalam
tuntunan ajaran Islam yang lurus. Oleh sebab itu, NU telah memberikan
garis-garis yang jelas tentang sikap keagamaannya, baik dalam masalah akidah,
syariah, tasawuf, maupun siyasah.
NU mendasarkan paham keagamaannya pada
Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas. Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadist
sendiri tentu berbeda-beda antara satu paham dan lainnya. Jadi, meskipun paham-paham
dalam Islam mendasarkan sikap keagamaan terhadap Al-Qur’an dan Hadist, namun
pemahaman dan tafsir atas dasar tersebut berbeda.
Dalam memahami dan menafsirkan Islam dari
sumbernya, NU mengikuti Ahlussunnah wal Jamaah dengan menggunakan jalan
pendekatan madzhab:
1. Dalam bidang akidah, NU mengikuti paham
Ahlussunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan
Imam Abu Mansur Al-Maturidi
2. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan
pendekatan (madzhab salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam
Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
3. Dalam bidang tasawuf mengikuti, antara lain
Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali, serta imam-imam lainnya,[2]
seperti Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
4. Dalam Siyasah mengikuti Abu al-Hasan Ali Ibn
Muhammad al-Mawardi
Di bawah ini dijelaskan lebih rinci tentang
sikap keagamaan NU, baik dalam hal akidah, syariah, tasawuf, dan siyasah.
Penjelasan tentang hal tersebut tidak mungkin menghindarkan dari biografi tokoh
pendiri madzhab yang diikuti oleh NU.
A. Akidah
Permasalahan-permasalahan keagamaan sebenarnya
sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw., masih hidup. Namun, waktu itu, setiap
kali persoalan muncul, para sahabat dapat segera memecahkannya dengan jalan
Rasulullah Muhammad Saw. Apabila ada ayat-ayat yang kurang bisa dipahami,
Sahabat akan menanyakannya langsung kepada Rasul, dan segera mendapatkan
jawabannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, Rasulullah Saw. akan menengahi
dan selesailah masalah.
Namun begitu, setelah wafatnya Baginda
Rasulullah Muhammad Saw., seiring dengan berjalannya waktu, berbagai
permasalahan keagamaan terus bermunculan. Al-Qur’an dan Hadist yang menjadi
pondasi utama umat Islam dalam berakidah dan beribadah ditafsirkan secara
berbeda-beda, sehingga niscaya menimbulkan pemahaman yang berbeda.
Sesungguhnya persengketaan akidah pada mulanya
diakibatkan oleh pertentangan masalah imamah. Dari persoalan tersebut,
kemudian merambah ke wilayah agama, terutama seputar hukum seorang muslim yang
berdosa besar dan bagaimana statusnya ketika ia meninggal; mukmin ataukah sudah
kafir.[3] Dari
situ, pembicaraan tentang akidah kemudian meluas ke persoalan-persoalan Tuhan
dan manusia baik menyangkut perbuatan dan kekuasaan Tuhan, juga sifat keadilan
Tuhan, sampai pada persoalan apakah Al-Qur'an termasuk makhluk atau bukan.
Sampai kemudian lahirlah paham-paham akidah,
seperti Qadariyah,
Jabbariyah,
Mu’tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dua kelompok terakhir itulah yang
mengambil sikap moderat yang kemudian dikenal dengan pahamnya Ahlusunnah
wal Jamaah.
Disebut Asy‘ariyah karena madzhab tersebut
didirikan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, dan Maturidiyah karena pendirinya
adalah Imam Abu Manshur al-Maturidi.
1. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari
Ahlusunnah wa Jama’ah sering
juga disebut dengan ahlussunnah, atau sunni, atau kadang-adang disebut 'Asy'ari
atau Asy'ariyah, dikaitkan kepada guru besar yang bertama, Abu al-Hasan 'Ali
al-Asy'ari. Nama lengkap beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ismail, bin Abi
Basyar, Ishaq bin Salim, bin Isma'il, bin Abdillah, bin Musa, bin Bilal, bin
Abi Burdah, bin Abi Musa al-Asy'ari.[4]
Abu Hasan 'Ali, lahir di Bashrah (Irak) tahun
260 H, 55 tahun sesudah meningalnya Imam Syafi'i. Pada mulanya, Abu Hasan
merupakan murid dari ayah tirinya sendiri, bernama Syeikh Abu 'Ali Muhammad bin
Abdul Wahab Al-Jabai yang merupakan ulama besar Mu'tazilah. Pada waktu Abu
Hasan berusia remaja, Mu'tazilah memang menjadi paham penguasa, dan ulama-ulama
Mu'tazilah banyak sekali bisa dijumpai, baik di Bashrah, Kuffah, maupun
Baghdad.
Imam Abu Hasan al-Asy'ari kemudian mendapatkan
hidayah bahwa dalam paham Mu'tazilah terdapat banyak kesalahan besar yang
bertentangan dengan i'tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad Saw., dan
sahabat-sahabat beliau, selain juga banyak yang bertentangan dengan al-Qur'an
dan Hadis. Maka, beliau kemudian memutuskan keluar dan tampil sebagai penentang
untuk melawan pendapat-pendapat kaum Mu'tazilah.[5]
Abu Hasan Al-Asy’ari banyak berjuang menegakkan
akidah Ahlusunnah wal Jamaah dengan menggunakan tulisan maupun lisan,
menandingi kaum Mu’tazilah. Beliau telah merumuskan dan menulis kitab-kitab
akidah sehingga namanya terkenal sebagai seorang ulama Tauhid. Di antara
kitab-kitab terkenal karangan beliau adalah, Ibanah fi Ushuluddiyanah yang
tediri dari 3 jilid besar, Maqallatul Islamiyiin, Al Mujaz,
dan masih banyak lagi.
Akidah Asy'ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth)
di antara kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang pada masa masa itu (abad
3 H).[6]
Kita paham, paling tidak ada dua kelompok yang saling bertolak belakang, yakni Jabariyah
dan Qadariyah yang keduanya
dikembangkan oleh Mu'tazilah.
Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy'ariyah
dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut Asy'ari,
perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam
perbuatannya. Kasb memiliki makna kebersamaan
kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan
dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Berbeda dengan Jabbariyah yang menganggap bahwa
manusia tidak memiliki daya dan upaya sama sekali, konsep Kasb
Asy'ariyah menempatkan manusia sebagai manusia yang selalu berusaha
secara kreatif dalam kehidupannya, namun tidak melupakan bahwa Tuhanlah yang
menentukan semuanya.[7]
Paham akidah seseorang tentu saja sangat
memengaruhi pola kehidupannya sehari-hari, bukan saja pada masalah kepercayaan
(keimanan), tetapi menyangkut urusan ekonomi, budaya dan persoalan-persoalan
lainnya.
Konsep akidah Asy’ari banyak diterima bukan
hanya disebabkan lebih mudah dicerna akal sehat, tetapi karena ia mendasarkan konsep
akidahnya dengan mengutamakan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadist di atas akal dan
pikiran. Asya’ari tidak menolak peran akal, sebab memahami al-Qur’an dan Hadist
tanpa akal adalah mustahil. Tetapi kemampuan akal terbatas, dan penggunaan akal
dalam menerjemahkan wahyu tidak bisa semena-mena. Adakalanya hal-hal yang
berkaitan dengan masalah-masalah akidah (seperti Kehendak Allah, Keadilan
Allah, dll) tidak bisa dijangkau oleh akal. Pada saat yang demikian itulah akal
mesti tunduk kepada wahyu.
Pada perkembangannya, Paham Asy’ariyah terus
menyebar dan meluas. Kian lama kian banyak bermunculan ulama-ulama yang
mengikuti, memperkuat, dan mengembangkan paham Asy’ariyah. Salah satunya adalah
Imam Abu Mansur Al-Maturidi.
2. Abu Manshur Al-Maturidzi
Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin
Mahmud. Beliau lahir di Samarqand, tepatnya di sebuah desa bernama
Maturid.[8]
Paham akidah Maturidiyah dan Asy'ariyah
memiliki keselarasan. Makanya, kedua imam besar inilah yang kemudian dianggap
sebagai pembangun Madzhab Ahlusuunnah wal Jama’ah. Kalau ada yang berbeda
antara keduanya, itu hanya pada madzhab fiqh yang mereka ikuti. Asy'ariyah
menggunakan madzhab Imam Syafi'i dan Imam Malik, sementara Maturidiyah
menggunakan madzhab Imam Hanafi.
Di antara pemikiran Abu Manshur Al-Maturidi
dalam masalah akidah adalah upaya mendamaikan antara dalil aqli dan naqli (akal
dan wahyu). Paham Maturidiyah berpendapat bahwa, apabila kita berhenti berbuat
pada saat tidak terdapat nash (naql) maka itu merupakan suatu
kesalahan, sama juga salah apabila kita larut tidak terkendali dalam
menggunakan rasio ('aql).[9]
Jadi, antara 'aql dan naql
memiliki peranan yang sama pentingnya. Menafikan peran akal dalam memahami
dalil naql
merupakan suatu kemustahilan.
Sekilas, pandangan tersebut sama dengan
konsep 'Asy'ariyah, tetapi sebenarnya terdapat perbedaan, yakni pada
posisi akal terhadap wahyu. Dalam buku Aswaja An-Nahdhiyyah[10]
dijelaskan bahwa menurut Maturidiyah, wahyu harus diterima penuh. Tapi jika
terjadi perbedaan antara wahyu dan akal maka akal harus berperan
menatakwilkannya. Terhadap dalam ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau tasybih
(Allah serupa makhluk), misalnya, harus ditafsirkan dengan arti majazi
(kiasan). Contoh seperti lafal “Yadullah” yang arti aslinya
"Tangan Allah" ditakwil menjadi "kekuasaan Allah".
Lagi, tentang sifat Allah. Maturidiyah dan
Asy'ariyah sama-sama menerimanya. Namun, sifat-sifat itu buka sesuatu yang
berada di luar zat-Nya. Sifat tidak sama dengan zat, namun tidak dari selain
Allah. Misalnya, Tuhan Maha Mengetahui bukanlah dengan Zat-Nya, tetapi dengan
pengetahuan ('ilmu)-Nya (ya'lamu bi 'ilmihi).
Dalam persoalan kekuasaan dan kehendak (Qudrah
dan Iradah) Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan dibatasi oleh Tuhan sendiri. Jadi kehendak Tuhan tidak mutlak. Meskipun
demikian Tuhan tidak dapat dipaksa atau terpaksa dalam berbuat, melainkan
sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Misalnya, Allah menjanjikan orang baik akan
masuk surga, dan sebaliknya orang jahat masuk neraka, maka Allah akan menepati
janji-janji tersebut. Namun, manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam
menggunakan daya untuk memilih antara yang baik dan yang buruk.
Dengan demikian, menurut paham Maturidiyah,
perbuatan itu tetap diciptakan oleh Tuhan. Sehingga perbuatan manusia sebagai
perbuatan bersama antara manusia dan Tuhan. Allah yang mencipta, sementara
manusia meng-kasab-nya.
B. Syariah/Fiqih
Sumber hukum Islam (Fiqh) yang utama adalah
Al-Qur’an dan hadist. Sementara kita tahu bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak
bertambah dan tidak berkurang. Sedangkan permasalahan-permasalahan baru terus
muncul seiring perkembangan zaman. Maka, dibutuhkan upaya penggalian hukum,
atau yang lebih sering disebut dengan istilah ijtihad.
Ijtihad sendiri sebenarnya sudah ada sejak
zaman Rasulullah Saw., ketika Sahabat menjumpai suatu persoalan yang harus
segera diputuskan sementara mereka tidak sedang bersama Rasulullah. Pada masa
Khulafarurrashidin, khalifah kerap mengumpulkan para Sahabat untuk membahas
suatu masalah dan menentukan hukumnya, lalu lahirlah ijma’ atau kesepakatan.
Di antara tokoh yang mampu berijtihad sejak
generasi sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in, terdapat banyak tokoh yang
ijtihadnya kuat (disebut mujtahid mustaqil). Bukan hanya
mampu berijtihad sendiri tetapi juga mampu menciptakan pola pemahaman (manhaj)
tersendiri terhadap sumber pokok hukum Islam, yakni al-Qur'an dan Hadis. Hal
tersebut dibuktikan dengan metode ijtihad yang mereka rumuskan sendiri,
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, qawa'idul
ahkam, qawa'idul fiqhiyyah dan sebagainya.
Proses dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri tersbut
mendandakan bahwa secara keilmuan dan pemahaman keagamaan serta ilmu penunjang
dalam berijtihad lainnya telah mereka miliki dan kuasai.[11]
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam masalah fiqih
memang tidak bisa dicegah, tetapi bukan berarti setiap orang bebas untuk
berijtihad (menjadi mujtahid). Bagi orang awam, mengikuti para imam madzhab
adalah wajib, demikian pendapat ulama Nahdhiyyin.
Madzhab sendiri berarti jalan yang ditempuh
untuk mencapai tujuan dalam masalah keagamaan. Pada hakikatnya, semua orang
pasti bermadzhab. Kalau tidak bermadzhab pada madzhab-madzhab lama, mereka
bermadzhab kepada madzhab yang baru. Taqlid (mengikuti) pada imam
madzhab bukanlah suatu kemunduran, tetapi justru sebagai sarana melestarikan
dan mengembangkan ajaran Islam. Dengan bermadzhab, pewarisan dan pengamalan
ajaran Islam menjadi terpelihara, ajaran Islam terjamin kemurniannya.
Para imam madzhab adalah orang-orang yang sudah
terkenal kealimannya dan sangat menguasai ilmu-ilmu al-Qur'an dan hadist. Jadi,
apabila dikatakan bahwa bermadzhab bukanlah jalan yang diajarkan oleh
Rasulullah, sesungguhnya hal tersebut tidak berdasar. Sebab para Imam madzhab
adalah orang-orang yang ketaatannya pada al-Qur'an dan sunnah sudah teruji.
Bermadzhab berarti mengikuti apa yang sudah menjadi pegangan imam madzhab.
Dalam ranah fiqh, NU bermadzhab kepada madzhab
empat yang masyhur, yakni, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Pertanyaan
yang krap muncul adalah, kenapa NU hanya memilih empat madzhab untuk dijadikan
pijakan dalam berfiqh?
Dalam buku Aswaja an-Nahdliyah, sebagaimana
dikutip K.H Busyairi Harist,[12]
adalah karena: Pertama, kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah
masyhur. Jika disebut nama mereka hampir dipastikan mayoritas umat Islam di
dunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara detail tentang keilmuan
mereka. Kedua, keempat Imam madzhab tersebut merupakan Imam Mujtahid
Mutlak Mustaqil, yaitu imam mujtahid yang mampu secara mendiri
menciptakan manhaj al-fiqr (metode berpikir),
pola, proses dan prosedur istimbath dengan seluruh perangkat
yang dibutuhkan. Ketiga, Imam madzhab itu mempunyai murid-murid yang secara
konsisten mengajar dan mengembangkan madzhabnya yang didukung oleh buku induk
yang masih terjalin keasliannya hingga saat ini. Keempat, jika
ditelusuri ternyata para Imam madzhab tersebut mempunyai mata rantai dan
jaringan intelektual di antara mereka.
1. Abu Hanifah An-Nu’man Ibn Tsabit
Nama lengkapnya adalah Imam Nu’man bin Tsabit.
Beliau sering disebut Imam Abu Hanifah, sementara madzhabnya dikenal dengan
Madzhab Hanafi. Imam Abu Hanifah adalah golongan Tabiin yang lahir pada tahun
80 H dan wafat tahun 150 H.
Abu Hanifah mendapat gelar Al-Imam
al-A'ham (Imam Agung), dan menjadi tokoh panutan di Iraq. Beliau
juga dikenal sebagai penganut aliran ahlu ra'yi dan bahkan menjadi
menjadi tokoh sentralnya. Di katakan Ahl ra’yi bukan berarti Abu Hanifah
hanya mengandalkan akalnya. Tetapi dalam memandang Nash, beliau lebih memandang
apa yang ada di balik nash (al-Qur’an dan Hadis), bukan
secara tekstual. Di antara manhaj istinbath-nya yang terkenal
adalah konsep al-Ihtihsan.
Meskipun Abu Hanifah sangat terkenal sebagai
Imam madzhab fiqh tetapi tidak ada satu kitab pun yang beliau tulis sampai
kepada kita. Fiqh Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama madzhab Hanafi ditulis
oleh dua orang murid utamanya: Imam Abu Yusuf Ibrahi dan Imam Muhammad bin
Hasan As-Syaibani.
2. Maliki Ibn Annas
Malik bin Annas dilahirkan tahun 93 H dan wafat
tahun 179 H di Madinah. Kelak, ia dikenal sebagai Imam Malik, pendiri madzhab
Maliki.
Imam Malik adalah seorang ahli hadist yang
masyhur dengan kitab monumentalnya berjudul ‘Al-Muwatha' di nilai sebagai kita
hadits hukum yang paling shahih. Bahkan, Khalifah Harun Ar-Rasyid pernah
bermaksud menggantung kitab al-Muwatha' di Ka'bah dan menyuruh seluruh umat
Islam untuk mengikuti isinya. Tapi, Imam Malik menjawab: ”Jangan engkau lakukan
itu, karena para shahabat Rasulullah SAW saja berselisih pendapat dalam masalah
furu’(cabang), apalagi (kini) mereka telah berpencar ke berbagai
negeri.” Imam Malik menyadari bahwa dalam masalah fiqh perbedaan adalah suatu
keniscayaan.
Imam Malik memiliki metode tersendiri dalam
meng-istimbath-kan
hukum, dan metodenya tersebut masih berpengaruh sampai sekarang. Di antara
langkah penting yang ditawarkan oleh Madzhab Maliki dalam berijtihad adalah
pengunaan al-maslahah al-mursalah. Teori al-Maslahah al-Mursalah diilhami
oleh satu paham bahwa syari’ah Islam bertujuan mendatangkan manfaat,
kesejahteraan dan kedamaian bagi kepentingan masyarakat dan mencegah
kemudharatan.
Selain itu, Imam Malik juga melahirkan manhaj
istimbath “Amal al-Ahl al-Madinah” yaitu
perilaku sehari-hari penduduk Madinah. Imam Malik menempatkan penduduk Madinah
sebagai orang yang paling tahu terhadap sunnah Rasul, termasuk nasakh
dan mansukhnya. Apabila penduduk Madinah itu sepakat tentang sesuatu
perilaku, maka kesepakatan ini lebih tinggi nilainya dibanding qiyas dan
khabar ahad
(kendati sahih sanad).
3. Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i
Pendiri Madzhab Syafi'i ini memiliki nama
lengkap Muhammad bin Idris asy-Syafi'i. Imam Syafi'i dilahirkan di Ghozza tahun
150 H dan wafat tahun 204 H di Mesir. Beliau adalah juga murid dari Imam Malik
di Madinah dan Imam Muhammad bin Hasan di Baghdad yang merupakan murid senior
dari Imam Abu Hanifah. Pada masa wafatnya Imam malik (179 H), Imam Syafi’i
telah dipercaya sebagai seorang fuqaha yang masyhur di Hijaz dan jazirah arab
lainnya.
Karya monumental dari Imam Syafi'i berjudul
Ar-Risalah, sebuah kitab ushul fiqh yang pertama sampai
kepada kita. Kitab itu pula yang membuat beliau dikenal sebagai Bapak
Ushul Fiqh.
Sementara itu fatwa-fatwa fiqh Imam Syafi'i
dikelompokkan menjadi dua macam, yang kemudian dikenal sebagai al-Qoul
Qodim dan al-Qoul Jadid. Al-Qoul
Qodim (pendapat lama) merangkum pendapat-pendapat Imam Syafi'i
sewaktu beliau berada di Baghdad, sementara al-Qoul Jadid (pendapat baru)
merangkum pendapat-pendapat beliau setelah berada di Mesir. Semua
pendapat-pendapat tersebut, terangkum dalam kitab al-Umm.
4. Ahmad Ibn Hanbal
Nama lengkapnya Abu Abdullah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal, sering disebut dengan Imam Hambali. Beliau dilahirkan di
Baghdad, pada tanggal 20 Rabiul Awwal tahun 164 H. Ketika masih bayi, Imam Ibn
Hambal dibawa ke Baghdad tempat ayahnya meninggal dalam usianya yang sangat
dini, 30 tahun. Imam Ibn Hambal merupakan murid Imam Syafi'i selama di Baghdad.
Sampai Imam Syafi'i wafat beliau masih selalu mendoakannya. Imam Ahman bin
Hambal mewariskan sebuah kitab hadits yang terkait dengan hukum Islam berjudul
Musnad Ahmad.
C. Bertasawuf
Dalam bidang tasawuf Aswaja memiliki prinsip
untuk dijadikan pedoman bagi kaumnya. Sebagaimana dalam masalah akidah dan
fiqih, dimana Aswaja mengambil posisi yang moderat, tasawuf Aswaja juga
demikian adanya.
Manusia diciptakan Allah semata-mata untuk
beribadah, tetapi bukan berarti meninggalkan urusan dunia sepenuhnya. Akhirat
memang wajib diutamakan ketimbang kepentingan dunia, namun kehidupan dunia juga
tidak boleh disepelekan. Dalam emenuhi urusan dunia dan akhirat mesti seimbang
dan proporsional.
Dasar utama tasawuf Aswaja tidak lain adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku telah
mencapai derajat Makrifat namun meninggalkan al-Qur’an dan sunnah, maka ia
bukan termasuk golongan Aswaja. Meski Aswaja mengakui tingkatan-tingkatan
kehidupan rohani para sufi, tetapi Aswaja menentang jalan rohani yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Imam Malik pernah mengatakan, “Orang yang
bertasawuf tanpa mempelajari fikih telah merusak imannya, sedangkan orang yang
memahami fikih tanpa menjalankan tasawuf telah merusak dirinya sendiri. Hanya
orang yang memadukan keduanyalah yang akan menemukan kebenaran.”[13]
Sudah sepantasnya, para sufi harus selalu
memahami dan menghayati pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi
Muhammad selama kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat
yang kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut
tabi’in sampai
pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi
Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari
kehidupan pribadi dan sosial mereka. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an
(kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari
perbuatan tercela) dan dzikir yang dilakukan mereka.[14]
Kehidupan sosial, yakni bagaimana mereka bergaul dan berhubungan dengan
sesama manusia. Sebab tasawuf tercermin dalam akhlak; bukan semata
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan manusia
lainnya.
Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad dan para pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh
perintah-perintah syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat
menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari’at,
seperti praktik tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana
al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula
gusti).[15]
Kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima
ajaran-ajaran tasawuf yang moderat, yakni tasawuf yang tidak meninggalkan
syari’at dan aqidah sebagaimana sudah dicontohkan al-Ghazali, Junaid
al-Baghdadi, juga Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
1. Abdl Qadir al-Jailani
Beliau lahir pada 470 H. (1077-1078) di al-Jil
(disebut juga Jailan dan Kilan), kini termasuk wilayah Iran. Ibunya, Ummul
Khair Fatimah bint al-Syekh Abdullah Sumi merupakan keturunan Rasulullah Saw.,
melalui cucu terkasihnya Husain. Suatu ketika Ibunya berkata, "Anakku,
Abdul Qadir, lahir di bulan Ramadhan pada siang hari bulan Ramadhan, bayiku itu
tak pernah mau diberi makan."[16]
Ketika berusia 18 tahun, beliau pergi
meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad. "Kudatangi ibuku dan
memohon kepadanya, 'izinkan aku menempuh jalan kebenaran, biarkan aku pergi
mencari ilmu bersama para bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah.'"[17]
Pada waktu itu, Baghdad dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan.
Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa
orang ulama, antara lain Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein
al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimiseim. Beliau menimba ilmu
pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul
dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Selanjutnya, pada tahun 521 H/1127 M, Syekh
Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan menyampaikan fatwa-fatwa agama kepada
masyarakat. Tidak butuh waktu lama beliau segera dikenal masyarakat luas.
Selama 25 tahun, beliau menghabiskan waktunya sebagai pengembara di Padang
Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi yang masyhur.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai
pendiri Tarekat Qodiriyah, sebuah istilah yang tidak lain berasal dari namanya.
Tarekat ini terus berkembang dan banyak diminati oleh kaum muslimin. Meski Irak
dan Syiria disebut sebagai pusat dari pergerakan Tarekat tersebut, namun
pengikutnya berasal dari belahan negara muslim lainnya, seperti Yaman, Turki,
Mesir, India, hingga sebagian Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
2. Abu al-Qosim Al-Junaidi Al-Baghdadi
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qosim
al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Khazzaz al-Qowariri al-Nahawandi
al-Baghdadi. Beliau dilahirkan di kota Baghdad tanpa diketahui secara pasti
tahun kelahirannya. Ayahnya seorang pedagang barang pecah belah, sementar
Ibunya merupakan saudara kandung Sari bin al-Mughallis al-Saqathi (w.235
H/867M), seorang tokoh sufi terkemuka yang kelak menjadi gurunya.
Al-Junaid dikenal cerdas, dan pada usia dua
puluh tahun bela telah mampu mengeluarkan fatwa. Semua kalangan menerima
madzhab yang dibangunnya, dan beliau disepakati sebagai penyandang gelar “Syekh
al-Thaiifah al-Shufiyyah wa Sayyiduha” (Tuan Guru dan Pemimpin kaum
sufi).
Abdul Wahhab al-Sya’rani, sebagaimana dikutip
Dr. K.H Saefuddin Chalim,[18]
mengungkapkan paling tidak ada empat faktor yang mengantarkan al-Junaid menjadi
satu-satunya figur yang berhak menyandang gelar tersebut sehingga diakui
sebagai acuan dan standar dalam tasawuf Ahlussnah wal Jama’ah.
Pertama, konsistensi terhadap al-Kitab dan Sunnah.
Penguasaan al-Junaid terhadap al-Qur’an dan Sunnah membawa pengaruh positif
terhadapnya dalam membangun madzhabnya di atas fondasi Islam yang kuat dan
shahih. Beribadah tanpa adanya pengetahuan yang memadai dianggap bisa membawa
seseorang ke dalam kesesatan. Oleh karenanya, al-Junaid begitu mengedepankan
ilmu agama sebagai pegangan kaum sufi dalam menempuh jalan suluk.
Kedua, konsistensi terhadap syari’ah. Para
ulama mengakui bahwa belum pernah ditemukan di antara isyarat-isyarat al-Junaid
dalam bidang tasawuf yang bertentangan dengan syari’ah. Syariah adalah rel yang
jika seorang sufi keluar dari jalurnya maka pintu kebaikan akan tertutup
baginya.
Ketiga, kebersihan dalam akidah. Al-Junaid membangun
madzhabnya di atas fondasi akidah yang bersih, yaitu akidah Ahlussunah wal
Jama’ah.
Keempat, ajaran tasawuf yang moderat.
Ajaran tasawuf yang moderat merupakan ciri-ciri tasawuf Ahlussunah wal Jama’ah.
Al-Junaid memandang bahwa orang yang baik bukanlah orang yang berkonsentrasi
melakukan ibadah saja, sementara ia tidak ikut berperan aktif dalam memberikan
kemanfaatan kepada manusia. Pandangan tasawuf yang demikian mematahkan tasawuf
ekstrem yang beranggapan bahwa jika seseorang sudah sampai pada derajat makrifat
atau wali, maka pengamalan terhadap ajaran-ajaran agama tidak
diperlukan lagi baginya.
3. Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali Al-Thusi. Beliau dilahirkan di
kota Thus (daerah Khurasan) tahun 450 H/1058M. Beliau dikenal dengan al-Ghazali
karena berasal dari desa Ghazalah, atau ada yang menganggap bahwa sebutan
al-Ghazali melekat karena ayahnya bekerja sebagai pemintal tenun wol.
Masa kecil dan masa muda al-Ghazali dipenuhi
dengan belajar ilmu agama, dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu guru
ke guru lain. Ia pernah belajar kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzikani
al-Thusi, Imam Abu Nashr al-Isma’ili, Syekh Yusuf al-Nassaj, Imam Abu al-Ma’ali
Abdul Malik bin Abdllah al-Juwaini yang merupakan ulama terkemuka Madzhab
Syafi’i.
Kecemerlangan Al-Ghazali mengantarkannya
menduduki guru besar di Universitas Nizhamiyah Baghdad (Tahun 848/1091M). Di
sanalah, waktu itu, Al-Ghazali dikelilingi dengan berbagai kesenangan duniawi,
tetapi hal tersebut tidak membuatnya bahagia. Lalu beliau memutuskan untuk
pindah ke Damaskus di Syiria dan tinggal di kota itu. Di sana beliau lebih
banyak beri’tikaf dan berzikir, menjalani riyadhah dan mujahadah.
Setelah dua tahun, al-Ghazali kemudian meninggalkan Damaskus menuju Baitul
Maqdis di Palestina.
Imam al-Ghazali sebagai pelopor sufi
mengembangkan tasawuf kepada dasar aslinya seperti yang diamalkan oleh para
sahabat Rasulullah Saw. Ia telah menulis puluhan kitab, dan yang paling
terkenal adalah Ihya Ulumiddin (Menghidupkan
kembali ajaran Islam). Melalui kitab tersebut al-Ghazali memberikan pegangan
dan pedoman perkembangan tasawuf Islam, dan menjadi rujukan bagi mereka dalam
mengembangkan paham positifisme yang sesusi dengan akidah dan syariah.[19]
Iman, Islam, dan ihsan mesti sejalan bersamaan.
Beriman tanpa menjalankan ibadah sesuai syariat membuat keimanan
seseorang diragukan. Sementara ihsan adalah amal shalih, yang diwujudkan
dalam akhlakul karimah dan kedekatan hamba terhadap Tuhan.
Dengan tasawuf al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir
al-Jailani, dan Junaid al-Baghdadi, kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi
umat yang selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran
kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Hal semacam ini pernah ditunjukkan
oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Secara individu, para wali
itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka
selalu membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya
ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh
kaikhlasan dan ketertundukan.[20]
D. Siyasah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhaammad
al-Mawardi
Sejak awal berdirinya, NU banyak terlibat dalam
masalah politik, baik politik praktis maupun kultural. Kita tidak bisa
melupakan era-era awal kemerdekaan, banyak tokoh NU yang menduduki jabatan di
pemerintahan. Bahkan, pada tahun 1952, lewat Muktamar NU ke-19, NU memutuskan
untuk menjadi partai politik yang kemudian bubar saat Orde Baru berkuasa (tahun
1973).
Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo
menjadi satu titik penting dalam sejarah NU. Dalam Muktamar tersebut NU
menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan yang lebih banyak
berkonsentrasi dalam masalah-masalah yang dihadapi umat Islam. Sebenarnya,
wacana kembali ke Khittah NU tahun 1926 sudah lama disuarakan, namun baru
menjadi diskusi dan perdebatan yang serius ketika Muktamar di Sitbondo.
Dalam formulasi Khittah NU ditegaskan bahwa NU
tidak terlibat dalam organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun.
Namun begitu, NU tidak melarang anggotanya untuk terlibat dalam urusan politik,
karena hal tersebut bukanlah eksistensi dari Khittah.
Dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta (1989)
dirumuskan 9 (sembilan) Pedoman Politik Warga NU, yaitu garis-garis pedoman
untuk melangkah bagi kaum Nahdhiyin yang menerjuni dunia politik dengan tetap
menjunjung tinggi Khitthah Nahdlatul Ulama.
Di lingkungan NU juga dikenal istilah Politik
Kebangsaan, Politik Kerakyatan dan Politik Kekuasaan. Berikut ini 9 Pedoman
Politik Warga NU dimaksud:
1.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti
keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara
menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
2.
Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik
yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah
yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai
cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir
batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
3.
Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah
pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik
kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk
mencapai kemaslahatan bersama.
4.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah
dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan
Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
5.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah
dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai
dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan
mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk
memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan
akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
7.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih
apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan
memecah belah persatuan.
8.
Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran
politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan
saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga
persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9.
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya
komunikasi kemasyarakatan timbal batik dalam pembangunan nasional untuk
menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang
lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk
berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.[21]
Warga dan kiai NU yang ingin terjun ke dunia
politik diperbolehkan asal mengerti ilmu politik dan piawai menjalankan
strategi siyasah dengan
tidak membawa label organisasi. Potensi politik kader NU juga hendaklah
dikelola dengan profesional agar memberikan kontribusi bagi NU dan tidak
sekadar "menjual" organisasi. Inilah pentingnya pemaknaan politik
bagi kalangan Nadhiyin agar NU tidak menjadi korban ketika pesta demokrasi.[22]
Menghindarkan dari urusan politik dan
menyerahkan sepenuhnya kepada orang yang tidak kompeten justru membahayakan.
Selain menghayati Khittah NU, paling tidak warga NU penting mengetahui rujukan siyasah
kaum Aswaja. Salah satu ahli fiqh siyasah yang juga bermadzhab
Syafi'i, yakni Abu Hasan al-Mawardi (w 450H).
Nama lengkapnya adalah Abu
Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri.
Al-Mawardi dilahirkan di Bashrah pada tahun 364 H. atau 975 M. Panggilan
al-Mawardi diberikan kepadanya karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam berorasi,
berdebat, berargumen dan memiliki ketajaman analisis
terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Sementara
julukan al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahirannya.
Al-Mawardi kecil hingga remaja belajar fiqh
Syafi’iyah di Bashrah sebelum kemudian merantau ke Baghdad dan mendatangi para
ulama untuk menyempurnakan keilmuannya dalam bidang fiqh. Imam Al-Mawardi
dikenal sebagai duta diplomasi pemerintah bani Buwaih dan di sisi lain sebagai
duta diplomasi khalifah Abbasiyah, terutama khalifah Qoim Baimillah.
Salah satu di antara misinya selama menjadi
duta diplomasi adalah untuk mendamaikan antara kubu-kubu politik yang
berseberangan dan kubu-kubu lain yang sering berlindung di bawah kekuatan
senjata dalam menyelesaikan persoalan.
Al-Mawardi telah menulis banyak kitab baik
tafsir, fikih, hisbah, maupun sosio-politik. Satu
karyanya yang paling monumental adalah kitab Ahkam Shulthaniyyah (hukum-hukum
ketatanegaraan) yang sampai sekarang menjadi kitab rujukan paling poluper bagi
setiap orang yang mengkaji ilmu perpolitikan di kalangan Islam.
Selain itu, di antara pemikiran Al-Mawardi
yang cukup terkenal adalah, pemetaan—bukan pemisahan—antara perkara dunia
dan agama dalam bukunya Adabud Dunya wad Din (perkara Dunia
dan Perkara Akhirat). Menurutnya, perkara dunia adalah perkara kenegaraan
(politik), sedangkan perkara agama adalah syariat Tuhan. Pemisahan ranah
politik dan agama menjadi penting dalam rangka mengantisipasi percampuran
keduanya. Dengan begitu, politisasi agama dapat dihindarkan.[23]
[1] K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah,
Cet-24, (Pustaka Tarbiyah: Jakarta, 2000). hal. 17.
[2] Khittah NU, Keputusan Mukamar XXVII NU No 02/MN-27/1984.
[3] Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdhiyyah,
Cet.II (Khalista: Surabaya, 2007).
hal. 11.
[4] Sirajuddin Abbas, Op.Cit, hal. 30-31.
[5] Ibid, hal. 31
[6] TIM PWNU Jawa Timur, Op.Cit. hal. 12
[7] Ibid, hal. 13.
[8] Sirajuddin Abbas, Op.Cit, hal. 33-34
[9] PWNU Jawa Timur, Op.Cit. hal. 15.
[10] Ibid, hal. 16
[11] Ibid, hal. 20
[12] Drs. K.H. Busyairi Harits, M.Ag., Islam NU: Pengawal Tradisi
Sunni Indonesia, (Khalista: Surabaya,
2010)
hal. 7-8.
[13] Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan: Antivirus
Kebatilan dan Kedzaliman, (Serambi: Jakarta,
2007).
hal. 63
[14] PWNU Jawa Timur, Op.Cit., hal. 27
[15] Ibid., hal. 27
[16] Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Kisah Hidup
Sultan Para Wali dan Rampai PEsan yang Menghidupkan Hati, Cet. IV.
(Penerbit Zaman: Jakarta, 2012). hal. 16
[17] Ibid, hal. 17.
[18] Dr. K.H Saifuddin Chalim, M.A Membumikan Aswaja, Pegangan
para Guru NU, (Khalista: Surabaya, 2012). hal 137-142.
[19] H. Soelaeman Fadeli, dan Muhammad Subhan, S.Sos., Antologi
NU: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, (Khalista: Surabaya, 2007). hal. 152.
[20] PWNU Jawa Timur, Op.Cit.
hal. 30
[21] H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, S..Sos, Op.Cip. Hal. 99-100.
[22] Khamami Zada dan A Fawaid Sjadzili (Ed), Nahdlatul Ulama:
Dinamila Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Penebit
Kompas: Jakarta. 2010). hal.29
[23] Ibid, hal.109